-->

Mewujudkan Harapan Indonesia dengan Hijrah

Oleh : Dewi Tisnawati, S.Sos.I (Pemerhati Sosial)

Hari Selasa, 10 Agustus adalah bertepatan dengan tahun baru Islam 1443 Hijriyah yakni 1 Muharram. Tahun baru Islam ini adalah momentum yang tepat untuk merenungkan apakah negeri kita tercinta, Indonesia sesuai dengan harapan yakni menjadi negara yang maju? Apalagi di masa pandemi covid 19 yang melanda selama setahun lebih hingga saat ini. Tentu harapan ini adalah keinginan bersama. 

Salah satu harapan pejabat pemerintah sebagaimana dirilis pada Jakarta, CNN Indonesia- Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan untuk bisa lepas dari jebakan negara pendapatan kelas menengah (middle income trap), pertumbuhan ekonomi Indonesia harus bisa mencapai 6 persen pada 2022 mendatang. Bila itu bisa dicapai, ia yakin Indonesia bisa naik kelas menjadi negara maju pada 2045.

Berdasarkan perhitungan Bappenas, pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca 1998 tidak pernah kembali ke skenario trajectory (tren) pertumbuhan ekonomi tanpa krisis. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi selama ini selalu macet di posisi 5 persen.

"Pemulihan ekonomi pasca covid-19, kami berharap kalau kita bisa based pada 2022 dengan tingkat pertumbuhan 6 persen, maka trajectory (tren pertumbuhan ekonomi) yang panjang tadi (tanpa krisis) bisa kembali lagi pada 2029," ujarnya dalam webinar CSIS dan Transformasi Ekonomi Menuju Indonesia 2045, Rabu (4/8).

Apakah harapan itu bisa diraih di negeri ini yang masih menerapkan sistem pemerintahan sekuler? Sistem politik yang menghalalkan segala cara hingga lahirnya banyak koruptor. Ditambah lagi dengan sistem ekonomi yang ribawi, sistem sosial yang buruk serta sistem pendidikan yang jauh dari nilai Islam. Demikian pula dengan sistem hukum yang lebih banyak berpihak kepada yang kuat. Tentunya harapan itu akan mustahil terwujud.

Jalan satu-satunya untuk mewujudkan harapan menjadikan Indonesia maju, tentu bukan hanya sekedar maju tapi menjadi negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur adalah dengan hijrah. Hijrah bersama dari sistem demokrasi sekuler menuju sistem Islam.  Inilah momentum yang tepat, semangat hijrah yang dimiliki umat sepatutnya diarahkan bukan hanya sekadar memperbaiki individu tetapi juga negara.

Adapun hijrah hadir pada individu namun tidak cukup kecuali lingkungan yang mendukung yakni lingkungan yang Islami sehingga dibutuhkan hijrah kolektif yang menuju perubahan negeri. Syarat hijrah bagi Individu ialah berniat karena Allah Swt. Lalu diikuti dengan perbuatan yang mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Hal itu bisa dilakukan hanya dengan mempelajari atau mengkaji ajaran Islam secara kaffah. Tidak bisa mencukupkan diri dengan mengubah penampilan pakaian dengan menggunakan simbol-simbol agama.

Akan tetapi, hijrahnya seorang individu jika tidak dibarengi dengan hijrahnya lingkungan tempat ia berada justru akan menjadi masalah baginya. Bahkan bisa membahayakan akidahnya, sebab lingkungan yang buruk akan mempengaruhi gagalnya seorang inividu dalam berhijrah. 

Maka dibutuhkan hijrah yang sempurna yakni meninggalkan apa saja yang telah dilarang oleh Allah Swt., termasuk pula meninggalkan syirik (kufur) menuju negeri Islam. Hijrahnya bukan sekadar melakukan perubahan pada diri melainkan perubahan untuk negeri. Sebab menurut para fukaha, hijrah ialah keluar dari darul kufur menuju Darul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah, II/276).

Adapun mengubah negeri kufur atau darul kufur menuju darul Islam ialah dengan cara memperjuangkan Islam agar menjadi sistem dalam kehidupan. Sebab jika Islam tegak akan mengubah sistem pemerintahan yang kapitalis menjadi sistem pemerintahan Islam,  dari pendidikan sekuler menjadi sistem pendidikan Islami, membersihkan sistem politik yang korup dan menerapkan hukum yang adil.

Sistem Islam akan melakukan transformasi sistem uang kertas menjadi sistem mata uang dinar dan dirham. Melakukan penataan ulang kepemilikan umum dan mendistribusikannya secara adil. Selain itu, negara juga menyelesaikan berbagai tanggung jawab seperti utang-piutang, sengketa tanah dan lain-lain. Mewujudkan cita-cita dan harapan bangsa tersebut, pada dasarnya tidaklah mudah karena tentu ada tantangan dan resiko yang akan ditemui. Maka dibutuhkan kekuatan akidah Islam yang dimiliki oleh setiap individu yang melakukan perubahan tersebut. 

Cendekiawan muslim, Ustaz Ismail Yusanto dalam event dakwah “Hijrah Bareng-Bareng” (11/8), beliau mengatakan makin memahami hijrah, makin pula memahami resikonya. Tidak perlu khawatir karena Allah akan memberikan kekuatan, bahkan ketika menghadapi tantangan dari penguasa, maka selalulah bersama Al-Qur’an  meski pula menghadapi kematian. Mati dalam ketaatan kepada Allah lebih baik daripada mati dalam kemaksiatan.

Maka dibutuhkan kerja sama seluruh komponen rakyat untuk mewujudkan harapan Indonesia ini. Allah Swt. berfirman, “ Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Mahapengampun’.” (QS Saba’: 15)

Imam al-Qurthubi menafsirkan mengenai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, ayat itu menunjukkan bahwa Allah mengumpulkan sekaligus pada orang-orang Saba’, yakni antara ampunan Allah atas dosa-dosa mereka dan anugerah-Nya bagi kebaikan tempat tinggal mereka. Kedua hal itu ialah harmonisasi antara keberkahan negeri dan kesalehan penduduknya.

Oleh karena itu, mari bersama wujudkan harapan Indonesia dengan menerapkan syariat Islam dalam bentuk negara Islam agar menjadi negeri yang maju dan negeri baldatun thayyibatun warabbun ghafur. 

Wallahu a'lam bish shawab.