-->

Tak Jelasnya Kebijakan, Hilangkan Kepercayaan Rakyat


Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I., (Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok)

Pemerintah membuat kebijakan agar masyarakat menghindari kerumunan dan tetap berada di dalam rumah bila tidak ada alasan penting untuk keluar rumah. Ini salah satu upaya pemerintah untuk menekan perkembangan virus yang telah membuat negara ini bangkrut dalam hal pelayanan kesehatan kepada masyarakatnya. 

Namun sangat disayangkan, antara kebijakan yang satu dengan yang lainnya tidak sinkron. kebijakan Menteri Kesehatan yang melarang mudik karena adanya kerumunan agar tidak adanya cluster baru bertolak belakang dengan kebijakan Menteri Pariwisata yang masih berharap ada dana masuk dari masyarakat dengan tetap membuka lokasi wisata. Dan juga kebijakan Menteri Keuangan yang ingin mendongkrak laju perekonomian berharap masyarakat tetap berbelanja agar perputaran ekonomi tetap berjalan, walaupun dengan tersendat dan terseok-seok. 

Begitu juga dengan kebijakan Menteri Perhubungan yang berharap armada mudik tetap berjalan karena sudah banyak perusahaan transportasi gulung tikar. Astagfirullah.... Kebijakan yang manakah yang harus diikuti rakyat? 

Sebagai pemimpin dan pengayom masyarakat tidak bisa memiliki satu suara dalam membuat kebijakan untuk mengatur rakyatnya.  Bagaimana mungkin asas  persatuan Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang digaungkan bisa terlaksana? Yang ada rakyat terkesan sudah tidak mau mendengar lagi dan mengikuti kebijakan yang dibuat pemerintah karena rakyat bingung dan tidak mengerti kebijakan mana yang harus diikuti dan dipatuhi. Masih adakah power kepemimpinan bagi pemerintah bila rakyatnya tidak mematuhi kebijakan yang dibuat? Sungguh menyedihkan.

Ketidaksinkronan inilah menyebabkan kejadian di Karawang terjadi. Kita bisa lihat dalam Sebuah video menunjukkan sejumlah pemotor di Jalan Lingkar Tanjungpura, Karawang, Jawa Barat, diduga lolos dari pos penyekatan mudik viral di medsos. Pihak kepolisian tampak berupaya menghalau pemotor tersebut namun tidak berhasil. Pihak kepolisian tengah mendalami kasus tersebut.

Setelah kejadian tersebut, pihak polisi akan menambah pasokan anggota untuk mengantisipasi lolosnya para pemudik, karena jumlah polisi kalah banyak dengan jumlah ratusan pemudik bermotor sehingga mampu terobos penyekatan. Namun, penambahan personil polisi bukan solusi yang jitu karena yang menjadi pertanyaan mengapa rakyat tidak patuhi kebijakan yang dibuat aparatur? Bukankah ketaatan masyarakat untuk mematuhi kebijakan yang dibuat pemerintah menandakan kebijakan itu dapat dirasakan keadilan bagi rakyatnya? Menuntut ilmu di sekolah ditutup, beribadah di masjid ditutup, silaturahmi bertemu sanak-saudara dan famili ditutup sementara wisata dan tempat hiburan dibuka apakah ini yang namanya keadilan? 

Apakah dengan dilarangannya warga mudik dapat menekan cluster baru Covid-19, sementara aktivitas lainnya tetap dibuka? Sudah sewajarnya kita mempertanyakan maslahat larangan mudik dan ketidakjelasan basis pembuatan kebijakan karena bisa menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan aturannya. Sudah pasti kebijakan ini nyata-nyata menghilangkan kepercayaan dan menyakiti perasaan rakyat. Jika ingin rakyat percaya, harusnya semua aktivitas yang berpotensi menyebabkan kerumunan harus dihindari agar tidak terjadi lonjakan yang signifikan.

Inilah bukti kegagalan sistem sekuler membuat kebijakan yang semestinya memberi maslahat bagi semua rakyatnya tetapi malah mendatangkan mudharat yang lebih besar. Berpikirlah seribu kali untuk mempertahankan hukum yang dibuat manusia karena tidak akan pernah mendatangkan kemashlahatan bagi seluruh manusia, kepentingan pribadi atau golongan pasti akan lebih diutamakan. Berbeda dengan hukum Allah SWT yang sudah pasti mendatangkan kemaslahatan yang berlipat ganda karena rahmatan lil alamin. Bismillah berjuang terus menegakkan hokum-Nya demi kemashlahatan semua penduduk bumi. Aamiin.[]