-->

Krisis Ukraina, Di Mana Posisi Kita Seharusnya?

Oleh : Ayu Kusumayanthi,ST
(Aktivis Muslimah) 

Kamis (24/2/2022) krisis Ukraina mencapai puncaknya, Presiden Vladimir Putin memberikan perintah untuk menyerang Ukraina. Tak ayal ledakan demi ledakan besar terus terdengar di berbagai wilayah yang ada di perbatasan Eropa Timur - Rusia tersebut.

Konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina mendapat respon beragam dari berbagai pihak dunia. Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional menilai sikap Indonesia mendukung Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyayangkan agresi Rusia terhadap Ukraina hanya mengekor sikap Amerika Serikat dan sekutunya.

"Dengan posisi mendukung berarti Indonesia hanya mengekor AS dan kawan-kawan. Sebagai negara yang menjalankan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif seharusnya Indonesia menjaga jarak yang sama dalam perseteruan antara Ukraina dan Rusia," kata Hikmahanto dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Kamis (3/3/2022).

Hingga saat ini, kondisi Ukraina sungguh mengerikan. Ribuan rakyat sipil terluka dan ratusan di antaranya meninggal dunia. Dan pada saat yang sama, jutaan orang pun mulai mengungsi ke berbagai tempat di luar Ukraina, termasuk warga negara Indonesia yang ada di sana.

Masyarakat dunia mulai ketar-ketir akan dampaknya. Sebab khawatir perang Ukraina akan membuka jalan bagi perang dunia ketiga. Maklum, meski bukan negara pertama, Ukraina dan Rusia termasuk negara pemilik senjata nuklir terbesar di dunia. Ditambah kasus Ukraina berkelindan dengan kepentingan Eropa, bahkan Amerika.

Latar Belakang

Hubungan Rusia-Ukraina tidak harmonis sejak keruntuhan Soviet berakhir. Hal ini terjadi lebih dari tiga dekade yang lalu. Saat itu, Ukraine dan negara-negara pecahan Soviet bersama-sama memutuskan untuk melepaskan diri dan menjadi negara merdeka.

Rusia merasa layak untuk menjadi pewaris tunggal Uni Soviet. Oleh karena itu, Rusia berusaha menarik seluruh negara itu ke orbitnya, termasuk Ukraina. Terlebih Ukraina menempati posisi strategis yang penting bagi utama Rusia, bahkan termasuk salah satu lumbung pangan dunia.

Namun, pada era berikutnya Ukraina justru melakukan hal yang sangat dikhawatirkan Rusia, yakni lebih condong kepada Uni Eropa yang notabenya masih terikat dengan Amerika dan NATO-nya. Sehingga Rusia pun melakukan berbagai manuver, termasuk mendukung kekuasaan yang pro kepadanya.

Viktor Yanukovych, Presiden Ukraina pro Rusia pada tahun 2014, berhasil menggulingkan pihak oposan yang pro-Barat. Rusia menamakan mereka sebagai kelompok ekstremis yang menginginkan genosida atas penduduk Rusia, serta dituding melakukan Nazifikasi Ukraina.

Sebab alasan inilah, Rusia menganeksasi Krimea, sebuah wilayah strategis di sebelah timur Ukraina dan mendirikan pangkalan militer di sana pada tahun 2014. Bahkan Rusia terus mendukung gerakan-gerakan perlawanan atas pemerintahan pro-Barat Ukraina, termasuk pemerintahan Volodymyr Zelensky yang terpilih pada 20/05/2019.

Dan beberapa bulan terakhir eskalasi politik bertambah panas, ketika Rusia melakukan berbagai manuver di perbatasan timur Ukraina. Salah satunya, membatalkan kesepakatan damai 2015 dengan mendukung dua wilayah yang memerdekakan diri dari Ukraina pada 21/12/2022, yakni kota Donetsk dan Luhansk.

Dan puncak dari manuver ini adalah terbitnya dekrit Presiden Vladimir Putin tentang operasi militer khusus di wilayah Ukraina atas nama usaha mempertahankan diri dari ancaman Ukraina modern. Sepertinya, Presiden Putin melihat upayanya menarik Ukraina dengan cara biasa ternyata telah sia-sia.

