-->

Benarkah Corona Minggat karena PPKM Darurat?

Oleh : Sri Azzah Labibah SPd 
(Pengasuh Majelis Taklim Remaja Paciran) 

Badai Covid-19 di Indonesia sampai saat ini  belum menunjukkan tanda tanda akan segera berakhir, bahkan saat ini Indonesia tengah di hadapkan pada gelombang tsunami hadirnya mutasi virus yang kabarnya penularannya jauh lebih cepat dari varian sebelumnya. Kasus konfirmasi fositif tak tanggung tanggung dalam sepekan di awal bulan Juli 2021 ini mengalami kenaikan setiap harinya. Pada tanggal 7 Juli 2021 tercatat 34.379 angka kasus konfirmasi positif dan 1.040 angka kematian, ini menjadi angka konfirmasi positif dan angka kematian tertinggi sejak Maret 2020 awal Covid-19 di temukan di Indonesia, pun telah diprediksi angka kasus masih akan terus meningkat hingga akhir Juli mendatang.

Lebih dari 1000 orang tenaga kesehatan telah gugur, tak pandang bulu, entah dokter, perawat bahkan guru besar yang menjadi garda terdepan telah berpulang. Tak hanya itu, 584 ulama pun turut menjadi korban ganasnya Covid-19 (news.detik.com, 5/7/2021).

Hal ini sangat membuat masyarakat resah dan panik karena jika para tenaga kesehatan terus berguguran maka fasilitas kesehatan terancam kolaps. Jika hal ini terus terjadi, maka akan semakin banyak makam yang terpenuhi jasad covid-19 

Sudah beberapa cara yang dilakukan untuk menanggulangi pandemi namun belum membuahkan hasil, bahkan terkesan tarik-ulur, maju-mundur, gas-rem sehingga membingungkan rakyat dan semakin memperparah pandemi. Terbukti, sejak virus asal Wuhan itu masuk Indonesia, kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat pun mulai di terapkan.

Ketika covid-19 melonjak, terapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), kasus nampak melandai, PSBB transisi ganti PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) skala mikro, kasus meledak kembali, ganti lagi PPKM darurat. Bahkan Herd Immunity dengan prokes yang sebelumnya di gaungkan belum mampu menangkal Covid-19.

Ada seruan untuk lockdown atau karantina wilayah, namun pemerintah tetap tak memilih opsi itu meski Covid-19 semakin tak terkendali. Sebab, jika opsi lockdown atau karantina wilayah yang dipilih, negara harus menanggung resiko untuk menghidupi rakyat selama masa karantina tersebut, sebagaimana yang tercantum dalam UU Karantina Wilayah.

Anggota DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, menilai perlu ada definisi jelas dari kebijakan PPKM Darurat. Sebab jika implementasinya sama seperti PPKM mikro, maka hasil di lapangan tak ada perubahan signifikan (merdeka.com, 1/7/2021).

Ahmad Yohan Anggota Komisi XI DPR Fraksi PAN turut berkomentar “Jika merujuk pada regulasi pembatasan mobilitas yang beredar terkait PPKM darurat, maka PPKM Darurat hanya berlaku secara domestik di wilayah Jawa dan Bali saja. Artinya, mobilitas warga asing ke Indonesia masih dibuka/diberikan kelonggaran.” (viva.co.id, 4/7/2021)

Solusi yang telah dilakukan oleh negara dengan berganti ganti istilah terbukti tidak membawa perubahan yang signifikan karena dilakukan dengan tidak sungguh sungguh dan terkesan masih melihat keuntungan.

Terbukti ketika PPKM di berlakukan, pemerintah justru membuka keran masuknya TKA (Tenaga Kerja Asing) ke Indonesia. Sejauh ini, total tercatat 46 TKA asal Cina telah memasuki Sulawesi Utara, termasuk 20 orang yang datang pada Sabtu (3/7) tersebut, sembilan orang pada 29 Juni, dan 17 orang pada 1 Juli. (detik.com, 5/7/2021)

Saat rakyat di negri di batasi mobilitasnya, namun mobilitas laut, udara, dan darat dari luar di buka selebar-lebarnya. Alih-alih minggat, Covid-19 semakin meningkat. Inilah yang kemudian membuat respon penguasa dalam mengatasi pandemi ini menjadi sangat rancu, antara penyelamatan nyawa dan ekonomi. Masuknya TKA Cina ketika PPKM menjadi bukti bahwa penguasa tak adil dan telah dzalim, kerjasama dua negara dengan alasan ekonomi sangat penting meski pengetatan mobilisasi rakyat tengah dilakukan.

Inilah bukti bahwa sistem kapitalis tidak akan peduli pada nasib rakyat karena asas dari sistem ini adalah materialisme yaitu keuntungan, karena semakin banyaknya korban, pemerintah seolah tak memiliki nurani, tak berempati. Sistem kesehatan yang nyaris kolaps, bahkan ribuan nyawa yang melayang karena pandemi tak jua di perhitungkan. Ketika pembatasan kegiatan masyarakat tak ampuh untuk meredam Covid-19, pemerintah tetap teguh tak mau melakukan trobosan lain seperti saran dari berbagai kalangan. Pemerintah lebih mengutamakan pemulihan ekonomi. Penyelamatan ekonomi di atas penyelamatan nyawa.

Dalam sistem Islam, nyawa manusia jauh lebih penting dari sekedar hitungan angka ekonomi. Penguasa seharusnya segera menerapkan lockdown seperti saran para ahli, yang hal ini pun sejalan dalam islam bahwa Nabi Muhammad SAW memberikan konsep karantina untuk menyelamatkan nyawa manusia dari ancaman kematian akibat wabah penyakit menular. Seperti sabda Rasulullah saw., “Jika kalian mendengar tentang wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu,” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidakkah mereka ketahui bahwa setiap kebijakan yang mereka ambil akan di pertanggungjawabkan kelak? Semoga mereka para penguasa segera mendapatkan hidayah agar menjadi penguasa yang adil, amanah dan menerapkan syari’at Islam secara kaffah.

Wallahua’lam bishawab.