-->

Wajibnya Aktifitas Perubahan Untuk Khilafah

Oleh: Ummu Tsabit

Bulan rajab termasuk bulan haram dan dimuliakan dalam agama Islam, banyak peristiwa penting terjadi di bulan ini. Diantaranya Isra Mi’raj, perpindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis (Masjid al-Aqsha) ke Ka’bah di Makkah. Peristiwa lain yaitu Perang Yarmuk di bawah komando Khalid bin al-Walid yang terjadi pada hari senin di bulan Rajab tahun 15 H/636 M, juga pembebasan Baitul Maqdis dari cengkeraman tentara Salib pada 27 Rajab 538 H/2 Oktober 1187 M dengan panglima perang Islam saat itu Shalahuddin al-Ayyubi setelah 88 tahun dikuasai tentara salib. Dan peristiwa sangat bersejarah yang terjadi tepat 100 tahun yang lalu berupa runtuhnya Khilafah Turki Utsmani yang terjadi pada 28 Rajab 1342 H atau 3 Maret 1924 M.

Diantara berbagai peristiwa penting di atas, tragedi runtuhnya Khilafah Turki Utsmani menyisakan tugas besar bagi umat islam saat ini yaitu bagaimana mengembalikan tegaknya institusi Khilafah Islamiyah kembali. Bagaimana tidak, sejak di hapus oleh Mustafa Kemal Attaturk seorang agen Inggris praktis seluruh aturan Islam yang masih diterapkan oleh Khalifah Sultan Abdul Hamid II resmi di hapus, padahal sebagai muslim wajib hukumnya untuk beraktivitas sesuai dengan aturan Islam. Hal ini sesuai dalil dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 208 yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu. Sehingga keberadaan khilafah Islamiyah laksana kunci untuk menerapkan islam secara menyeluruh.

Surah Al-Baqarah tadi hanyalah satu dalil umum yang memerintahkan untuk berhukum hanya pada syariat islam saja, sementara masih banyak dalil hukum syara yang tidak bisa diterapkan dengan ketiadaan Khilafah. Diantaranya dalam al-Qur’an surah An-Nur ayat 2 yang berbunyi:

 ﴿الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ﴾

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera.” 

Kenyataannya tidak ada yang bisa menerapkan aturan jilid bagi pezina sekarang ini. Sehingga terlihat adanya pengabaian terhadap perintah-perintah Allah baik dari Al-Qur’an maupun Hadits.

Padahal prasyarat keimanan dalam islam adalah terikat dengan hukum syara seperti disebut dalam surah An-Nisa ayat 65 yaitu:

﴿فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ﴾

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” 

Di mana dengan tidak adanya negara Islam, sebagian besar hukum-hukum (syariah) Islam diabaikan dan disia-siakan. Kita sebagai umat Islam bertanggung jawab dengan semua kezaliman ini. 

Menegakkan Khilafah hukumnya fardhu kifayah

Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi Asy-Syafi’i (W. 476 H) dalam Bab Adab Penguasa menjelaskan bahwa: Imamah/khilafah hukumnya adalah fardhu kifayah. Fardu kifayah (فرض كفاية‎) adalah status hukum dari sebuah aktivitas dalam Islam yang wajib dilakukan, tetapi bila sudah dilakukan oleh muslim yang lain maka kewajiban ini gugur. Contoh aktivitas yang tergolong fardu kifayah: menyalatkan jenazah muslim, belajar ilmu tertentu (misalnya kedokteran, ekonomi). Suatu perbuatan yang semula hukumnya fardu kifayah bisa menjadi fardu 'ain apabila perbuatan dimaksud belum dapat terlaksana dengan hanya mengandalkan sebagian dari kaum muslimin saja. 

Bahkan apabila tidak ada yang layak (untuk menjadi imam/khalifah) kecuali hanya satu orang saja, maka hukumnya menjadi fardhu ‘ayn bagi orang tersebut, dan wajib atas dirinya untuk memintanya (menjadi imam/khalifah). Apabila dia tidak mau, maka harus dipaksa (agar mau).” Pandangan Al-Imam Abu Ishaq tersebut sesuai dengan ijma (kesepakatan) sahabat yang mereka ambil tepat setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Bahkan, mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. 

Menurut Imam ath-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk, generasi awal Islam yang hidup pada kurun terbaik telah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap urusan KeKhilafahan. Para Sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, bersegera memilih Imam/khalifah jika khalifah sebelumnya wafat atau karena ada sebab-sebab syar‘i lainnya. Sangat jelas, berdasarkan dalil-dalil, Khilafah adalah ajaran Islam. Khilafah adalah bagian dari syariat Allah SWT, menegakkannya adalah perintah Allah dan Rasul-Nya yang wajib ditunaikan umat Islam. 

