-->

Terkikisnya Hukum Keluarga Islam dengan Istilah Marital Rape


Oleh: Ummu Aisyah (Intelektual dan Praktisi Peduli Umat)

Saat ini muncul sebuah istilah yang aneh dalam kehidupan rumah tangga. Istilah tersebut disebut dengan marital rape yang diartikan sebagai pemerkosaan suami terhadap isteri. Marital rape muncul karena ada banyak isteri yang merasa dipaksa oleh suami untuk melakukan hubungan seksual. Berdasarkan faktanya, merital rape juga berarti kekerasan seksual dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami kepada isteri.

Pada tahun 2020, terdapat 100 kasus yang dilaporkan sebagai kasus pemerkosaan terhadap isteri. Pada tahun 2019 jumlah lebih banyak yaitu 192 kasus (detiknews, 15 Juni 2021). 

Meskipun Komnas Perempuan belum bisa memberikan komentar terkait RUU KUHP terkait marital rape tersebut dan menyatakan masih perlu ada pengkajian mendalam terkait masalah tersebut, sebenarnya hal itu sudah dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) pasal 479. 

Menurut Guru Besar hukum pidana UGM, Prof Marcus Priyo Gunarto, UU tersebut sudah konsisten dengan pasal 53 tentang PKDRT yaitu tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan. 

Dalam catatan detikcom (16 Juni 2021) sedikitnya sudah ada 2 kasus yang dikenakan pasal tersebut. Kasus pertama terjadi di Denpasar pada 2015 dan kasus kedua terjadi di Pasuruan, Jawa Timur, pada tahun 2011. Hari Ade Purwanto memaksa isterinya berhubungan badan di sebuah hutan di Pasuruan dengan alasan sudah kewajiban isteri melayani suami sesuai dengan agama yang ia yakini. Pembelaan diri Hari ditolak dan akhirnya dihukum 16 bulan penjara. 

Berdasarkan RUU KUHP tentang marital rape pasal 479 ayat 2 poin a, pelaku pemerkosaan dalam rumah tangga dapat dihukum pidana penjara paling lama 12 tahun (CNN Indonesia, 18/06/2021).

Menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin berpendapat dalam kehidupan rumah tangga pada faktanya ada marital rape. Kultur dan hukum perkawinan di Indonesia mempengaruhi ketidakpahaman masyarakat tentang konsep marital rape. 

Sehingga selama ini pemerkosaan dalam rumah tangga masih dianggap antara ada dan tidak ada dimana banyak masyarakat yang tidak menganggap marital rape sebagai perkara yang serius bahkan ada yang menganggapnya tidak ada. 

Oleh karena itu, menurutnya, UU  Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) harus segera disahkan sebab pemulihan korban kekerasan adalah hal yang sangat sulit di kepolisian. 

Marital Rape adalah istilah yang sering digunakan oleh kalangan sekularis dan gender untuk menyerang hukum-hukum Islam tentang hak dan kewajiban suami isteri dan melemahkan lembaga perkawinan Islam.

Pemerkosaan adalah istilah yang tidak bisa diterapkan dalam kasus kekerasan yang mungkin terjadi dalam RT karena fakta dan solusi hukumnya berbeda.

Menurut KKBI, pemerkosaan berarti pelanggaran dengan kekerasan. Jadi, pemerkosaan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum yang memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual dengan menggunakan kekerasan fisik. 

Pemerkosaan dalam pandangan Islam disebut dengan zina yaitu melakukan hubungan seksual di luar nikah atau sudah menikah tetapi hubungan seksual tersebut dilakukan dengan orang yang bukan isteri/suami yang sah. 

Zina lebih luas maknanya daripada pemerkosaan karena zina adalah hubungan seksual di luar nikah yang baik dilakukan dengan kekerasan maupun dengan suka sama suka. Sedangkan pemerkosaan mengandung unsur paksaan. Zina dan pemerkosaan memiliki kesamaan yaitu hubungan seksual dengan seseorang di luar nikah atau bukan pasangan suami/isteri yang sah.    

Jadi menurut Islam, tidak ada istilah pemerkosaan dalam rumah tangga karena dilakukan oleh pasangan suami/isteri yang sah. Jika ada unsur paksaan dalam hubungan seksual dalam rumah tangga, hal ini masuk kategori kekerasan rumah tangga saja bukan disebut pemerkosaan. 

Oleh karena itu, pelaku dikenai hukuman karena melakukan kekerasan bukan karena melakukan hubungan seksual sebab isteri wajib melayani kebutuhan seksual suami kecuali jika ia haid atau sakit. 

Untuk para isteri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Apabila seorang laki-laki mengajak istrinya ke ranjangnya, lalu istri tidak mendatanginya, hingga dia (suaminya) bermalam dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi tiba.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalil tersebut menyatakan betapa pentingnya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan biologis suami.

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ ، وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ

“Jika seorang laki-laki mengajak istrinya untuk menyalurkan hajatnya (kebutuhan biologisnya), maka hendaklah ia mendatangi suaminya, meskipun dia sedang berada di tungku perapian.” (HR. Ibnu Syaibah, at-Tirmidzi, ath-Thabarani dan berkata at-Tirmidzi Hadits Hasan Gharib, dan dishahihkan Ibnu Hibban no 4165)

Sedangakan untuk para suami, dalam hadits disebutkan,

مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-

“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Al Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359) menyebutkan bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar.”

Kekerasan dalam RT justru niscaya terjadi ketika landasan RT dan negara tidak berdasarkan Islam, sehingga solusinya bukan dengan menghapus hukum-hukum Islam, akan tetapi justru dengan menjadikan Islam sebagai landasan berkeluarga dan bernegara. 

Jika Islam dijadikan sebagai landasan berkeluarga, maka suami akan melaksanakan kewajibannya sebagai suami yang merupakan hak isterinya. Begitu pula sebaliknya, isteri melaksanakan kewajibannya sebagai isteri yang merupakan hak suaminya. Dalam Islam, suami berkewajiban mencari nafkah untuk keluarga sedangkan isteri berkewajiban mengurus suami dan anak-anaknya. 

Adapun tugas negara adalah mendorong para suami untuk mencari nafkah yang halal untuk keluarganya. Disamping itu, negara juga berkewajiban menyiapkan lapangan pekerjaan bagi para suami. 

Dengan demikian suami bisa terbebas dari beban pemikiran yang bisa membuatnya merasa tidak mampu menafkahi isterinya dan anak-anaknya. Suami juga bisa bebas dari stres yang membuatnya mudah marah saat pulang ke rumah yang bisa berdampak pada melakukan kekerasan fisik pada isteri.  

Jika suami melaksanakan kewajibannya dengan baik, tentu isteri juga akan terdorong untuk melayani suami dengan baik termasuk hubungan seksual. Sehingga tercapailah rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahma.   

Sayangnya rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahma dapat dengan mudah dicapai jika seluruh hukum-hukum Islam dditerapkan dalam seluruh aspek kehidupan mulai dari individu, keluarga, masyarakat, maupun negara yaitu dalam naungan Khilafah. 

Nah, tunggu apa lagi, mari kita sambut penerapan Islam secara kaffah dengan belajar Islam dan dakwah bersama kelompok dakwah Islam idiologis.