-->

Korupsi Problem Besar Bangsa Yang Tiada Henti


Indonesia tanpa korupsi nampaknya hanya tinggal mimpi. Bahkan dari hari ke hari, jumlah uang rakyat yang dikorupsi makin fantastis saja. Padahal di saat yang sama, kondisi ekonomi Indonesia bisa dibilang kian payah.

Indonesia dikenal sangat ramah terhadap koruptor. Terbukti, masuknya eks koruptor sebagai komisaris BUMN menegaskan bahwa sistem ini sangat ramah terhadap koruptor.

Dikutip dari suara.com pada 7/8/21, Indonesia Corruption Watch (ICW) angkat bicara terkait penunjukan Emir Moeis oleh Kementerian BUMN untuk menjadi komisaris PT Pupuk Iskandar Muda. Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengaku tak habis pikir apakah tidak ada orang lain yang memiliki kemampuan untuk mengisi jabatan tersebut.

"Mosok nggak ada calon lain yang lebih kredibel untuk ditunjuk. Kok sepertinya kita kekurangan orang yang bagus, bersih dan kompeten," ucap Adnan.

Adnan menilai penunjukan Emir Moeis tersebut sebagai salah satu bentuk kemunduran BUMN di Indonesia dalam pengelolaan pengisian jabatan.

Mengutip laman resmi perusahaan, Emir Moeis diangkat menjadi komisaris sejak 18 Februari 2021 lalu. Hingga Jumat (6/8/2021) malam, staf khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga belum juga merespons saat ditanyakan perihal penunjukan Emir Moeis sebagai salah satu komisaris di PT PIM tersebut.

Diketahui, Emir pernah terjerat kasus suap proyek pembangunan pembangkit listrik uap (PLTU) di Tarahan, Lampung pada 2004 saat menjadi anggota DPR. Ia divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta karena terbukti menerima suap senilai 357.000 dollar AS pada 2014. (Kompas.com, 6/8/21)

Fakta di atas menegaskan salah satu bukti yang mengkonfirmasi survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) terkait persepsi atau pandangan masyarakat bahwa korupsi adalah problem besar bangsa.

Detiknews (8/8/21), Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei nasional mengenai persepsi publik atas pengelolaan dan potensi korupsi sektor sumber daya alam. Hasilnya, 60 persen publik menilai tingkat korupsi di Indonesia meningkat dalam dua tahun terakhir. Berdasarkan hasil survei tersebut diperoleh fakta bahwa korupsi menjadi masalah yang paling memprihatinkan menurut pandangan masyarakat.

Mayoritas publik nasional 60 persen menilai bahwa tingkat korupsi di Indonesia dalam dua tahun terakhir meningkat," kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam konferensi pers secara daring, Minggu (8/8/2021).

Jayadi menerangkan tingkat keprihatinan korupsi di Indonesia mendapat penilaian tinggi dari publik. Ada 44 persen yang menilai sangat prihatin, 49 persen prihatin dan 4 persen tidak prihatin.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi. Namun peningkatan korupsi dari sisi kuantitas dan kualitasnya malah semakin pesat. Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah menyebut, bahwa munculnya kasus-kasus korupsi sangat terkait dengan keberadaan para investor atau cukong politik yang bermain dalam setiap momen pemilihan para pejabat negara, termasuk anggota dewan maupun kepala daerah.

Jika diteliti lebih dalam, akar permasalahan korupsi adalah akibat mahalnya biaya demokrasi. Sistem demokrasi meniscayakan para calon menggandeng korporasi untuk bisa membiayai kontestasi politik. Maka, politik transaksional terjadi dengan adanya jual beli jabatan dan jual beli kebijakan.

Suburnya tindak korupsi di suatu negeri tak bisa dilepaskan dari sistem politik yang digunakan. Sebagaimana diketahui, dalam sistem politik demokrasi, rakyat diberikan kedaulatan penuh untuk membuat undang-undang. Kala manusia diberikan hak untuk membuat sebuah peraturan, produk hukum yang dihasilkan berpeluang memiliki kecenderungan kepentingan. Walhasil politik yang dilakukan bukan lagi politik pelayanan kepada masyarakat, namun lebih pada tendensi kepentingan individu dan kelompok. Alhasil, negara demokrasi bertransformasi menjadi korporatokrasi, yaitu pemerintahan yang disetir korporasi.

Sistem Islam tegak di atas landasan keimanan kepada Allah swt yang termanifestasi dalam penegakan seluruh aturan-Nya oleh negara atau penguasa, serta ditaati oleh individu-individu rakyatnya yang beriman dan bertakwa.

Kesempurnaan sistem Islam terlihat dari aturan yang jelas tentang penggajian, larangan suap-menyuap, kewajiban menghitung dan melaporkan kekayaan, kewajiban pemimpin untuk menjadi teladan, serta sistem hukum yang sempurna. Sistem penggajian yang layak adalah keharusan. Para pejabat adalah pengemban amanah yang berkewajiban melaksanakan amanah yang diberikan kepadanya.

Sistem Islam juga melarang aparat negara menerima suap dan hadiah atau hibah. Suap adalah harta yang diberikan kepada seorang penguasa, hakim, atau aparat pemerintah lainnya dengan maksud untuk memperoleh keputusan mengenai suatu kepentingan yang semestinya wajib diputuskan olehnya tanpa pembayaran dalam bentuk apa pun. Setiap bentuk suap, berapa pun nilainya dan dengan jalan apa pun diberikannya atau menerimanya, haram hukumnya. 

Allah swt berfirman: "Janganlah ada sebagian kalian makan harta benda sebagian yang lain dengan jalan batil, dan janganlah menggunakannya sebagai umpan (untuk menyuap) para hakim dengan maksud agar kalian dapat makan harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui (hal itu)" (QS al-Baqarah [2]: 188).

Rasulullah saw juga melarang praktik suap ini. "Rasulullah saw. melaknat penyuap, penerima suap, dan orang yang menyaksikan penyuapan" (HR Ahmad, Thabrani, al-Bazzar, dan al-Hakim).

Penegakan hukum merupakan aspek penting lainnya yang harus dijalankan dalam sistem Islam. Hukuman dalam Islam mempunyai fungsi sebagai pencegah. Para koruptor akan mendapat hukuman yang setimpal dengan tindak kejahatannya. Para koruptor kelas kakap, yang dengan tindakannya itu bisa mengganggu perekonomian negara, apalagi bisa memperbesar angka kemiskinan, dapat diancam dengan hukuman mati, di samping hukuman kurungan. Dengan begitu, para koruptor atau calon koruptor akan berpikir berulang kali untuk melakukan aksinya.

Maka patut dipertanyakan jika masih ada yang berharap pada sistem demokrasi ini, saat nya kembali pada hukum Allah swt. 

"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah : 50)

Oleh: Khoirotiz Zahro Verdana, S.E.