Dalam Q.S An-Nisa ayat 59 Allah SWT berfirman, ‟Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil Amri di antara kalian.” Berdasarkan dalalah al-iltizam, perintah menaati ulil amri pun merupakan perintah mewujudkannya agar kewajiban tersebut terlaksana. Dengan demikian, ayat tersebut pun mengandung petunjuk wajibnya mengadakan ulil amri (Khalifah) dan sistem syar’i-nya (Khilafah), yang juga disebut nama (al-ism) dan dirinci konsepnya (al-musamma) dalam Alquran dan hadis-hadis nabawiyah.

Sesungguhnya tidak ada ikhtilaf para ulama mengenai status kefarduannya. Dalam hal ini adalah fardu kifayah. As-Syathibi mendefinisikannya sebagai fardu yang ditujukan kepada semua orang, namun jika telah dilakukan sebagian, maka fardu tersebut gugur dari yang lain. Namun, as-Syathibi juga menegaskan, dari statusnya sebagai hukum yang terkait dengan orang maupun hukum lain, maka fardu kifayah tersebut harus diberlakukan secara umum kepada semua mukalaf, supaya bisa tetap tegak. (Al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah). Pendapat yang sama juga dikemukakan Imam an-Nawawi, Zakaria al-Anshari, al-Khathib as-Syarbini, az-Zujaji, al-Bujairimi, dan al-Jamal bin Sulaiman; semuanya dari mazhab Syafii, bahwa hukum mendirikan Imamah (Khilafah) adalah fardu kifayah.

Dalam pandangan Taqiyuddin An-Nabhani, mendirikan negara (Khilafah) adalah fardu kifayah, fardu bagi seluruh kaum muslimin. Ini merupakan sesuatu yang pasti dan tidak ada pilihan dalam rangka menegakkannya. Mengabaikan pelaksanaannya merupakan kemaksiatan yang paling besar dan Allah akan mengazab dengan azab yang amat pedih. (Nizhamul Hukmi fil Islam, 1994). Dimana definisi Khilafah menurut Syekh Taqiyuddin An-Nabhani adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum muslim untuk menerapkan syariat islam dan mengemban dakwah Islamiyyah ke seluruh penjuru dunia. Sebuah negara terpenuhi syarat menjadi kekhilafahan jika memiliki wilayah kekuasaan yang menerapkan Islam dan jaminan keamanannya di tangan umat Islam. Hal ini karena secara fakta kaum muslim telah hidup tanpa institusi khilafah sejak 1342 H.

  Sedangkan aktivitas paling penting dalam perjuangan menegakkan Khilafah adalah menjelaskan konsep Khilafah ini kepada kaum Muslim, dan memahamkan mereka kepadanya, sampai ia menjadi aksioma pengetahuan agama yang lazim. Pada saat menjelasan konsep Khilafah kepada kaum Muslim serta memahamkan mereka kepadanya, maka bersamaan dengan itu juga harus jiwa mereka diisi dengan perasaan Islam yang mendorongnya untuk beramal, sabar, serta rela berkorban untuk terus berjuang demi menegakkannya.

﴿وَقُلْ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ﴾

“Dan Katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu’.” (TQS At-Taubah [9] : 105).

Demikianlah, Allah telah memerintahkan kepada umat Islam untuk menerapkan syariat Islam secara sempurna, dan syariat Islam tidak akan bisa diterapkan secara sempurna kecuali dalam naungan Khilafah. Karenanya, menegakkan Khilafah adalah wajib secara syar’i, bahkan Khilafah merupakan “taajul furudh” (mahkota kewajiban). Menegakkan Khilafah dan mengangkat seorang Khalifah adalah fardu kifayah, wajib bagi seluruh kaum Muslim di seluruh dunia, lelaki dan perempuan, hingga terwujudnya Khilafah. Melaksanakan kewajiban ini sama saja seperti menjalankan kewajiban lain yang telah Allah SWT perintahkan kepada kita. Dan saat ini, ketika Khilafah Islamiyyah tidak ada di tengah-tengah kita, maka menjadi kewajiban kita semua untuk mewujudkannya. Sudah saatnya kita sadar bahwa perjuangan untuk tegaknya syariat dan Khilafah inilah yang menjadi agenda kita saat ini, dengan mengikuti aktivitas perjuangan dakwah Rasulullah Saw. Wallaahu a’lam bishawwab.