-->

Utang Meningkat, Benarkah Demi Rakyat?

Oleh: Asyrani (Pemerhati Masalah Umat)

Kasus pandemi semakin tak terkendali. Urutan pertama dunia, Indonesia-lah yang telah menempati. Realita ini tentu menjadi bahan evaluasi. Apalagi saat pemberlakuan PPKM darurat, kasus tersebut malah melambung tinggi.

Guncangan corona ini menambah ruwetnya perekomian. Sebab, sejak awal negara telah terancam resesi. Sementara, kebijakan yang diberlakukan semakin membekuk keadaan. Tidak ada lagi pendapatan. Alhasil, utang dijadikan sebagai langkah penyelamatan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan utang merupakan salah satu instrumen untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian di masa pandemi covid-19. Pasalnya, APBN mengalami pelebaran defisit sehingga membutuhkan pembiayaan yang salah satunya bersumber dari utang (CNN Indonesia, 24/07/2021).

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menambahkan, pandemi adalah extraordinary challenge atau tantangan yang luar biasa, dan hal itu membutuhkan respon kebijakan yang juga extraordinary. Salah satu kebijakan extraordinary adalah mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN) yang harus menjawab begitu banyak tantangan di masa pandemi ini, seperti kebutuhan untuk meningkatkan anggaran di bidang kesehatan, bantuan sosial, membantu masyarakat, membantu daerah, dan menjaga perekonomian (SindoNews.com, 25/07/2021).

Alih-alih menjadi tameng penyelamat. Justru keberadaan utang, apalagi yang mengandung bunga berbunga, merapuhkan keuangan negara. Jika memang benar seluruh dana difokuskan untuk mengatasi pandemi dan menyelamatkan rakyat, bukankah peluang kebocoran dana kian meningkat?

Ditambah lagi fakta yang terjadi di lapangan membuat publik tercekat. Dimana negara mengemis pada Cina, meminta utang untuk biaya penyelesaian kereta cepat. Padahal, keadaan pandemi saat itu tengah berstatus siaga. Sungguh miris, seolah keselamatan rakyat tak lebih penting dibandingkan dengan infrastruktur dan investasi. 

Jika negara menambah utang, maka sama halnya menambah beban bagi rakyat. Sebab, pemasukan APBN salah satunya berasal dari pajak. Alhasil rakyat harus kembali menelan rasa pahit. Keberadaannya hanya dijadikan 'tumbal' keserakahan kapitalis.

Karena itu, utang tidak semestinya dijadikan agenda tetap untuk menjaga stabilitas kas negara. Lebih-lebih utang yang berbunga, sudahlah haram, juga menjauhkan dari keberkahan. Keberadaannya pun dijadikan sebagai akses bagi negara Barat untuk menyandera negara penerima utang. Tak heran jika invasi dan liberalisasi budaya tak bisa terelakkan.

Untuk itu diperlukan sebuah solusi yang benar-benar menyolusi. Bukan terus mengandalkan sistem ekonomi-kapitalis, yang nyatanya menjadi bumerang dalam negeri. Menggiring negara berada dalam perbudakan dan semakin jauh dari tujuan kemandirian. Sistem tersebut haruslah berasal dari Yang Maha Mengetahui, Allah Swt., yakni sistem Islam.

Islam memandang bahwa utang negara tidak semestinya dilakukan kecuali untuk perkara-perkara urgen. Yang mana jika ditunda (utang tidak diambil), dikhawatirkan terjadi kerusakan dan kebinasaan. Untuk perkara-perkara yang bisa ditunda, maka negara tidak boleh berutang. Melainkan hendaknya negara menunggu hingga memiliki harta untuk selanjutnya bisa dianggarkan dalam belanja negara.

Jadi, negara tidak boleh tergesa-gesa berutang jika digunakan untuk keperluan infrastruktur. Jika pun untuk keperluan mendesak di tengah pandemi seperti saat ini, negara semestinya tetap mengupayakan langkah mandiri, misalnya memungut pajak dari orang-orang kaya di dalam negeri. Pajak ini pun sifatnya insidental, bukan pemasukan utama negara.

Apalagi kita telah ketahui bahwa utang negara kita berbasis bunga. Padahal Allah Swt., telah begitu tegas mengharamkan riba. Firman Allah Swt.,

"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya". (QS Al-Baqarah [2]: 275).

Wallahu a'lam bish-shawab.