-->

ISLAM SOLUSI, PPKS HANYALAH ILUSI

Oleh : Amirah Syafiqah 

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi yang telah ditetapkan 31 Agustus 2021 menuai berbagai kecaman di masyarakat.

Komisi X DPR RI memastikan bakal memanggil Mendikbudristek, Nadiem Makarim, untuk meminta klarifikasi Permendikbudristek tersebut. Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, kepada wartawan, Selasa (9/11/2021). (Tribunnews.com)
Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Partai Gerindra Himmatul Aliyah, menghargai maksud dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Namun, Himmatul menilai aturan tersebut mengabaikan nilai-nilai keagamaan.  Padahal menurut UUD 1945, upaya memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penyelenggaraan sistem pendidikan nasional tidak lepas dari nilai-nilai agama. (Tribunnews.com)

Adapun, Wakil Ketua Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya mengaku tak sependapat dengan pihak-pihak yang tidak setuju dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud-Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). 

Menurutnya, Peraturan Menteri itu justru sudah bagus. Sehingga, ia menyarankan agar Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim menyelesaikan polemik PPKS dengan dialog bersama pihak yang tak setuju. "Permennya bagus, saya apresiasi. Tinggal diajak dialog saja, ini enggak mungkin kita terjebak dalam proses terus menerus, tolak dan terima," kata Willy di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (9/11/2021). (Kompas.com)

Pro-kontra dalam Permendikbud-Ristek No.30 Tahun 2021 ini masih belum menemukan titik temu, ada yang mengatakan sepakat dengan aturan ini, namun ada juga menyatakan sikap menentang dan permintaan untuk mencabut permen ini.

Adapun alasan terkait mengapa munculnya permendikbud-ristek ini ialah karena banyak terjadi kekerasan seksual yang ada di perguruan tinggi, sebagaimana yang dikutip oleh tirto.id bahwa kekerasan seksual terjadi di 79 kampus (tirto.id), adapun dari hasil survei yang dilakukan oleh mendikbud pada tahun 2020,dikatakan bahwa 77 persen dari dosen kampus mengakui bahwa telah terjadi kekerasan seksual dikampusnya. Bahkan di akui oleh bapak mendikbud bahwa ada tiga dosa besar yang dilakukan oleh pendidikan yang salah satunya adalah kekerasan seksual.

Sehingga dari fakta diatas dapat diketahui bahwa dunia pendidikan, terkhusus perguruan tingga yang notabane-nya banyak intelektual, ternyata tidak menjamin akan terbebasnya dari kekerasan seksual, yang bahkan ternyata kekerasan seksual juga dilakukan oleh beberapa praktisi kampus.

Melihat pada fenomena yang terjadi di perguruan tinggi, akhirnya muncullah peraturan untuk menyikapi kekerasan seksual, yakni permendikbudristek no.30 tahun 2021, namun sayangnya penyikapan akan permen ini tidak begitu disetujui, dengan adanya beberapa sebab, dikatakan bahwa permen ini tidak mencantumkan nilai-nilai agama didalamnya, adapun hal yang sangat terlihat ialah pada pasal 5, yang mana sering memasukkan kata ‘tanpa persetujuan korban’ hal ini ditanggapi oleh beberapa ormas yang menganggap bahwa jika ada persetujuan maka boleh dilakukan maka akan ada kemungkinan masuk kedalam ranah perzinahan yang jelas tidak sesuai dengan norma agama.

Selain itu, apakah solusi ini akan menjadi solusi yang solutif yang dapat menyelesaikan problematika yang terjadi diperguruan tinggi atau hanya akan menambah permasalahan yang ada bahkan akan mempengaruhi masyarakat?
Melihat dari permendikbud-ristek no.30 tahun 2021 maka didalamnya kita akan mendapati bahwa isi dari permendikbud ini cenderung memasukkan nilai-nilai liberalisme, hal ini dilihat dari peraturan mentri yang berulang menggunakan kalimat ‘persetujuan’ yang ini akan menuju pada seksual consent, hal ini akan menjadi diksi yang berbahaya, yang mana didalamnya pun tidak memasukkan nilai agama, hal ini seolah-olah mengatakan bahwa jika aktivitas seksual dilakukan dengan adanya persetujuan antara dua pihak dengan atau tanpa menikah diperbolehkan, dan jelas hal ini tidak diperbolehkan didalam agama. 

