-->

Gurita Korupsi Di Sistem Sekular

Oleh: LIT Gusta (Ibu Rumah Tangga)

Jakarta - Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei nasional mengenai persepsi publik atas pengelolaan dan potensi korupsi sektor sumber daya alam. Hasilnya, 60 persen publik menilai tingkat korupsi di Indonesia meningkat dalam dua tahun terakhir. Responden dipilih secara acak dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang dilakukan pada rentang Maret 2018 hingga Juni 2021. Survei ini menggunakan metode simple random sampling, ukuran sampel basis sebanyak 1.200 responden memiliki toleransi kesalahan (margin of error atau MoE) kurang lebih 2,88% pada tingkat kepercayaan 95%. (news.detik.com)

Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menilai, sistem peradilan dan hukum di Indonesia belum membuat para koruptor jera. Fenomena itu muncul karena masih minimnya penggunaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dalam tuntutan maupun pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Padahal penggunaan UU TPPU pada para terpidana dan terdakwa korupsi bisa menyelamatkan sejumlah besar kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Namun, berdasarkan data ICW sepanjang tahun 2020, dari total 1.298 terdakwa tipikor, hanya 20 terdakwa yang didakwa menggunakan UU TPPU tersebut. Data ICW juga menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2020 kerugian negara akibat tindak pidana korupsi sebesar Rp 56,7 triliun dan kerugian atas kasus suap sebesar Rp 322 miliar. Di sisi lain, pidana pengganti yang dijatuhkan pada para terpidana korupsi hanya sebear Rp 19,6 triliun, dengan total nilai denda sebesar Rp 156 miliar. Dengan temuan ini bagaimana bisa kita bicara soal penjeraan bagi terdakwa dan terpidana kasus tipikor bisa tercapai. Sementara itu, hukuman pengganti dan denda tidak seimbang dengan kerugian negara.

Bahkan yang terbaru, Mantan terpidana kasus korupsi Emir Moeis ditunjuk sebagai salah satu komisaris di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). Ia diangkat menjadi komisaris sejak 18 Febuari 2021 dan ditunjuk oleh para pemegang saham PT PIM. Profil mantan anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P itu sendiri telah dimuat di laman resmi PT PIM. (Sumber: kompas)

Dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor: PER-03/MBU/2012 Pasal 4, Emir Moeis jelas tidak memenuhi syarat administratif sebagai komisaris karena memiliki riwayat melakukan pelanggaran hukum (baca: eks-koruptor). Syarat-syarat lain yang harusnya dipenuhi adalah anggota komisaris bukan merupakan pengurus partai politik, dan/atau anggota legeslatif dan/atau tidak sedang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif.

Meski telah ada KPK, namun alih-alih membuat efek jera justru deretan kasus korupsi menjadi kian panjang memenuhi kolom media di negeri ini. Dalam sistem Kapitalisme, hukum bisa dibeli. Tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Maka bagaimana mungkin penegakan hukum oleh Negara dalam sistem Kapitalisme bisa membuat efek jera apalagi membuat efek pencegah bagi yang belum melakukan korupsi?

Islam adalah agama yang lurus yang memisahkan sesuatu yang haq (benar) dengan yang batil (salah). Orang yang beriman akan merasa takut jika melakukan perbuatan korupsi, baik sendirian maupun jamaah. Islam melarang keras perolehan harta ghulul yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai Negara dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik Negara maupun harta milik masyarakat. Pejabat akan memperoleh gaji/tunjangan. Selain itu harta-harta yang diperoleh karena memanfaatkan jabatan dan kekuasaanya seperti suap, korupsi maka termasuk harta ghulul atau harta yang diperoleh secara curang. (Abdul Qadim Zallum, Al amwal fi daulah Khilafah hlm. 118).

Dalam konteks sekarang, korupsi tidak terbatas pada tindakan “mencuri dan memanipulasi” [ikhtilas] anggaran, sehingga sering diindentikkan dengan mencuri [sariqah]. Padahal, faktanya berbeda. Hari ini korupsi juga meliputi praktik suap [risywah], gratifikasi [hadiyyah], bahkan layanan plus-plus dan sebagainya, dimana antara pemberi dan penerima suka sama suka. Karena itu, pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak hanya terbatas pada praktik “mencuri dan memanipulasi” saja, tetapi juga meliputi suap, hadiah dan sejenisnya.

Islam memiliki mekanisme pencegahan dan penanganan kasus korupsi. 

Dalam hal ini, ada tiga aspek yang harus diperhatikan 

Pertama, ketaqwaan individu, baik pada rakyat jelata maupun pejabat negara. Hal ini akan mustahil bisa terwujud jika Negara ini masih mengagungkan sistem Sekularisme yang sangat tidak peduli kepada ketaqwaan individu. Karena mengganggap bahwa urusan agama adalah urusan individu masing-masing. Maka pasti tidak akan tercipta rasa idrak sillah billah (kesadaran akan hubungannya dengan Allah). Jika individu tidak merasakan hubungan dengan Rabb-nya maka bisa dipastikan bahwa perbuatan yang dia lakukan entah itu baik atau buruk, halal atau haram tidak ada bedanya baginya. Karena tak ada rasa takut dalam dirinya ketika berbuat menyimpang , bermaksiat bahkan merugikan orang lain. Maka ketaqwaan individu akan menjadi pencegah untuk melakukan tindakan korupsi. 

Kedua, kontrol masyarakat, kelompok, partai politik dan organisasi massa. Masyarakat tidak boleh abai terhadap berbagai penyimpangan, kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan haram yang tengah merebak. Karena mendiamkan berarti membolehkan, hal ini akan semakin membuat perbuatan korupsi dan kemaksiatan lainnya menjadi budaya. Budaya buruk yang terus dipelihara, sehingga menjadi sesuatu yang lumrah. Pelaku penyimpangan akan merasa aman karena tidak ada yang mengingatkan dan tidak ada sanksi sosial. Oleh karena itu, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar harus senantiasa dilakukan di tengah-tengah masyarakat. 

Ketiga, penegakan hukum oleh negara. Negara menjadi alat yang paling ampuh untuk membuat efek jera bagi pelaku korupsi. Dalam Islam, korupsi tidak termasuk mencuri dalam pengertian syariah, maka kejahatan ini tidak termasuk dalam ketegori hudud. Tetapi, masuk dalam wilayah ta'zir, yaitu kejahatan yang sanksinya diserahkan kepada ijtihad hakim. Sanksinya bisa berbentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Wallahu’alam.