-->

Ada Apa dengan Islamophobia?

Oleh : Maretatik

Tanda-tanda kebangkitan umat Islam semakin nyata. Banyak pihak yang dulunya menghadang Islam, mulai beralih mendukung Islam. Era keterbukaan informasi semakin memudahkan masyarakat mengakses berbagai hal, termasuk untuk belajar Islam. Pandemi telah membuat banyak orang memanfaatkan waktunya untuk berselancar di dunia maya dan bertemu dengan berbagai kajian Islam yang mencerahkan. 

Akan tetapi, hal itu juga diikuti dengan semakin gencarnya serangan musuh terhadap perjuangan umat Islam. Stigma negatif terus saja bermunculan di mana-mana. Label teroris dan radikal tak henti disematkan kepada umat Islam yang ingin menerapkan Islam secara kafah. Dengan demikian, masyarakat awam merasa takut untuk mempelajari Islam, sehingga mereka justru menjauhi agama mereka sendiri.

Tentu saja, hal itu sangat menggembirakan musuh-musuh Islam, Barat. Karena mereka memang sengaja ingin membendung kebangkitan umat Islam. Karena Barat memang telah memprediksi tentang kebangkitan Islam, meskipun hari ini belum terjadi. Prediksi kebangkitan umat Islam inilah yang memicu mereka melakukan berbagai hal untuk bisa menghentikan atau setidaknya menunda kebangkitan umat Islam. 

Sebenarnya, hal itu menunjukkan adanya ketakutan Barat terhadap Islam politik. Karena hal itu akan menggantikan hegemoni mereka terhadap dunia yang mereka puja. Oleh karena itu, mereka benar-benar serius mencari cara untuk menunda kehancuran peradaban mereka.

Melalui agen-agennya, Barat selalu mempromosikan kebaikan demokrasi dan keburukan Islam. Gagal dengan cara kekerasan – war on terorism – Barat beralih dengan cara yang  lebih soft, war on radicalism. Tak terkecuali di negeri kita, Indonesia, mereka pun berupaya mereduksi ajaran Islam agar keberadaan Islam tidak semakin meluas dan dilirik masyarakat sebagai sistem alternatif saat ini. 

Belum lama ini, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas membuat pernyataan yang membuat heboh tanah air. Saat menjelaskan perihal pembatasan suara toa masjid. Dia mengumpamakan sebuah rumah yang di sekitarnya banyak musala, maka saat waktu salat tiba, semua musala akan mengumandangkan azan dalam waktu yang relatif bersamaan. Setelah itu, dia mengumpamakan dengan sebuah rumah yang tetangganya banyak memiliki anjing, lalu mereka menggonggong bersama …. Pernyataan ini tentu saja membuat publik panas. Kenapa disetarakan dengan gonggongan anjing? Bukankah anjing adalah hewan yang najis, sedangkan azan adalah seruan yang suci. 

Ketika dikonfirmasi terkait hal ini, Yaqut mengelak dan menyatakan bahwa hal tersebut hanya membahas tentang pengaturan volume toa masjid. Tidak ada maksud untuk menistakan agama Islam. Namun fakta lah yang berbicara. 

Analisis

Adanya polemik pembatasan volume toa masjid ini ditanggapi oleh berbagai tokoh dan ulama. Diantaranya Ustaz Adi Hidayat, berpendapat bahwa tidak layak seseorang, apalagi yang merupakan seorang tokoh, menteri agama, mengeluarkan pernyataan tentang suara azan lalu disandingkan dengan suara gonggongan anjing. Menurut beliau, masih banyak urusan lain yang lebih krusial yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah.

Menurut pendapat Buya Yahya, azan adalah panggilan salat yang harus dikumandangkan dengan sekuat-kuatnya dan sejauh mungkin jangkauan yang bisa dijangkau. Maka aturan pembatasan volume toa masjid akan bertentangan dengan prinsip ini. Jika pengaturan volume toa untuk selain azan, maka hal itu masih memungkinkan, masih menurut Buya Yahya, (https://youtube.be/_F0JzeGtZRA).

Sedangkan Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto, menyatakan bahwa aturan pembatasan volume toa masjid yang dituangkan dalam Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala yang dikeluarkan Menag tersebut tidak bisa digeneralisir untuk semua wilayah di Indonesia, karena di luar Jawa, ada banyak daerah yang jarak antara rumah dengan masjid atau musalanya cukup jauh, sehingga dengan volume 100 db tidak akan terdengar di rumah warga yang jauh. (Republika.co.id, 25/2/2022).

Pemberlakuan aturan tersebut, secara tidak langsung akan mengurangi syiar Islam, khususnya di wilayah yang pemukiman penduduknya tidak padat. Mereka tidak akan mendengar lagi suara azan yang nyaring. Bukan tidak mungkin, akhirnya banyak orang yang meninggalkan salat, lantaran mengira belum masuk waktu salat. Dampak  selanjutnya, masyarakat awam akan semakin jauh dari Islam. 

Akan tetapi, polemik ini disikapi acuh oleh pemerintah. Menag berdalih bahwa ini hanya soal pengaturan volume toa masjid saja. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan suasana toleransi di antara umat beragama. Padahal selama ini tidak ada yang mengeluhkan suara toa masjid. Pemerintah seolah menganggap bahwa umat Islam telah gagal mewujudkan toleransi di masyarakat.

Dengan demikian, maka ini menjadi bukti bahwa rezim ini memang sudah terjangkiti Islamopobia. Pejabat-pejabat negara menunjukkan sikap anti terhadap Islam dan terkesan memusuhi umat Islam. Hal itu terlihat dari kebijakan mereka yang tidak berpihak kepada Islam. 

Berulangnya kasus semacam itu menunjukkan bahwa sistem di negara kita saat ini tidak mampu melindungi Islam. Karena memang sistem yang diterapkan hari ini bukanlah sistem Islam, bahkan sistem yang bertolak belakang dengan Islam, sistem warisan Barat. Maka wajar saja jika sistem ini akan mengarahkan penganutnya untuk memusuhi Islam.

Khatimah 

Sebagai bagian dari umat Islam, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk meredam arus Islamophobia dengan terus mengenalkan Islam yang sesungguhnya ke tengah-tengah masyarakat. Tetap berdakwah sesuai dengan metode dakwah Rasulullah Saw. sampai Allah menurunkan pertolongan-Nya dan menegakkan negara khilafah yang akan menjaga akidah umat dari pemikiran asing yang sesat.