-->

Dilema Memilih Kompor di Negeri Kaya Energi

Oleh : Dwi Nesa Maulani (Komunitas Pena Cendikia)

Pemerintah berencana akan mengkonversi penggunaan kompor gas ke kompor listrik/induksi. Tahun ini targetnya mencapai 1 juta unit kompor listrik bisa terpasang. Alasan konversi adalah untuk menekan impor LPG. Selain itu, hal ini juga merupakan bagian dari upaya mencapai ketahanan energi nasional dan dilakukan dengan dukungan masyarakat.

Sekilas kebijakan ini nampak bagus. Tapi sebagai masyarakat khususnya ibu-ibu yang sehari-hari 'bersenjata' kompor tentu perlu berpikir cermat untuk memilih apakah lebih baik menggunakan kompor gas atau kompor listrik. Ini merupakan dilema tersendiri bagi ibu-ibu.

Kompor gas memiliki keunggulan mudah sekali dioperasikan dan tidak memerlukan banyak biaya. Masakan lebih cepat matang karena menggunakan api langsung. Kelemahannya adalah resiko meledak jika pemasangan gasnya kurang pas.

Sedangkan kompor listrik juga memiliki beberapa keunggulan. Sekali melirik kompor listrik emak-emak pasti kepincut karena tampilannya yang modern dan simple. Kompor listrik punya fitur untuk mendeteksi ukuran panci. Selesai masak, kompor bisa mati otomatis. Membersihkan kompor ini juga sangat mudah. Hanya saja kompor listrik butuh waktu lama untuk memasak. Tidak semua jenis wajan atau panci bisa diletakkan di atas kompor listrik. Selain itu biaya operasional kompor listrik lebih besar 10-30 persen dibandingkan kompor gas.(berkeluarga.id, 17/2/2020)

Selain pertimbangan tersebut, masyarakat negeri ini yang banyak dari golongan ekonomi menengah ke bawah, pasti mempertimbangkan biaya pengeluaran. Jika program tersebut dijalankan otomatis rakyat akan terbebani untuk membeli kompor listrik baru. Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN, Bob Saril menyatakan bahwa biaya pengadaan kompor masih dibebankan kepada masing-masing konsumen. Harga per unit di atas Rp 100 ribu, hingga yang canggih sampai puluhan juta rupiah. Belum lagi biaya listrik per bulan pasti akan naik. Peralatan masak juga perlu 'diupgrade' menyesuaikan dengan permukaan kompor yang datar.

Dengan berbagai pertimbangan seperti tersebut di atas dan berbagai macam alasan, banyak netizen yang kurang sepakat dengan kebijakan ini. Karena dirasa kebijakan ini akan menjadikan keuangan mereka semakin 'babak belur' terlebih saat pandemi.

Muncul juga kekhawatiran akan terjadi 'byar-pet' listrik PLN. Selama ini hal itu memang kerap terjadi. Selain itu, kekhawatiran juga ada pada TDL yang bisa naik kapan saja, terlebih jika laporan keuangan PLN terpantau merugi. Ada lagi, kebijakan PLN terkait perubahan skema tarif listrik yang akan diberlakukan tahun 2022. Siap-siap rakyat akan mengalami kenaikan listrik kisaran Rp 18 ribu sampai Rp 101 ribu tergantung golongan.(cnbcindonesia.com, 7/4/2021). Kalau begini wajar banyak masyarakat yang tidak sepakat bukan?

Sebenarnya masyarakat kita disodori kebijakan apapun asalkan tidak membebani, mereka pasti nurut. Melihat berbagai kelebihan kompor listrik, emak mana yang tidak mau? Namun sayangnya kebijakan ini tetap jalan terus meskipun masyarakat belum siap. Rakyat hanya ingin biaya masak tidak membengkak. Mau diubah kompor listrik tidak masalah asalkan kompornya gratis, biaya listrik murah bahkan gratis. Hanya itu. Apakah keinginan itu hanya mimpi rakyat di negeri kaya energi?

Sudah jamak diketahui bahwa Indonesia kaya energi. Bahan baku listrik PLN yaitu 60 persen dari batubara dan selebihnya gas, juga dipunyai negeri ini. Indonesia tercatat sebagai negara terbesar keempat di dunia penghasil batubara. Indonesia juga termasuk negara terbesar penghasil gas alam. 

Namun sayang, akibat mengidap kapitalisme neoliberal harga kedua energi tersebut menjadi mahal. Kapitalisme neoliberal menjadikan kekayaan negeri ini dikuasai swasta. Sebut saja  PT Adaro Energy Tbk, PT Arutmin Indonesia, PT Bumi Resources Tbk, PT Berau Coal, Kideco Jaya Agung, PT Indo Tambangraya Megah Tbk, dan sebagainya. Mereka adalah korporasi swasta yang menguasai tambang batubara di Indonesia. Meskipun punya banyak sumber batubara dan gas namun tidak menjadikan rakyat ini bisa menikmati energi dengan murah atau gratis.

PLN sendiri sebagai perusahaan plat merah tidak luput dari bidikan kapitalisme neoliberal ini. Sejak adanya liberalisasi kelistrikan menjadikan swasta boleh ikut andil dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Sedangkan PLN hanya sebagai regulator saja.

Dari sumbernya sampai perusahaan penghasil listrik kita sudah terjamah oleh swasta. Maka tak heran rakyat kecil semakin melarat akibat energi mahal. Seharusnya kapitalisme neoliberalisme inilah yang perlu dicabut dari negeri ini. Allah SWT Sang Pencipta energi memberikan energi ini untuk seluruh umat manusia. Allah SWT melarang dikuasai segelintir orang berduit. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu padang rumput, air, dan api". (HR Abu Dawud dan Ahmad). Selayaknya negara ini mengindahkan aturan Allah SWT tersebut. Mengganti sistem kapitalisme neoliberalisme dengan Islam saja. 

Dan juga pemimpin menurut Islam adalah pelayan umat. Sabda Nabi SAW, “Barangsiapa diserahi urusan manusia lalu menghindar melayani kamu yang lemah dan mereka yang memerlukan bantuan, maka kelak di hari kiamat, Allah tidak akan mengindahkannya.” (HR. Imam Ahmad).

Dalam Islam sudah menjadi kewajiban bagi siapa saja yang mendapat amanah kepemimpinan, menjadikan urusan umat ini diutamakan. Menyediakan energi sesuai dengan pengaturan Islam termasuk dalam melayani urusan umat. Negara juga wajib menyediakan perangkat baru. Maka umat akan dengan senang hati pindah dari kompor gas ke kompor listrik. Tak ada dilema-dilema lagi di negeri yang kaya energi ini.