-->

Larangan Mudik Semakin Menggelitik

Oleh : Dahlia NF

Tahun ini adalah tahun kedua masyarakat Indoneia (khususnya) menjalankan ibadah puasa Ramadhan dalam masa pandemi covid-19. Sebagaimana halnya di tahun sebelumnya maka umat Muslim akan dihadapkan pada kenyaaan bahwa mereka akan menjalankan puasa sekaligus hari raya Idul Fitri hanya di rumah saja tanpa ada tradisi mudik atau pulang kampug seperti tahun-tahun sebelumnya. Bukan karena mereka tak mau, akan tetapi peraturan pemerintah melarang mudik dengan alasan pandemi. 

Alih-alih menjadi solusi justru kebijakan penguasa ini malah menimbulkan keresahan dan kebingungan di tengah masyarakat. Bila larangan mudik dikatakan tujuannya untuk menghambat laju penularan Covid-19, faktanya pariwisata justru dibuka dengan alasan untuk memperlancar pertumbuhan ekonomi negeri. Dua kebijakan yang berbanding terbalik 180°. Selain itu kejanggalan juga terjadi dari pernyataan juru bicara Wakil Presiden Masduki Baidlowi. Dia sebagai kepanjangan tangan wapres mengatakan bahwa, "Wakil Presiden meminta agar ada dispensasi untuk santri bisa pulang ke rumah masing-masing tidak dikenai aturan-aturan ketat terkait larangan mudik yang berhubungan dengan konteks pandemi saat ini," ujarnya (https://www.cnbcindonesia.com/news/20210425195838-4-240690/santri-mau-diberi-dispensasi-apa-gunanya-larangan-mudik). Sungguh permintaan yang meggelitik di tengah-tengah keresahan masyarakat.

Lain halnya dengan Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI), Kurnia Lesani meminta pemerintah untuk tidak tebang pilih dalam melaksanakan kebijakan aturan mudik yang mulai berlaku tanggal 22 April kemarin. Kurnia meminta angkutan pribadi juga harus diperketat pengendaliannya. (CNBC Indonesia TV, CNBC Indonesia 25 April 2021)

Pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, memberikan kritikan atas kebijakan ini. Menurutnya, dua kebijakan yang saling berlawanan ini justru akan meningkatkan penularan Covid-19. Seharusnya, ada upaya tegas 100 persen menanggulangi Covid-19. Akan menjadi percuma bila kebijakan tidak merata dan akan menimbulkan kecemburuan sosial dan ada celah untuk melanggar ketetapan yang sudah dibuat. (gelora.co, 27/3/21).

Keputusan dalam Keputusasaan
Awalnya masyarakat khususnya bagi mereka yang bekerja dalam bidang transportasi sudah mulai mendapatkan angin segar dengan adanya kabar bahwa di hari raya Idul Fitri tahun 2021 ini ada kebolehan untuk kembali beroperasi setelah kurang lebih satu satu setengah tahun mengalami goncangan ekonomi akibat pandemi covid-19. Namun tidak lama berselang keputusan terus berulang dan berbeda dari hari ke hari. Sampai pada akhirnya Kementerian Perhubungan telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idulfitri 1442 H/Tahun 2021 dalam rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Permenhub ini diterbitkan untuk menindaklanjuti terbitnya Surat Edaran Satgas Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Idulfitri dan Upaya Pengendalian Covid-19 selama bulan Ramadhan. Dikutip dari laman Setkab, pengendalian transportasi dilakukan melalui larangan penggunaan atau pengoperasian sarana transportasi penumpang untuk semua moda transportasi yaitu moda darat, laut, udara dan perkeretaapian. (KONTAN.CO.ID, 9 April 2021)

Tidak aneh jika masalah pandemi ini susah diatasi. Standar pengambilan keputusan antara satu dengan yang lain berbeda. Inilah yang mengakibatkan pengambilan keputusan yang berlawanan pula. Dalam bidang kesehatan, alasan kesehatan masyarakat menjadi prioritas utama. Berbagai kebijakan menangani pandemi pun telah dilakukan. Namun, kebijakan ini tidak seirama dengan kebijakan bidang ekonomi. Adanya target pertumbuhan ekonomi yang dipaksakan harus naik membuat pemerintah mengambil kebijakan membuka pariwisata.

Sebagaimana diketahui Indonesia adalah satu diantara negara yang dihantam keterpurukan ekonomi akibat covid-19 sehingga pemerintah tergagap mencari alternatif dalam menaikkan pertumbuhan ekonomi. Walhasil pariwisata menjadi salah satu alternatif penolong dalam menggenjot laju perekonomian negeri ini. Hal ini dilakukan tak ayal karena negeri ini masih memegang erat sistem ekonomi kapitalis yang segala sesuatunya didasarkan pada untung dan rugi. Jika kebijakan itu menguntungkan akan diambil, jika sekiranya merugikan akan ditinggalkan. Sebab itu membuka pariwisata akan dilakukan karena dinilai menguntungkan dari sisi menambah pertumbuhan ekonomi. Dalam situasi seperti ini rakyat seakan dijadikan sebagai pemanis dari setiap kebijakan. Beberapa kebijakan dibuat seperti memihak rakyat, tetapi sejatinya mereka dijadikan tumbal dari kebijakan yang dibuat. 

Solusi Solutif

Saat ini rakyat membutuhkan solusi yang solutif untuk keluar dari berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Harapan satu-satunya hanya ada pada Islam. Yang tidak hanya memberikan janji namun memberikan bukti nyata yang tak terelakkan. Selama 13 abad Islam memimpin dunia di bawah naungan Khilafah tak pernah didapati suatu negeri menderita dibuatnya. Sebaliknya negeri tersebut menjadi negeri yang makmur, adil, dan sejahtera tanpa memandang dia Muslim atau bukan. 

Seperti yang dilakukan Umar bin Khaththab ra. ketika terjadi wabah. Beliau dengan cekatan mengambil kebijakan, seperti karantina total wilayah wabah, pemberian bantuan pangan dan obat-obatan, hingga kebijakan ekonomi di wilayah lain yang tak terdampak. Semua itu dilakukan karena beliau sadar betul bahwa tugas pemimpin adalah mengurusi urusan rakyat.
Rasulullah saw. Bersabda yang artinya,
“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Sebagaimana Khalifah Umar, seharusnya pemimpin yang baik itu memperhatikan rakyat, sehingga kebijakan yang diambil adalah untuk menyejahterakan mereka. Bukan untuk bukan menyusahkan rakyat, apalagi membuka pariwisata dengan dalih untuk menaikkan ekonomi tetapi mengabaikan keselamatan rakyatnya sendiri.

Oleh karena itu, saat ini yang dibutuhkan adalah pemimpin yang memiliki iman dan taat syariat. Dengan keimanannya dia hanya akan takut kepada Allah SWT. sehingga kebijakan yang diambil tidak akan menyengsarakan rakyatnya. Sebab, pemimpin yang taat akan menyadari bahwa segala kebijakan yang diambil akan dimintai pertanggungjawaban di hari pembalasan kelak.