-->

Penista Agama Timbul dan Tenggelam, Apa Penyebabnya?

Oleh : Annisa Afif Abidah
(Aktivis Muslimah)

Di tengah toleransi beragama yang selalu digaungkan. Nyatanya kasus penistaan agama masih terjadi, lagi dan lagi. Seakan-akan kasus penistaan agama ini timbul tenggelam di kehidupan sekarang tanpa ada penanganan yang komprehensif. Kasus penistaan terhadap agama Islam tidak hanya kali ini terjadi. 

Seperti yang baru-baru ini ramai menjadi perdebatan publik. Seorang pendeta bernama Abraham Ben Moses baru-baru ini menggegerkan jagad Youtube dengan video yang ia unggah di laman YouTube resminya Youtube.com/SaiffudinIbrahimTv. Dalam video yang ia unggah sang pendeta menyatakan dukungannya kepada Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengenai Aturan Pelarangan Toa Masjid. Namun tidak hanya itu, pendeta itu juga meminta kepada menag agar melakukan revisi hingga penghapusan terhadap 300 ayat Al-Qur’an yang dinilainya memicu hidup intoleran, memicu radikalisme, dan membenci orang lain yang beda agama (Suara.com 17/3/2022).

Usut punya usut, ternyata Pendeta Abraham dulunya merupakan seorang Muslim bernama Saifuddin Ibrahim dan merupakan mantan pengajar di Ponpes Al-Zaytun. Mirisnya, tindakannya untuk menistakan agama Islam bukan untuk kali pertama. Dihimpun dari WartaEkonomi, Pendeta Saifuddin Ibrahim pernah dipenjara karena menghina Nabi Muhammad SAW. Pendeta Saifuddin Ibrahim divonis empat tahun penjara pada Mei 2018. Pendeta Saifuddin Ibrahim menghina Islam di akun sosial media Facebooknya pada awal Desember 2017. Atas kasus itu, Saifuddin didakwa melanggar Pasal 45A UU ITE dan divonis empat tahun penjara. Vonis itu lebih ringan karena jaksa menuntut Saifuddin dihukum lima tahun penjara.

Setelah beredarnya video ini, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD meminta Polri menyelidiki tayangan video tersebut. Menurut Mahfud, pernyataan Pendeta Saifuddin Ibrahim dalam video itu meresahkan dan berpotensi memecah-belah umat beragama di Indonesia.
Lebih dari itu, Mahfud juga memandang bahwa ungkapan Saifuddin Ibrahim juga merupakan ungkapan penistaan agama Islam. Penistaan agama merupakan perbuatan pidana. Di negeri ini, diancaman hukuman penjara lebih dari 5 tahun.

“Barangsiapa yang membuat penafsiran atau memprovokasi dengan penafsiran suatu agama yang keluar dari penafsiran pokoknya (adalah penistaan agama, Red.). Ajaran pokok di dalam Islam itu Al-Qur’an ayatnya 6.666. Tidak boleh dikurangi, misalnya disuruh dicabut 300. Itu berarti penistaan terhadap Islam,” ujar Mahfud dalam video yang diunggah Kemenkopolhukam RI (Liputan6, 16/3/2022).

Mengapa Terus Berulang

Kasus penistaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sudah berulang kali terjadi. Tidak cukup itu, penistaan terhadap Rasulullah, ajaran Islam, dan simbol-simbol Islam juga kerap terjadi. Undang-undang yang ada tentang Penodaan Agama, tidak efektif menghentikan semua itu. Ditambah lagi penegakan hukumnya seringkali tidak memenuhi rasa keadilan. Bahkan, dalam menindak para pelaku berjalan lambat, bahkan berhenti dan tidak ada kelanjutan hukum. Hanya dengan meminta maaf, persoalan menista terkadang sudah dianggap selesai. Para penista seolah terbang bebas di atas angin dan terus berulang menyakiti hati kaum Muslim.

Perbuatan yang rendah ini akan terus berulang, dengan kemasan dan pemain baru, selama kebebasan pendapat masih dilegalkan. Kebebasan yang diberikan dalam perspektif demokrasi nyatanya hanya melahirkan orang atau pihak yang berani menghina ajaran Islam. Demokrasi yang menganut di dalamnya sistem sekuler, yakni memisahkan agama dari kehidupan memberikan empat kebebasan kepada rakyatnya, salah satunya adalah kebebasan dalam berpendapat.

Kebebasan ini yang menjadi peluang munculnya para pelaku penista agama Islam. Sebab, tidak ada tolok ukur bagi rakyat dalam mengeluarkan pendapat. Sehingga ketika rakyat mengeluarkan pendapat akan sesuai dengan keinginannya tanpa ada batasan yang mengontrol pendapatnya bisa berdampak kepada perbuatan terpuji atau tercela.

Penjagaan dalam Islam

Sekularisme yang tengah diterapkan negeri ini memang meminggirkan peran agama dalam mengatur kehidupan. Dari sekularisme inilah lahir paham lainnya, yakni liberalisme, pluralisme, dan demokrasi yang menganggap agama bukan sesuatu yang sakral yang wajib dijaga dan diutamakan. Marah karena agamanya dihina dianggap berlebihan. Jika umat menuntut hukuman tegas bagi penista agama, umat diminta lapang dada memberi maaf atau meredam dengan narasi, “Umat Islam itu ramah, bukan pemarah”.

Penerapan hukum sekuler selalu akan terbentur dengan paham lainnya. Jika penista agama ditindak tegas, berbenturan dengan HAM dan kebebasan berpendapat. Jika tidak ditindak tegas, kebebasan pasti bablas dan tak terkontrol. Dihukum salah, tak dihukum tambah salah. Serba salah. Karena pandangan ini tidak bersandar pada sesuatu yang sifatnya baku dan tetap. Sesuatu yang mestinya tidak terpengaruh penilaian manusia.

Lain hal nya dengan Islam, sebagai dien yang sempurna, tidak akan membiarkan tersebarnya pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Setiap orang boleh memberikan pendapatnya, selama tidak bertentangan dengan akidah dan hukum-hukum Islam, bahkan berkewajiban mengoreksi penguasa ketika ia melihat ada kebijakan yang menyimpang dari syariat. 

Salah satu fungsi syari’at dalam Islam yaitu menjaga agama. Sebagai pelaksananya tidak diserahkan kepada individu, melainkan negara sebagai pelaksana syari’at untuk menjaga agama. Agama tidak dibiarkan untuk dihina.  Dalam melaksanakan fungsi ini, maka Islam menerapkan sanksi yang tegas. Negara akan memberikan sanksi (hukuman) kepada siapa pun yang berusaha atau dengan sengaja mempermainkan agama.

Sistem kehidupan saat ini terbukti membuat tindak kejahatan penistaan agama terus dilakukan secara berulang. Sampai kapan semua ini berlangsung? Sampai kapan perpecahan di antara umat beragama terjadi? Saatnya kita beralih ke sistem yang memiliki sistem hukum yang tegas. Sudah tiba waktunya untuk menerapkan hukum Allah dan Rasul-Nya secara kaffah. 

Wallahu a’lam bi showab.