-->

Penghapusan Honorer, Solusi kah?

Oleh : Rahmawati, S.Pd (Aktivis Muslimah Kalsel)

Sudah sejak lama guru honorer menjadi perbincangan banyak orang. Pasalnya, mereka banyak yang mendapatkan gaji sedikit, tidak seperti gaji-gaji ASN lainnya. Banyak fakta yang terjadi di negeri kita yang kaya raya ini, guru honorer yang berjuang mendidik dan mencerdaskan bangsa justru tidak mendapatkan gaji yang layak. Apalagi dengan isu akan terjadi penghapusan tenaga guru honorer pada tahun 2023.

Seperti dilansir dari Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Tjahjo Kumolo menegaskan status tenaga honorer akan selesai atau dihilangkan pada 2023. Sehingga tidak ada lagi pegawai berstatus honorer di instansi pemerintahan. Menaggapi hal itu, Ketua Forum Honorer Sekolah Negeri FHNS Gunungkidul Aris Wijayanto mengaku resah dengan pernyataan tersebut. Mengingat masih banyak guru honorer yang belum diangkat menjadi ASN baik itu PPPK ataupun PNS.

“Ada juga keresahan dari pernyataan pak Menteri Tjahjo kemarin," kata dia. Meski hal itu bisa berakibat tidak adanya pengangkatan guru honorer sebagai abdi negara, namun dia ingin berprasangka baik. Dia berharap dalam waktu satu tahun ini semua guru honorer akan diangkat menjadi ASN.“Kalau saya pribadi, kami ambil sisi positifnya. Mungkin maksudnya pak Menteri itu tenaga honorer ini akan diangkat jadi ASN semua sebelum tahun 2023,” kata dia.

Dia menjelaskan, status pegawai pemerintah di 2023 nanti hanya ada dua jenis saja yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Kedua status tersebut disebut dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). Terkait beberapa pekerjaan di instansi pemerintah, seperti petugas keamanan dan kebersihan, Tjahjo mengatakan hal itu akan dipenuhi melalui tenaga alih daya melalui pihak ketiga atau pekerja outsourcing.

Penghapusan honorer tidak berarti semua akan diangkat  menjadi pegawai pemerintah. Namun justru ada kemungkinan banyak menghilangkan lapangan kerja yang selama ini didapat oleh para honorer. Karena penetapan ini bermakna tidak ada lagi APBD yang dialokasikan untuk guru honorer.
Sebelumnya pun pemerintah beralasan mengenai penghapusan tenaga honorer guna merapikan jajaran birokrasi karena ke depan akan beralih dengan transformasi digital di seluruh instansi pemerintah. Adapun tenaga honorer yang ingin diangkat menjadi ASN, mereka diharuskan mengikuti seleksi dalam bentuk PPPK maupun CPNS. Meskipun demikian, penghapusan ini akan merugikan para tenaga honorer yang jumlahnya ribuan orang. Kurangnya lapangan pekerjaan yang tidak mungkin menyerap mereka semua yang tidak lolos tes. Menyikapi hal ini, seharusnya pemerintah memikirkan solusi nyata guna mengantisipasi lonjakan pengangguran yang akan terjadi. Salah satunya, pemerintah memberikan pesangon untuk mereka yang gagal tes. Dengan demikian, para eks honorer dapat meanjutkan hidup dengan memulai usaha baru dengan modal uang pesangon.

Penghapusan tenaga honorer di tengah kondisi dan situasi seperti ini sangatlah memprihatinkan. Selama ini, rakyat terdampak pandemi saja belum sepenuhnya diatasi dengan baik. Banyak dari mereka bertahan hidup seadanya demi mengais rejeki dengan susah payah. Adanya kebijakan ini tentu akan menambah jumlah angka kemiskinan di negeri ini. Cita-cita pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan sangat kontradiktif dengan kondisi rakyat maupun kebijakan yang diterapkan. Dalam membuat suatu kebijakan harusnya pemerintah teliti dan hati-hati menimbang dampak apa yang akan terjadi ke depan jika kebijakan ini diterapkan. Jangan sampai rakyat menjadi korban akibat kurangnya kehati-hatian dalam merumuskan perencanaan suatu kebijakan.

Sekulerisme yang diterapkan meniscayakan penguasa menempuh jalan tengah demi memuasakan oligarki. Lagi-lagi rakyatlah yang menjadi korban dari keadaan ini. Sistem yang pada dasarnya sudah rusak inilah yang menjadikan aturan dan kebijakannya keliru, tidak berdasarkan fakta dan kondisi masyarakat yang masih memerlukan lapangan pekerjaan melalui tenaga guru honorer.

Dengan begitu sudah saatnya umat sadar dan mengganti sistem yang ada dengan sistem Islam, agar umat memiliki penguasa yang menjadi pelindung mereka dan juga bertanggungjawab atas  semua permasalahan yang dihadapi rakyat. Seperti pada masa khalifah Umar bin Khattab menjadi pemimpin, ketika itu umat benar-benar menjadi pusat perhatian, apalagi guru sangat diperhatikan dan digaji dengan angka yang sangat fantastis yaitu 15 Dinar atau setara dengan 33 juta/bulan. Sebuah angka atau nominal yang sangat besar jika direalisasikan untuk kehidupan saat ini. Ini sangat ironi dengan kenyataan guru di negeri ini khususnya, kita masih melihat guru mendapatkan gaji di bawah Rp.500 ribu/bulan. Siapa yang tidak ingin guru sejahtera seperti pada masa khalifah Umar? Tentu semua orang menginginkannya. Namun, hal itu hanya bisa terjadi ketika Islam diterapkan dalam institusi pemerintahan. Yang mana pemimpin benar-benar memfokuskan dalam pengurusannya terhadap rakyat. Baik dalam urusan pribadi seperti urusan pekerjaan.

Wallahu a’lam bishowab