-->

Reshuffle Kabinet, Untuk Siapa?

Oleh : R. Raraswati
(Member Komunitas Aktif Menulis)

Wacana reshuffle kabinet disampaikan Jokowi pada saat memberi pengarahan di forum virtual Afirmasi Bangga Buatan Produk Indonesia di Bali, 25 Maret 2022. Wacana yang digulirkan saat mendekati pesta demokrasi ini, mengundang perhatian banyak kalangan untuk bertanya dan berkomentar. Beberapa kalangan menduga agenda Pemilihan Presiden 2024 menjadi latar belakang munculnya ide ini.

Sebut saja Analis Politik Exposit Strategic Arif Susanto yang angkat bicara. Ia menduga jika reshuffle dilakukan di tahun 2023, dapat mengganggu soliditas kekuasaan. Pasalnya, pada akhir 2023 nanti, partai politik harus bisa mendaftarkan calon presiden dan wakilnya, sehingga akan banyak terganggu oleh agenda-agenda politik jelang pemilu. Hal ini ia sampaikan pada diskusi daring: "Jokowi Jengkel: Menuju ReshuffleKabinet", Minggu (27/3/2022).

Dari latar belakang tersebut, wajar jika masyarakat mempertanyakan untuk apa dan siapa reshuffle kabinet dilakukan? Benarkah untuk kemaslahatan rakyat? Atau justru hanya untuk memperkuat kedudukan penguasa yang sedang bertahta?

Reshuffle Kabinet di Masa Jokowi

Melakukan reshuffle kabinet memang hak presiden untuk membantu kinerja pemerintahan agar maksimal. Namun seringnya hal ini dilakukan juga dapat menimbulkan efek buruk bagi jalannya pemerintahan itu sendiri. Pasalnya, kebijakan menteri akan sering berubah seiring bergantinya sosok yang menjabat. Kondisi ini dapat dilihat lagi seberapa banyak reshuffle kabinet selama Jokowi menjadi orang nomor satu di Indonesia beserta dampaknya.

Reshuffle pertama, dilakukan Jokowi pada bulan Agustus 2015, yaitu 10 bulan pasca pelantikan Kabinet Indonesia Kerja. Namun, belum setahun, Jokowi kembali melakukan perombakan kabinet dengan memberikan kursi kepada anggota partai dari Golkar dan PAN. Sangat terlihat bahwa reshuffle tersebut didasarkan pada kepentingan politik atas bergabungnya Golkar dan PAN dalam koalisi pemerintahan Jokowi.

Kemudian, tahun 2018 Jokowi mengganti beberapa menteri, termasuk Khofifah Indar Parawansa yang saat itu mencalonkan Gubernur Jawa Timur. Posisi Menteri Sosial pun diberikan kepada Idrus Marham, politisi Golkar hanya menjabat beberapa bulan karena terjerat kasus korupsi. Reshuffle kabinet kembali dilakukan di tahun 2020 lantaran beberapa menterinya melakukan tindak korupsi. 
Jokowi tanpa segan mengganti posisi menteri yang menurutnya sudah tidak sejalan dengannya, meski menteri tersebut dinilai masyarakat sebagai sosok yang berhasil. Bahkan beberapa menteri penggantinya justru terlibat korupsi.

Dari sekian kali reshuffle kabinet yang dilakukan di era Jokowi, jelas terlihat bahwa negeri ini sedang dipimpin oleh sosok yang hanya memikirkan kekuasaannya, tanpa menjadikan kepentingan rakyat sebagai prioritas. Setiap reshuffle tidak mampu menyelesaikan masalah masyarakat, seperti kebutuhan lapangan kerja, keamanan, juga kesehatan, terutama sejak terjadinya wabah Covid-19.

Dalam reshuffle kabinet itu juga semakin memperjelas bahwa dalam sistem politik demokrasi sekuler tidak mengenal kawan dan lawan sejati. Beberapa orang dari lawan politik yang dulu bertarung hebat saat kampanye pilpres, justru jadi kawan ketika mendatangkan keuntungan bagi penguasa.

Reshuffle Demi Kepentingan Rakyat

Sebenarnya reshuffle kabinet tidak hanya ada pada pemerintahan demokrasi. Dalam sistem pemerintahan Islam juga diperbolehkan melakukan reshuffle kabinet/pembantu khalifah dengan landasan untuk memperbaiki kinerja guna kepentingan masyarakat, bukan karena politik untuk melanggengkan kekuasaan.

Di dalam sistem pemerintahan Islam, pembantu khalifah disebut Muawin Tafwidz. Ia membantu khalifah dalam urusan pemerintahan maupun pribadi. Muawin Tahfidz diberikan kesempatan berijtihad dalam urusan pemerintahan dengan tetap menyampaikan hasilnya kepada khalifah. Pada akhirnya, khalifah yang berhak menentukan hasil ijtihad tersebut bisa diterapkan atau justru harus dibatalkan.

Dalam hal administrasi, khalifah dibantu oleh Muawin Tanfidz. Muawin Tafwidz maupun Muawin Tanfidz ditunjuk dan diangkat langsung oleh khalifah dengan beberap syarat, diantaranya adalah jujur dan adil. Proses pemilihan Muawin yang ketat berdasarkan hukum syarak, menghasilkan pejabat yang berkualitas dan bertanggung jawab atas kepentingan rakyat.

Jadi jelas, perubahan susunan pembantu khalifah semata-mata untuk kepentingan rakyat, bukan politik guna memperkuat kursi kekuasaan. Hal ini karena seorang khalifah sadar bahwa jabatan merupakan amanah berat yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt.

Wallahu’alam bish shawab.