-->

Ironi Impor Garam di Negeri Maritim

Oleh: Binti Masruroh (Praktisi Pendidikan)

Pemerintah memutuskan untuk membuka kran impor garam 3,07 juta ton. Keputusan ini disampaikan oleh Mentri Perindustrian (Menparin) Agus Gumiwang Kartasasmita. Agus menyampaikan alasan impor garam tersebut karena kebutuhan garam nasional tahun 2021 menacai 4,6 juta ton, sedangkan stok garam dari petani garam lokal tidak mencukupi. Pemerintah akan melakukan impor sebanyak 3.07 juta ton, sementara 1,5 juta ton akan dipenuhi dari produk lokal. Selain itu kualitas garam lokal dianggap tidak memenuhi syarat industri (KOMPAS.com 25/05/21).

Impor garam besar-besaran ini menunjukkan kegagalan pemerintah mewujudkan target swasembada garam di tahun ini dan mengabaikan jeritan petambak garam karena panen berlimpah dan tidak lakunya garam lokal. Indonesia memiliki potensi sebagai negara maritim yang memiliki lautan sangat luas dan lahan garam nasional mencapai 27.047,65 hektar dan jumlah petambang garam mencapai 19.503 orang. Indonesia juga memiliki potensi gunung garam seperti di Kalimantan Timur yang masih sangat berpeluang membuaka tambang baru.

Produksi garam yang masih rendah menunjukkan potensi yang dimiliki negeri ini belum dikelola secara maksimal, masih menggunakan teknologi tradisional dan masih sangat tergantung pada cuaca. Biaya transportasi yang mahal, rantai tata niaga yang terlalu panjang, banyak distorsi pasar, adanya kartel dan penyerapan rendah.

Fakta ini merupakan buah dari penerapan sistem kapitalis liberal. Pemerintah hanya sebagai regulator, operator dan pelaksana teknis pemerintah, otonomi daerah dan desentralisasi kekuasaan. Pemerintah membuat aturan hanya menguntungkan segelintir kapitalis yakni produsen atau  investor  besar, importir dan distributor. Negara hanya memfasilitasi pemburu rente dari impor produk vital.

Kondisi ini berbeda dengan sistem Islam atau Khilafah. Negara berfungsi sebagi raa’in (pelayan) dan Junnah (perisai) yang akan melindungi rakyat. Negara akan bertanggungjawab dan hadir secara  langsung baik mengatur perencanaan yakni produksi, distribusi dan konsumsi maupun realisasi berupa pemenuhan kebutuhan rakyat dan keberlangsungan usaha petani garam.

Rasulullah SAW bersabda: “Imam atau khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya” (HR. Ahmad dan Bukhari).

Dalam hal produksi negara memanfaatkan potensi sumber daya alam dengan mendukung petani garam, memaksimalkan produksi melalui edukasi dan pelatihan, dukungan sarana dan prasarana produksi serta infrastruktur penunjang lainnya. Untuk distribusi, negara menciptakan pasar yang sehat dan kondusif sehingga menghilangkan distorsi. Pada konsumsi, negara menjamin penyediaan makanan yang halal dan thayyib. Negara wajib mengedepankan fungsi pelayanan. Negara akan memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku kejahatan pangan.

Dalam sistem Islam, impor merupakan bagian dari aktivitas perdagangan luar negeri yang harus mengikut hukum Islam serta mengedepankan kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Dilakukan impor atau tidak tergantung pada kebijakan khalifah bukan karena intervensi atau keterikatan pada perjanjian internasional. Import harus memperhatikan status negara pengimpor dan status hukum barang.

Dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah pada setiap aspek kehidupan, seluruh masalah  akan bisa diselesaikan termasuk masalah garam. Keberkahan dan kesejahteraan rakyat akan terwujud, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-A’roh ayat 96 yang artinya, “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.

Wallahu a’lam bi ash-showwab