Medan Konflik Negara Adidaya

Perilaku negara adidaya memang demikian adanya. Mereka terus berkonflik demi merebut posisi negara pertama dan berebut kekayaan alam di negeri-negeri lainnya. Sebab jika diperhatikan, Ukraina sejatinya telah lama menjadi medan persaingan bagi negara-negara adidaya. Tidak hanya Rusia, di sana terdapat pula kepentingan Amerika melalui Uni Eropa, bahkan Cina sebagai sekutu politik dan ekonomi Rusia.

Dari sisi geostrategi, Ukraina memang memiliki wilayah terbesar di Eropa setelah Rusia. Posisinya ada di Eropa Timur bagian tengah, berdekatan dengan Laut Hitam dan Laut Avoz, serta beberapa negara Eropa Timur lainnya seperti Polandia, Slovakia, Hongaria, Belarus, Rumania, dan Moldova.

Sebagaimana sudah disebutkan, Ukraina merupakan benteng atau garis merah bagi Rusia - sekaligus teras depan yang bisa melindunginya dari ancaman Uni Eropa dan NATO (AS). Apalagi saat dalam pangkuan Soviet, Ukraina adalah gudang penyimpanan nuklir terbesar setelah Rusia.

Sementara itu dari sisi ekonomi, kekayaan alam yang melimpah ruah di Ukraina, serta posisinya sebagai jalur pipa gas ke Eropa, menjadi catatan tersendiri mengapa Rusia begitu serius mempertahankan pengaruhnya di sana.

Sebab inilah yang membuat Ukraina menjadi incaran para pesaing politik Rusia, terutama Amerika yang kini masih berposisi sebagai negara pertama dan menginginkan pengaruhnya kian kukuh di kawasan Eurasia. 

Ditambah sebelumnya Rusia pernah berkolaborasi dengan Cina menggoyah kekuatan ekonomi Amerika. Rusia berperan membuka wilayahnya untuk proyek jalur sutra dan menggunakan uang lokal dalam perdagangan di antara keduanya.

Tak ayal, mendekati dan memanfaatkan Ukraina merupakan salah satu cara mencegah pengaruh Rusia. Penggelontoran dana untuk ekonomi dan militer  serta mendorong demokratisasi di Ukraina terus dilakukan oleh Amerika

Sehingga bukanlah hal yang mengejutkan pada akhirnya Ukraina lebih dekat kepada Amerika dan aliansi-aliansinya, yakni NATO dan Uni Eropa. Ketika Rusia pada KTT Amerika-Rusia (7/12/2021) menuntut banyak hal tentang Ukraina, seperti meminta Amerika mengakui garis merah yang dirumuskannya di Ukraina, Amerika tidak menggubrisnya

Syekh ‘Atha’ Abu Rasytah dalam analisisnya menyebutkan, Amerika cenderung terus memanaskan situasi di Ukraina agar menjadi jebakan tersendiri bagi Rusia. Beliau juga berkata bahwa sejak sebelum KTT, Amerika telah dengan halus mengancam Rusia dengan sanksi, yakni berupa pemotongan jalur pipa gas ke Jerman yang bersekutu dengan Amerika. Juga memotong jalur pengiriman uang dari bank-bank utama Rusia ke luar Rusia.

Hilang akal sehat Rusia, Ia justru mengambil risiko besar dengan menyerang Ukraina. sebuah keputusan yang diprediksi akan merugikan Rusia dan justru diinginkan Amerika. hal ini dikarenakan selain akan menguras biaya dan energi, situasi ini akan mudah dimanfaatkan Amerika melalui NATO untuk membawa kembali Uni Eropa ke dalam jubahnya dengan dalih melawan agresi Rusia. tidak berhenti sampai disini, Amerika juga bisa menekan Rusia untuk mengurangi hubungan baiknya dengan Cina yang kini sedang menjadi ancaman bagi ekonomi Amerika.

Penyebab Derita Dunia

Krisis yang terjadi pada Ukraina bukanlah yang pertama. Konflik-konflik yang terjadi Timur Tengah, Afrika, Asia Tengah dan Asia Tenggara dari masa ke masa selalu saja melibatkan mereka, meskipun tentu saja aktornya bisa berubah tergantung kuat lemahnya posisi politik mereka di kancah internasional.

