-->

Kebocoran Data: Butuhnya Keamanan Preventif Hingga Sistemis, Bukan Perlindungan yang Diskriminatif

Oleh: Arifah Azkia N.H, S.E (Aktivis Muslimah)

Kebocoran data kembali terjadi, kini pemerintah tengah kalang kabut menghadapi data orang nomor satu di Indonesia bocor. Dilansir dari laman CNBC Indonesia (5/9/2021), media massa dan jagad media sosial tengah heboh mengenai sertifikat vaksinasi Covid-19 tahap kedua milik Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang ‘bocor’ dan beredar di Twitter.

Sertifikat vaksinasi ini merisaukan karena yang bocor adalah NIK sang presiden. Dilansir dari laman Kompas.com (4/9/2021), Pakar Digital Forensik Ruby Alamsyah menjelaskan, terdapat dua kesalahan dari peristiwa ini. Pertama, NIK Jokowi ditampilkan di laman Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon presiden sejak pemilu hingga 3 September. Kedua, metode verifikasi yang kurang aman pada situs Peduli Lindungi.

Bukan sekali dua kali kebocoran data terjadi. Sudah berkali-kali. Salah satu kebocoran data yang terjadi ialah dibobolnya 2,3 juta data warga Indonesia dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Informasi itu datang dari akun @underthebreach, Kamis malam 21 Mei 2020. Data yang dibobol termasuk nama, alamat, nomor ID, tanggal lahir, dan lainnya (Tempo.com, 3/9/2021).

Walau sudah terjadi berkali-kali, tapi baru kali ini pemerintah gerak cepat melakukan pembenahan. Karena, yang bocor adalah data milik sang kepala negara dan para pejabat. Bahkan, Menkes dikabarkan kini menutup akses data milik para pejabat negara.

Bagaimana dengan data rakyat lainnya? Wajar jika banyak pihak menyatakan adanya diskriminasi dalam perlindungan data saat ini.

Buruknya Sistem Perlindungan Data ala Kapitalis

Terkuaknya kebocoran data pribadi Presiden RI ini menjadi alarm bagi kita semua betapa buruknya sistem perlindungan data di negeri ini. Bahkan, kejadian ini tidak terjadi sekali dua kali dan menimpa para pejabat lain. Tidak menutup kemungkinan data masyarakat juga ikut terekspos.

Kalau data presiden saja bisa bocor apalagi rakyat? Tentu lebih mudah untuk bocor. Banyak data pribadi rakyat dijual, hingga terjebak pinjaman online ilegal. Dampak lainnya bisa sangat berbahaya dan merugikan rakyat, tidak sedikit rakyat yang menjadi korban kedzoliman atas minimnya perlindungan negara terhadap data pribadi rakyat. Dan hal ini pun tentu juga akan berimbas pada kekacauan dan merugikan negara. 

Maka sudah selayaknya Negara melindungi data seluruh warga negaranya. Bukan hanya data pejabat negara yang mendapat perlindungan istimewa, tapi semua rakyat juga berhak. Ketika data para pejabat bocor, negara langsung bertindak. Namun, ketika data rakyat  yang bocor bertebaran di media sosial, negara acuh tak acuh. Padahal seharusnya rakyatlah yang harus didahulukan dan di prioritaskan. 

Apalagi ini menyangkut perlindungan serta keamanan data pribadi. Karena bisa saja, akan diakses dan disalahgunakan oleh pihak lain. Bisa saja ada tindakan kejahatan yang dilakukan menggunakan data dan akun orang lain. Ini menandakan tidak adanya jaminan keamanan dan perlindungan data pribadi dalam sistem saat ini.

Di sisi lain, Pemerintah memberikan solusi dengan mengeluarkan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi. Dengan UU PDP ini, nantinya para pembocor dan pengambil manfaat dari kebocoran data pribadi warga akan dijatuhi sanksi, mulai dari denda sampai pidana. Begitu pesan Ketua DPR RI.

Sejatinya, kebocoran data yang berulang ini karena Indonesia ada di posisi sebagai pengguna teknologi, yakni internet of Thing (ioT) dan juga Big Data. Pemilik risetnya adalah dunia Barat yang akan menggunakan data juga teknologi untuk hegemoni mereka dalam menguasai dunia.

Belum lagi, adanya para peretas data dengan skala kelompok atau pribadi yang bertujuan mengumpulkan materi. Semua bisa dilakukan agar materi dan kesenangan pribadi terpenuhi. Tak peduli perbuatannya melanggar aturan sampai merugikan juga membahayakan banyak pihak.

Inilah karakter individu dan bangsa dalam sistem sekular kapitalisme. Baik diri atau bangsa, semua fokus pada tujuan dunia dan materi. Tak peduli akan cara yang dilakukan, semua demi tercapainya tujuan. Tak payah memikirkan halal haram, asal ada manfaat bagi diri juga bangsa yang didapat. Sehingga, UU PDP ini sejatinya hanya aturan tambal sulam yang tak menyentuh akar permasalahan yang ada.

Islam Menjamin Perlindungan dan Keamanan

Lain halnya dengan negara Islam yang di sebut Khilafah. Dalam Islam, negara diwajibkan memberikan jaminan keamanan serta perlindungan dari ketakukan bagi setiap individu rakyat. Di antaranya adalah keamanan data pribadi. Rakyat berhak mendapatkan keamanan dan perlindungan. Jika ada perangkat yang dapat membantu menjaga keamanan data rakyatnya, negara akan berusaha memberdayakannya agar data rakyat tetap aman. Tentu saja hal tersebut diserahkan kepada ahlinya. Karena negara berkewajiban melakukan kebijakan berdasarkan kemashlahatan umat.

Sebagaimana kita telisik di Saat Romawi masih menjadi pihak yang menguasai teknologi peperangan, Rasulullah SAW mengutus beberapa sahabat yang ahli untuk mempelajari teknologi perang tersebut. Ini dilakukan demi tujuan menjadi negara mandiri dan terdepan. Juga sesuai dengan perintah Allah dalam Al qur’an surat Al Anfal ayat 60. 

Negara juga tidak akan memilah milih siapa yang akan mendapatkan jaminan keamanan.  Semua rakyat berhak mendapatkan perlindungan negara, baik muslim maupun non muslim, kaya ataupun miskin. Tidak ada hak istimewa bagi para pejabat dalam menerima perlindungan. Begitupula tidak hanya memberikan solusi semu yang tidak mengakar tuntas pada permasalahan yang ada. Akan tetapi, memberikan keamanan preventif hingga sistemis harus diupayakan demi terwujudnya kemaslahatan ummat.

 Wallahua’lam bishshawab.