-->

Komersialisasi Layanan Kesehatan Di Masa Pandemi

Oleh : Ade Rosanah
(Aktivis Dakwah) 

Beberapa kali tarif tes PCR mengalami perubahan di negeri ini. Pertama kalinya tes PCR dibanderol dengan harga mencapai jutaan rupiah. Maka ketika tes PCR menjadi syarat wajib perjalanan, terjadilah gelombang protes dari masyarakat. Pada akhirnya pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) tes PCR menjadi Rp 275 ribu (Jawa-Bali) dan Rp 300 ribu (luar Jawa-Bali). Menurut menteri BUMN Erick Thohir, tarif tes PCR di negeri ini termasuk paling murah dibandingkan dengan negara lain (Detik.com, 18/11/2021).

Pemerintah menetapkan tarif tes PCR tersebut karena perusahaan penyedia tes PCR tidak bisa menetapkan harga sesuai keinginan perusahaan. Jadi, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan yang didampingi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menetapkan HET untuk tes PCR saat ini (Detik.com, 18/11/2021).

Namun, kebijakan pemerintah tersebut nyatanya mendapat protes dari pelaku usaha kesehatan. Mereka meminta pemerintah melibatkannya dalam penetapan harga tes PCR tersebut, karena harga yang ditetapkan pemerintah pada saat ini akan mengakibatkan para pelaku usaha layanan kesehatan mendapat kerugian. Kerugian akibat harga yang tidak sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan. Sedangkan jika rumah sakit, klinik atau laboratorium tidak memberikan pelayanannya maka kemungkinan besar akan mendapat sanksi dan ditutup pemerintah. Jadi, HET tes PCR cukup memberatkan pihak penyedia layanan tes PCR.

Sebenarnya dalam kebijakan saat ini bukan hanya para pelaku usaha kesehatan yang dirugikan, tapi juga berdampak pada masyarakat. Masyarakat akan tetap menanggung secara mandiri biaya untuk melakukan tes PCR. Terkait harga murah tes PCR yang ditetapkan pemerintah pun menjadi bukti bahwa pemerintah hanya sebagai pembuat aturan saja. Pemerintah tidak berperan sebagaimana negara dengan kerja nyata berkewajiban mengurusi semua kebutuhan pokok rakyatnya, termasuk di bidang kesehatan.

Pemerintahan dalam sistem Kapitalisme faktanya berpangku tangan tentang pelayanan kesehatan dan penyediaan alat-alat kesehatan yang dibutuhkan rakyat. Apalagi di masa pandemi Covid 19 seperti saat ini, masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan yang ekstra. Tes PCR yang terkategori hajat hidup orang banyak, tanggung jawabnya malah diserahkan pemerintah kepada pihak swasta yaitu para pengusaha yang berbisnis dalam bidang kesehatan. Tak luput, pejabat sekaligus pengusaha ikut terjun dalam bisnis ini.

Jadi, tidak bisa dipungkiri bahwa pemerintah memberi peluang keuntungan bagi pelaku usaha kesehatan. Memberikan kesempatan dalam kesempitan untuk mengkomersialisasi kesehatan. Antara penguasa dan pengusaha terjalin kerjasama demi meningkatkan perekonomian yang akan menguntungkan mereka. Tak dipungkiri watak asli sistem Kapitalisme tidak bisa terpisah dari para pemilik modal. Sehingga hal terkait kesehatan pun tidak luput untuk dijadikan sebagai ladang bisnis. Maka dari itu, kita bisa menilai bahwa pemerintah lebih mementingkan meningkatkan perekonomian para pengusaha dibandingkan meningkatkan kesehatan dan keselamatan rakyat di masa pandemi.

Akhirnya, kesehatan dan keselamatan rakyat dipertaruhkan karena dijadikan peluang bisnis semata. Memandang persoalan ini Islam memiliki cara pandang berbeda tentang jaminan kesehatan serta pelayanannya. Dalam sistem Islam, kesehatan dan keselamatan adalah hak rakyat yang menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Maka Islam mewajibkan negara menyediakan fasilitas kesehatan gratis dan berkualitas guna melayani rakyat untuk jaminan kesehatan dan perlindungannya. Masyarakat tidak dibebankan dengan sejumlah biaya atas layanan kesehatan berupa pengobatan atau pemeliharaan kesehatan.

Lain halnya seperti yang terjadi pada sistem Kapitalisme saat ini, biaya menjadi tanggungan masing-masing individu. Dengan berbagai macam cara seperti asuransi kesehatan atau membayar iuran BPJS. Tentu saja hal itu memberatkan bagi kalangan masyarakat yang tingkat perekonomiannya rendah. Jangankan untuk membayar iuran untuk layanan kesehatan. Untuk biaya makan sehari-hari saja sulit.

Sedangkan jaminan kesehatan dalam Islam memiliki empat sifat. Pertama universal, siapapun berhak mendapatkan layanan kesehatan dan tidak ada pengkelasan. Kedua, bebas biaya. Ketiga, seluruh rakyat dapat mengakses dengan mudah layanan kesehatan dan keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis. Pertanyaannya, dari mana negara menanggung semua biaya layananan kesehatan yang diberikan untuk masyarakat? Tentu saja semua biaya diambil dari hasil sumber kekayaan alam negeri yang dikelola negara. Semua hasil sumber daya alam akan diperuntukan untuk kesejahteraan umat.

Negara dalam sistem kepemerintah Islam yakni Khilafah tidak menjadikan kesehatan sebagai bahan komersialisasi. Karena semua menjadi tanggungan negara. Kesehatan dan perlindungan merupakan hak dasar sebagai warga negara yang harus dipenuhi pemerintah. Layanan dan alat-alat kesehatan akan disediakan sendiri oleh negara tanpa adanya intervensi pihak pengusaha yang senantiasa mencari keuntungan dalam setiap kesempatan.

Wallahu'alam.