-->

Islam Menutup Celah Perzinaan

Oleh : Ummu Zaid (Pembina Sahabat Hijrah Miftahul Jannah, Sydney)

Ketika manusia hidup tanpa patuh pada aturan Sang Pencipta, maka dengan mudah akan terperosok pada jurang kemaksiatan. Bahkan tak jarang berperilaku melampaui batas nilai kemanusiaan. 

Seorang ayah yang berinisial W (49) tega memperkosa anak kandungnya sendiri A (16) di daerah Cisauk, Tangerang. Terbongkarnya kasus tersebut setelah ibu dari A melaporkan ke polisi setelah anaknya beberapa hari tidak pulang ke rumah. 

Korban meninggalkan rumah sejak 15 April dan baru ditemukann pada 28 April di Bekasi. Korban mengaku kabur dari rumah karena sudah beberapa kali disetubuhi ayahnya dan takut peristiwa itu terulang lagi. 
Berita tersebut dikutip dari Kompas.com.(30 April 2021)

Siapa yang tidak merasa miris dan prihatin membaca berita tersebut. Kejadian ini bukan yang pertama kalinya, banyak kasus serupa lainnya. Ayah yang seharusnya menjadi pelindung bagi puterinya malah menjadi penghancur masa depannya. 

Maraknya kasus perzinaan saat ini termasuk diantaranya ayah yang menzinai puterinya merupakan fenomena yang menghiasi panggung kehidupan manusia yang semakin rusak. Banyak orang yang mengumbar syahwatnya tanpa aturan. Tanpa melihat lagi dengan siapa dia melakukannya. Ada paman yang menzinai keponakannya, anak menzinai ibunya, kakek menzinai cucunya, laki-laki menzinai anak dibawah umur dan banyak kasus lainnya yang membuat kita khawatir ketika melepas anak perempuan kita di luar sana atau pun ketika sendirian di rumah. 

Mengapa perzinaan merajalela?

Absennya Islam dalam kancah kehidupan saat ini dan diterapkannya sistem kapitalis sekuler di tengah-tengah kaum muslimin menjadikan masalah perzinaan dengan banyak kasusnya terus menerus terjadi. 
Pergaulan antara laki-laki dan perempuan terjalin secara bebas, jauh dari batasan yang ditetapkan Islam. Membuka aurat di hadapan mahrom maupun non mahrom dengan berpakaian ala kadarnya merupakan hal biasa. Perempuan hamil di luar nikah dianggap hal wajar dan lumrah. Perselingkuhan suami/ istri merupakan hal yang sering ditemui dan menjadi berita yang sering menghiasi media massa. 

Demikian pula dengan tayangan-tayangan porno yang bisa diakses semua kalangan. Anak-anak di bawah umur pun sudah disuguhi dengan acara yang kontennya untuk orang dewasa. 

Dampak diabaikannya aturan Islam, maka banyak kaum muslimin yang tidak memahami aturan agamanya sendiri. Mereka bahkan tidak merasa bersalah dan melakukan dosa besar atas kemaksiatan yang dilakukannya. 

Jika kita cermati beberapa hal berikut merupakan pemicu maraknya kasus perzinaan, diantaranya: 

1. Bebasnya pergaulan laki-laki dan perempuan. Kehidupan yang bercampur baur tanpa batasan dianggap hal biasa, sementara aturan Islam dianggap kuno dan mengekang. 
2. Tidak memahami mana mahram dan non mahram dengan segenap aturan-aturannya.
3. Tayangan pornografi dengan mudah bisa diakses semua kalangan.  Tidak ada filter yang dilakukan negara terhadap tersebarnya tayangan tersebut.
4. Tidak ada hukum yang tegas bagi pelaku zina, apalagi bila dilakukan suka sama suka. Hukum yg ada hanya pada kasus perkosaan dengan hukuman yang  tidak membuat pelakunya jera, juga tidak membuat orang lain takut melakukan hal serupa. 

Solusi Islam

Islam dengan segenap peraturannya sangat menjaga agar kasus perzinaan ini tidak merebak di tengah masyarakat. Hanya sedikit kasus perzinaan yang terjadi di masa Rasulullah saw dan  para khalifah sesudahnya. Semua karena saat itu syariah islam diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk hukum bagi pezina. Islam sangat tegas menerapkan hukum bagi para pezina. 
Allah swt berfirman: 

‎الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali deraan, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (TQS. An-Nur (24): 2)

Ayat tersebut menetapkan 100 X jilid bagi pezina yang belum menikah. Sedangkan bagi yang sudah menikah (pezina muhshon) diberlakukan atasnya hukum rajam. Pelaksanaan hukumannya disaksikan oleh sekumpulan masyarakat. Dengan diperlakukan hukum yang tegas, maka orang berpikir ribuan kali sebelum melakukannya dan sehingga hukum Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus) sanksi akhirat. 

Islam agama yang sempurna dan paripurna. Mengajarkan segala hal, ternasuk aturan memisahkan tempat tidur. 
Rasulullah SAW dalam sebuah hadits bersabda: 
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak melaksanakan shalat) ketika mereka telah berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur di antara mereka,” (HR Abu Daud).

Hadits ini menjelaskan kewajiban untuk memisahkan tempat tidur anak dengan orang tuanya dan dengan saudaranya baik laki-laki maupun perempuan ketika usia anak sudah sepuluh tahun. Masing-masing harus tidur di tempat tidur yang berbeda dengan orang tuanya maupun saudara laki-laki ataupun saudara perempuannya. Pemisahan ini dilakukan agar tidak terjadi hal yang buruk karena saat anak memasuki sepuluh tahun merupakan usia mulai munculnya syahwat. 

Hadits lain malah menyebutkan  untuk memisahkan tempat tidur saat anak berusia tujuh tahun. Salah satu pengusungnya adalah Imam Az-Zarkasyi yang berpegang pada dalil, 

“Jika anak kalian telah berumur tujuh tahun, maka pisahkanlah tempat tidur mereka,” (Hadits riwayat Imam Daruquthni dan Imam Hakim).

Menurut Imam Ibnu Rusyd dalam al-Muqadimat menjelaskan usia tujuh tahun  merupakan usia berakhirnya masa kanak-kanak yang ditandai dengan tanggalnya gigi susu.  

Jadi pendapat yang rajih adalah mulai memisahkan tempat tidur itu saat anak berusia tujuh tahun. 

Islam juga mengatur masalah aurat perempuan dihadapan mahram, seperti dihadapan bapak atau saudara laki-lakinya sebagaimana aurat terhadap sesama perempuan yaitu mengenakan pakaian di bawah lutut dan berlengan. Sementara sepupu, ipar, paman yang bukan kakak/adik kandung dari bapak/ibu bukanlah mahram. Di hadapan mereka yang boleh nampak hanyalah muka dan telapak tangan saja sama seperti laki-laki non mahrom lainnya. 

Apabila masalah ini diperhatikan, maka dapat menutup kemungkinan celah terjadinya perzinaan dalam keluarga sebagaimana kasus ayah menzinai anaknya pada kasus di atas. 

Wallahu’alam