Menurut pengamat politik, Muslim Arbi, isi Permen tersebut justru melegitimasi perzinaan. Masalahnya, dalam terminologi “kekerasan seksual” tersebut, jika tindakan seksualnya terjadi dengan persetujuan, maka tidak terkategori kekerasan seksual
Ketua Majelis Ormas Islam (MOI) KH Nazar Haris menyampaikan, selain dari aspek formil dan muatan materil yang tidak berlandaskan pada ketentuan, masyarakat juga dinilai harus menolak beleid itu. Sebab, kata dia, terdapat ‘penumpang gelap’ yang mengamini regulasi bentukan Kemendikbud tersebut.
“Jika dilihat dari poin-poin yang disebutkan dalam Permendikbudristek Nomor 30 itu, selain nanti ada bentuk legalisasi seks bebas di ranah kampus, ujung-ujungnya merambet kepada legalisasi seksual LGBT. LGBT ini penumpang gelapnya regulasi ini,” kata dia.

Di sisi lain, kata dia, MOI mengkhawatirkan bahwa Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 merupakan titik pijak yang menjadi yurisprudensi yang diajukan dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). “Kita khawatir beleid ini jadi milestone yang diajukan RUU TPKS,” ujar dia. (Republika.co.id) 

Adapun hal yang perlu kita pahami terlabih dahulu, mengapa kekerasan seksual ini dapat terjadi, yang mana sejatinya kekerasan seksual ini bersumber dari pola pikir liberal yang mekaukan segala sesuatu yang serba bebas tanpa adanya batasan, perlu kita renungi bersama, bahwa manusia di dunia ini memang selalu diciptakan oleh sang pencipta dengan adanya naluri, termasuk naluri untuk menyukai lawan jenis, yang mana naluri ini akan tumbuh dengan cepat jika terus dirangsang baik dengan tontonan, melihat lingkungan sekitar yang bebas, dan lain sebagainya, sayangnya kondisi kehidupan liberal saat ini membuat manusia seringkali terjerumus hingga akhirnya melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan norma agama termasuk kekerasan seksual, dari sinilah maka dapat diketahui munculnya banyak kasus kekerasan seksual ialah akibat dari pola pikir liberal yang merusak, yang mana pola pikir liberal ini muncul dari paham sekularisme yang memisahkan agama dengan kehidupan. Yang alih-alih solusi yang dicanangkanpun tidak kembali pada norma agama.

Sehingga jika memang ingin menyelesaikan dan membersihkan dunia pendidikan dari kekerasan seksual, maka harus melihat pada akar permasalahan yakni adanya sekularisme dan liberalisme, oleh sebab itu semestinya negara bukan memberikan solusi yang dapat memberi peluang tumbuh suburnya liberalisasi melainkan melawan liberalisme dan sekularisme yang jelas-jelas merusak moral generasi.

Sehingga, ketika rumusan masalah kekerasan seksual tidak tepat, solusi yang ada juga tidak akan benar. Oleh karena itu solusi solutif dalam mengatasi kekerasan seksual adalah mencampakkan ideologi kapitalisme sekuler lalu menerapkan sistem alternatif lain sebagai penggantinya yakni sistem islam yang terbukti pernah menjadikan manusia memiliki martabat yang tinggi.

Islam bukan hanya agama ritual. Islam adalah konsep kehidupan yang memiliki seperangkat sistem yang mengatur kehidupan individu, masyarakat, dan negara. Dalam lintas sejarah, sistem Islam terbukti mampu mencetak manusia berkepribadian mulia dan melahirkan ilmuwan hebat yang berdedikasi tinggi.
Kampus-kampus yang berdiri pada masa Islam berhasil menjadi mercusuar peradaban dengan segudang prestasi dan ilmu. Pencapaian ini belum pernah mampu terwujud oleh peradaban mana pun. dengan penerapan sistem Islam kafah, tujuan mulia pendidikan dapat tercapai; kampus akan menjadi pusat riset dan keilmuan bagi para pencari ilmu, yakni insan-insan mulia yang mempersembahkan ilmunya untuk kepentingan umat manusia, bukan menjadi insan yang terbelenggu dengan kepentingan korporasi demi mengejar prestasi dan nilai materi semata.

Jika pendidikan hari ini sudah terlihat kegagalannya, mengapa kita masih saja enggan berpindah kepada sistem Islam yang jelas memiliki visi dan misi pendidikan yang lebih baik? Bukankah syariat hadir sebagai penyelesai masalah umat manusia? Hanya dengan kembali menerapkan Al-Qur’an dan Sunah, generasi ini terselamatkan dari kerusakan dan keterpurukan. Tidakkah kita ingat ucapan emas dari Imam Malik rahimahullah, “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan sesuatu yang memperbaiki generasi awalnya.”

Wallahu’alam bi Ashowab