-->

Polemik GKI Yasmin, Islam Tersudutkan Lagi?

Oleh: Anggraini Putri Mahardita

Polemik GKI Yasmin yang terus mengalir selama 15 tahun kini memasuki babak baru. Pemerintah Kota Bogor akhirnya menyerahkan dokumen izin mendirikan bangunan (IMB) untuk pembangunan rumah ibadah Gereja Kristen Indonesia (GKI) di jalan R. Abdullah bin Nuh, Yasmin, Kota Bogor, Jawa Barat. (Republika.co.id, 8/8) . Setelah sebelumnya Wali Kota Bogor Bima Arya menghibahkan lahan untuk relokasi pembangunan GKI Yasmin yang semula berada di R. Abdullah bin Nuh, Yasmin, yang sempat disegel karena ditolak oleh sebagian warga ke daerah Kelurahan Cilendek Barat.

Solusi hibah lahan dengan merelokasi yang disebut-sebut sebagai jalan tengah, ternyata masih mendapat penolakan dari pihak GKI Yasmin alasannya karena pendirian GKI Yasmin sah secara hukum berdasarkan peninjauan kembali MA Nomor 127 PK/TUN/2009 tanggal 9 Desember 2010. Sengkarut permasalahan GKI Yasmin ini berawal dari penolakan warga Curug Mekar pada 2008, salah satunya adalah karena adanya dugaan pemalsuan tanda tangan warga penduduk oleh ketua RT setempat sebagai syarat mengajukan IMB pembangunan GKI Yasmin. Alasan lainnya yakni GKI Yasmin tak memiliki minimal pengguna sejumlah 40 KK yang bertempat tinggal di wilayah tersebut. Termasuk tak mengantongi rekomendasi tertulis dari sejumlah organisasi kerohanian. 

Islam Tersudutkan Lagi-Lagi

Dari kasus ini muncul lah reaksi dari para pegiat HAM yang turut mempermasalahkan penolakan-penolakan tersebut sebagai bentuk intoleransi mayoritas terhadap minoritas. Dalam permasalahan ini dengan sistem sekuler yang ada saat ini kembali menyudutkan Islam lagi-lagi. Memperlihatkan seolah-olah umat Muslim adalah umat yang intoleran dan tak menghargai keberagaman agama. Mereka beranggapan bahwa alasan apapun terkait penolakan pembangunan GKI Yasmin tidak boleh dibenarkan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai toleransi, keberagaman serta kebebesan beragama.

Beginilah fakta hidup dalam sistem sekuler, ketika kebebasan dalam beragama diterapkan tanpa batas. Setiap orang merasa memiliki hak untuk menjalankan ibadahnya meskipun tidak sesuai dengan aturan yang ada. Saat sedikit saja minoritas merasa tidak adil, pegiat HAM dan kebebasan akan bersuara lantang dan mati-matian dalam membela, namun sebaliknya jika mayoritas yang tertindas dan tak diberi keadilan maka mereka akan senantiasa mengingatkan tentang toleransi dan saling menghargai. Mayoritas harus selalu menghargai minoritas meskipun kesalahan berada pada pihak minoritas. Standar ganda toleransi dalam sistem sekuler seperti inilah yang kerap terjadi. Di sisi lain adanya polemik GKI Yasmin yang berjalan sampai 15 tahun serta penolakan relokasi sebagai jalan tengah membuktikan bahwa solusi toleransi dalam sistem sekuler tak mampu memberi kepuasan pada semua pihak serta membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya.

 Bagaimana Islam Memaknai Toleransi?

Tentu saja berbeda dengan Islam, toleransi yang diterapkan bukanlah toleransi yang bebas tanpa batas dan juga tidak akan mencampuradukkan yang benar dan yang salah atas nama toleransi. Toleransi dalam Islam telah dijelaskan dalam surah Al Baqarah ayat 256, “Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa yang ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Islam adalah agama yang mengajarkan toleransi dan sangat menghargai keberagaman. Islam tidak pernah memaksakan kehendak dalam beragama. Bebas beragama dalam Islam bukan bermakna bebas sekehendak manusia, namun tetap ada aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh semua pihak. Bebas beragama menurut Islam yaitu antara lain bebas dalam memeluk agamanya masing-masing tanpa adanya paksaan bagi non muslim untuk memeluk Islam, bagi umat muslim ada larangan tegas untuk murtad sebagai bentuk penjagaan akidah umat, selain itu Islam juga memberi kebebasan dalam menjalankan ajaran agamanya selama tidak keluar dari batas-batas syariah dan akidah.

Toleransi beragama dalam Islam tak hanya sekedar teori, namun hal tersebut telah dicontohkan oleh Rasulullah saat menerima delegasi Kristen Najran ketika saat itu mereka memasuki waktu beribadah maka Rasulullah memberi kesempatan mereka untuk menjalankan ibadahnya. Kedamaian antar umat beragama juga dicontohkan pada masa Khilafah Abbasiyah, yakni pada saat Khalifah Al-Mamun yang pernah mendirikan Lembaga Penerjemahan yang dikepalai oleh Hunain Ibnu Ishaq, seorang Kristen yang ahli dalam bahasa. 

Fakta sejarah yang menunjukkan betapa ramahnya Islam kepada non muslim ketika hidup berdampingan disebabkan adanya penerapan toleransi yang sebenarnya dalam Islam, tidak hanya toleransi dalam ranah individu melainkan diterapkan oleh negara yang disebut sebagai Daulah Khilafah Islamiyah. Terbukti selama 1400 tahun lamanya, toleransi seperti itulah yang mampu menjadi pelindung bagi seluruh warga negara baik muslim maupun non muslim.