-->

Layanan Kesehatan “Gratis” dalam Islam

Oleh: Ratna Nur’aini

Perbedaan harga tes polymerase chain reaction  (PCR)  di Indonesia dengan negara lain telah menuai pertanyaan bagi warga Indonesia.   Pasalnya, harga tes PCR di Indonesia lebih mahal dari India. Moh Agoes Aufiya mengatakan bahwa harga tes PCR di India saat ini berkisar di angka Rp 100 ribuan dengan kurs sekitar Rp 200 per rupee, detiknews, Sabtu(14/8/2021). Tentu saja harga PCR di Indonesia sangat memberatkan rakyat Indonesia. “Selama ini, jumlah orang yang melakukan tes sangat terbatas . Salah satu penyebabnya adalah harga yang terlalu tinggi. Tidak semua orang bisa menjangkau . Akibatnya hanya orang yang betul-betul membutuhkan kelengkapan administrasi  melakukan tes. Katakanlah, misalnya, orang yang bepergian lewat bandara, perlu menunjukkan  hasil PCR.” Ujar  anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay, detiknews, Sabtu(14/8/2021).

Setelah banyaknya kritik masyarakat atas mahalnya biaya tes PCR dan anti gen mandiri maka pemerintah menurunkan harga PCR. Presiden Joko (Jokowi) memerintahkan agar harga tes polymerase chain reaction (PCR) diturunkan. Jokowi meminta agar biaya tes PCR dikisaran Rp 450 ribu hingga Rp 550 ribu. “Saya sudah berbicara dengan Menteri Kesehatan mengenai hal ini, saya minta agar biaya tes PCR berada dikisaran antara Rp 450.000 sampai Rp 550.000,” kata Jokowi dalam keterangannya melalui kanal YouTube Setpres, Minggu (15/8/2021). Selain harga PCR turun, hasil tes PCR pun dipercepat dalam waktu maksimal 1 x 24 jam. 

Keputusan penurunan harga PCR telah menghasilkan dua batas tarif yaitu tarif atas PCR yang ditetapkan oleh Kemenkes yaitu wilayah Jawa dan Bali sebesar Rp 495. 000, sedangkan untuk luar Jawa – Bali sebesar Rp 525.000. “Dari hasil evaluasi kami sepakati batas tarif tertinggi pemeriksaan real time PCR diturunkan menjadi Rp 495.000 untuk daerah Pulau Jawa dan Bali, serta Rp 525 .000 untuk daerah di luar pulau Jawa dan Bali,” kata Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir dalam konferensi pers virtual Kemenkes, kontan.co.id , Senin (16/8) 

Akan tetapi harga PCR yang sudah diturunkan itu masih dirasa berat oleh masyarakat. Karena beban hidup masyarakat semakin berat apalagi di masa pandemi. Banyak masyarakat yang mengalami penurunan pendapatan bahkan kehilangan mata pencahariannya akibat pandemi covid 19. “Pandemi covid-19 telah memukul berbagai sektor sehingga banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan,” kata Jokowi pada Peringatan  HUT Konfederensi Serikat Pekerja Selruh Indonesia (KSPSI) ke 48 secara daring, CNN Indonesia, Senin (22/2). Tentunya kebijakan memasang tarif PCR tidak perlu dilakukan melihat kondisi ekonomi masyarakat semakin terpuruk.

Penanganan urusan publik atau masyarakat yang menggunakan ukuran untung rugi hanya ada di dalam sistem kapitalisme.  Karena dalam sistem kapitalisme menempatkan materi diatas segalanya. Negara hanya sebagai regulator atau pengatur urusan umat . Hanya mengatur atau membuat kebijakan agar harga PCR turun setelah mendapat kritikan dari masyarakat. Negara tidak mampu membuat kebijakan gratis  PCR untuk masyarakat. Akibatnya meski harga PCR turun, masyarakat tetap merasakan kesulitan hidup.

Berbeda dengan Islam, Islam menempatkan  kesehatan sebagai salah satu  kebutuhan pokok atau dasar yang dijamin pemenuhannya oleh negara. Negara akan memberikan layanan kesehatan yang murah bahkan gratis, juga memberikan  sarana dan prasarana pendukung dengan visi melayani kebutuhan rakyat secara menyeluruh tanpa diskriminasi. Negara sangat mendukung aktivitas riset . Penemuan-penemuan dari hasil kemajuan ilmu dan teknologi dalam bidang kesehatan sepert PCR dan lainnya sangat didukung oleh negara untuk kemaslahat umat dalam bentuk cuma-cuma atau gratis . Itulah salah satu bentuk tanggung jawab negara terhadap  pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Rasulullah saw bersabda : “ Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al Bukhari).  Negara tidak membebani rakyatnya untuk membayar kebutuhan layanan kesehatannya apalagi memaksa rakyatnya untuk mengeluarkan uang terutama di masa pandemi. Negara mengurus kebutuhan warganya dan memastikan bahwa seluruh warganya  (baik muslim maupun non muslim) hidup dengan mendapatkan jaminan makanan,  tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan. Untuk seluruh pembiayaan kebutuhan warga, negara menggunakan kas negara (Baitul Mal) . Inilah negara yang mampu mewujudkan pemenuhan kebutuhan dasar bagi waganya yang disebut dengan Khilafah.