Ideologi kapitalisme telah membuat mereka melakukan segala cara. Termasuk menciptakan perang yang memunculkan penderitaan bagi rakyat tidak berdosa.

Pasca berakhirnya Perang Dunia II, Amerika berhasil mengalahkan kedudukan Inggris dan negara-negara Eropa. Dan bersama Uni Soviet mengendalikan dunia dalam dua blok yang saling bertentangan dan menciptakan ketakutan secara global.

Namun sejak Soviet runtuh, Amerika tampil sebagai penguasa tunggal. Negara lainnya, terbagi menjadi negara satelit atau pengekor yang siap mendukung keinginannya. Sedangkan Rusia, tetap berusaha membangun kekuasaan, setidaknya di negara-negara bekas jajahan Uni Soviet yang diklaim telah diwarisinya, bersama dengan negara-negara yang bisa diajak kerja sama.

Di Mana Posisi Kita Seharusnya?

Krisis Ukraina yang terjadi telah mendatangkan kecaman dari berbagai pemimpin di dunia, termasuk pemimpin dunia Islam diantaranya pemimpin Indonesia. Mereka menyebutkan bahwa perang ini hanya akan menyengsarakan umat manusia dan membahayakan dunia. Sehingga, mereka lebih memilih bersikap netral alias cari posisi aman.

Pihak Pemerintah Indonesia ikut menyatakan mengecam invasi Rusia ke Ukraina. Dan menegaskan agar semua pihak mengedepankan perundingan dan diplomasi untuk menghentikan konflik dan mengutamakan penyelesaian damai. Hal ini disebabkan Indonesia dikenal berhubungan baik dengan Rusia maupun Ukraina.

Meskipun turut serta mengecam, sayangnya Indonesia mengambil sikap “netral” atau dengan kata lain tidak berani mengambil langkah spesifik baik pemberian sanksi atau pun sikap lain terhadap Rusia. 

Sejatinya para pemimpin muslim merujuk pada ajaran Islam. Walaupun Ukraina dan Rusia sama-sama negara kafir dan perang ini tidak ada hubungan langsung dengan umat Islam sehingga haram bagi umat Islam terlibat di dalamnya atau mendukung salah satunya, tetapi perang-perang semacam ini dan konspirasi di baliknya akan menjerumuskan dunia, termasuk umat Islam pada kehancuran.

Sudah sewajarnya para pemimpin muslim mengambil sikap aktif dengan membongkar motif ekonomi-politik negara besar (Rusia dan AS) dan menjelaskan kerusakan ideologi yang mereka emban. Dan dampak perang dan ideologi ini bagi masyarakat dunia, khususnya umat Islam.

Namun pada faktanya, para pemimpin muslim ini hanyalah sebagai pengekor yang menggantungkan nasib kepemimpinannya dan negaranya kepada negara adidaya.

Dunia Butuh Khilafah

Jelas, Hal ini tentu berbeda jauh dengan kepemimpinan yang diajarkan Islam. Tugas pemimpin dalam negara Islam (yakni Khilafah) adalah menegakkan kewibawaan Islam dengan menjadikan ideologi Islam sebagai satu-satunya asas dalam pengaturan seluruh urusan rakyatnya. Khilafah berfungsi sebagai pengurus sekaligus sebagai pelindung bagi rakyatnya.

Negara seperti inilah yang memiliki kekuatan dalam menghadapi setiap tantangan dan mampu membangun posisi tawar dalam konstelasi politik internasional. Khilafah juga tampil sebagai problem solver dan dengan kekuatannya akan mampu mencegah kezaliman yang dilakukan oleh negara-negara besar.

Hal ini terjdi saat Khilafah tegak sebagai negara pertama di masa keemasan Islam. Di setiap tempat yang ada kezaliman, kehadiran tentara Khilafah senantiasa dinantikan. Dunia pun sejahtera di bawah naungan Khilafah Islam. Hal ini bisa kita lihat ketika Khilafah berhasil membebaskan rakyat Palestina dari kezaliman kekuasaan politik Romawi. Atau membebaskan rakyat Andalusia dari kezaliman penguasa Visigoth. 

Wallahu a'lam Bishshawwab