Sistem Demokrasi Menyuburkan Korupsi
Oleh: Binti Masruroh
Emir Moeis mantan terpidana kasus korupsi ditunjuk sebagai salah satu komisaris PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) uang merupakan anak asuh BUMN PT Pupuk Indonesia. Emie Moeis diangkat sebagai komisaris sejak 18 Februasi 2021 lalu (kompas.com 06/08/21).
Emir Moeis pernah terjerat kasus suap proyek pembangunan proyel Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan Lampung pada tahun 2004 ketika menjabat sebagai anggota DPR. Dia terbukti menerima suap 3.574.000 dollar AS pada tahun 2014 kemudian divonis 3 tahun penjara dan denda RP.150 juta (kompas.com 06/08/21)
Fakta ini juga mengkonfirmasi survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang melakukan survei terkait persepsi publik atas pengelolaan dan potensi korupsi sektor Sumber Daya Alam Indonesia. Berdasarkan hasil survei diperoleh hasil bahwa korupsi menjadi masalah yang paling memprihatinkan menurut pandangan masyarakat (gatra.com 08/08 21)
Fakta ini menegaskan baha sistem kapitalis demokrasi yang diadopsi negeri ini sangat ramah terhadap koruptor. Sehingga cita-cita mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) menjadi mimpi di negara yang mengadopsi sistem ini.
Demokrasi adalah sitem pemerintahan dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Kekuasaan tertinggi ditangan rakyat. Rakyat yang terpilih dalam pemilulah yang memiliki wewenang untuk membuat undang-undang. Mereka adalah para anggora Dewan Legislatif. Padahal manusia memiliki sifat lemah dan terbatas, sehingga ketika membuat hukum akan dipengaruhi oleh hawa nafsunya yaitu kepentingan pribadi atau kelompoknya. Tidak heran kalau hukum yang dihasilkan bisa berubah-ubah sesuai kepentingan dan bisa dijual belikan.
Ongkos politik dalam demokrasi sangat mahal. Untuk bisa menjabat sebagai kepala daerah atau sebagai anggota dewan memerlukan biaya mencapai puluhan milyar rupiah. Jual beli suara merupakan hal yang lumrah dalam sistem demokrasi. Dari mana biaya yang sangat besar tersebut. Para kapitalis atau pengusaha besarlah yang mensuplai dana tersebut. Tentu saja hal ini tidak gratis. Para kapitalis tentu mensyaratkan kompensasi maksimal, bisa berupa tender berbagai proyek, berbagai regulasi yang menguntungkan para kapitalis. Sehingga negara demokrasi bertranformasi menjadi negara korporatokrasi yaitu pemerintahan yang disetir oleh korporasi. Tidak heran kalau beberapa waktu yang lalu muncul undang-unadang omnibuslaw. Trias Politika yang di klaim sebagai pemerintahan terbaik ternyata ketiganya saling bekerjasama untuk meraup keuntungan demi kepentingan individu dan partainya. Kekayaan alam rakyat dijarah secara legal atas nama regulasi yang dilegitimadi sistem demokrasi. Sehingga korupsi pasti tumbuh subur di lahan demokrasi.
Hal ini berbeda denga sistem Islam yakni Khilafah. Dalam sistem Islam hanya Allah SWT, Dzat yang Maha Sempurna yang memiliki wewenang untuk membuat hukum. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Yusuf ayat 40, “Sesungguhnya pembuat hukum itu hanyalah Allah." Sehingga hukum dalam Islam tidak bisa ditawar atau diperjualbelikan. Para penguasa dalam sistem Islam diangkat untuk menerapkan syariat Islam, sesuai ketentuan yang terdapat dalam Al Qur'an maupun Hadist.
Sistem Islam yakni khilafah merupakan teladan terbaik dalam masalah pemberantasan korupsi. Dalam negara khilafah seorang pejabat akan dihitung kekayaannya sebelum menjabat, ketika menjabat pun akan selalu diawasi penambahan kekayaannya. Apabila terdapat penambahan harta yang meragukan akan dihitung penambahannnya itu didapat secara syar’i atau tidak. Apabila terbukti dia korupsi maka kekayaan tersebut akan disita sebagai kas negara dan pejabat tersebuat akan diproses hukum.
Islam secara tegas mengharamkan suap menyuap. Rasulullah bersabda “Allah melaknat penyuap dan yang disuap dalam urusan hukum" (HR. Tirmidzi).
Islam menetapkan korupsi merupakan salah satu pemerolehan harta secara haram, karena korupsi merupakan penghianatan. Korupsi dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan pejabat negara dengan sewenang-wenang.
Islam memberikan hukuman yang sangat tegas pada pelaku korupsi, suap, penerima komisi gelap dengan hukuman ta’zir yang hukumannaya disesuaikan dengan tingkat kesalahannya. Mulai dari yang ringan sampai yang berat. Mulai nasehat dari hakim, penjara, denda, dicambuk, diumumkan pada publik melalui media masa, cambuk, sampai hukuman mati. Dengan penerapan Islam secara kaffah maka suap dan korupsi akan bisa diberantas secara tuntas
Wallahu A’lam bish-showab.
Posting Komentar