-->

Pernikahan Dini Termasuk Kejahatan Seksual, Benarkah?

Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I., Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok  

Sebenarnya apa yang terjadi di negeri kita tercinta ini? Belum lagi selesai kasus Covid-19, sudah bermunculan masalah-masalah baru. Salah satunya masalah  wedding organizer bernama Aisha Wedding yang mempromosikan pernikahan dini ramai di media sosial. Sampai-sampai kasus tersebut diusut oleh kepolisian dan website Aisha Wedding juga sudah diblokir oleh Kemenkominfo. Untuk menyelesaikan masalah ini bukan saja menteri Kemenkominfo tetapi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) juga ikut serta, juga mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk mencegah pernikahan dini. 


Sebenarnya, negara berharap dengan adanya dukungan penuh dari masyarakat dan kementerian terkait, pernikahan dini bisa ditekan jumlahnya bahkan dihilangkan karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Promosi pernikahan dini tersebut dianggap telah melanggar dan mengabaikan pemerintah dalam upaya melindungi dan mencegah anak menjadi korban kekerasan dan eksploitasi. Tindakan ini melawan hukum, melangggar Undang-Undang Perlindungan Anak, UU Perkawinan Anak dan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang. Terkesan Panik sekali..... 


Marilah kita melihat kasus yang terjadi dari cara pemerintah mencarikan  solusi dengan mengadakan gerakan bersama dan bersinergi bersama, dalam mengatasi permasalahan bangsa (masalah yang sangat berat dibandingkan utang negara) dengan harapan dapat diselesaikan lebih baik. 


Dengan dukungan media, pemerintah membawa kasus Aisha Wedding banyak mengikut sertakan gerakan teman-teman individu maupun NGO (Non Government Organization) yang menyatakan komitmennya menggelorakan pencegahan perkawinan anak. Bahkan, dalam upaya pencegahan pernikahan dini, sejak 2019 KemenPPPA sudah mempelopori gerakan bersama pencegahan perkawinan anak. 


Di negeri yang tercinta ini juga sedang merebaknya kasus pedofilia yang dikatagorikan dengan permasalahan kejahatan dan kekerasan seksual. Dari fakta di atas, tampaknya pemerintah seakan menyamakan pelaku yang melakukan pernikahan dini dengan pelaku pedofilia sama-sama masuk ke dalam kejahatan dan kekerasan seksual. Pernikahan dini termasuk kejahatan seksual, benarkah?


Sebenarnya, fitrah manusia adalah menikah, tetapi usia pernikahan tidak ditentukan. Sebagaimana Siti Aisyah dipinang Rasulullah disaat usia 9 tahun, tetapi menjalani kewajiban sebagai istri setelah masuk usia baliq. Namun pendidikan tentang berumah tangga sudah disosialisasikan. 


Jadi pemerintah tidak perlu khawatir pernikahan dini tidak akan menghancurkan mahligai perkawinan  bila edukasi tentang pernikahan sudah didapatkan. Pernikahan dini pun tidak termasuk ke dalam kejahatan atau kekerasan seksual, malah ini menjadi salah satu solusi dari maraknya kasus perzinaan dan pedofilia yang tengah terjadi.


Sebenarnya, kasus pedofilia tidak akan merebak bila edukasi menutup aurat dan sistem pergaulan juga diedukasi pemerintah kepada rakyatnya. Solusi yang mampu memecahkan permasalahan kejahatan seksual secara komprehensif sudah diatur dalam tatanan Islam. Solusi ini tak bisa lahir dari keterbatasan akal manusia yang penuh dengan kepentingan pribadi dan kelompok, tapi lahir tanpa ada konflik kepentingan dan campur tangan hawa nafsu manusia. Pemecahan masalahnya pun  langsung dari Sang Pencipta, Allah SWT yang telah memberi aturan terbaik bagi diri manusia dan kehidupannya. Itulah syariat Islam.


Solusi dari aturan Islam tercermin dari sistem pergaulan sosial (nizhamul ijtima’iy) yang begitu lengkap, mencakup pengaturan laki-laki dan perempuan di kehidupan khusus serta di kehidupan umum (public area). Islam memandang perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga. 


Secara umum, Islam mengatur mulai dari penetapan batasan yang jelas akan aurat laki-laki dan perempuan, pakaian penutup aurat, kewajiban menjaga pandangan, larangan tabarruj, larangan khalwat dan ikhtilat, pengaturan safar bagi perempuan, dorongan menikah hingga pengaturan rumah tangga. Dengan kelengkapan aturannya, Islam menutup celah aksi pornografi pornoaksi serta memastikan laki-laki dan perempuan mampu mengoptimalkan peran dalam masyarakat dengan tetap terjaga kehormatannya.


Islam pun memberi hukuman kepada pelaku kejahatan seksual agar tidak mengulangi perbuatannya. Adapun sanksi di dalam Islam di antaranya: Pertama,  jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah perbuatan zina, hukumannya (had az zina), yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah).  (HR Bukhari no 6733, 6812; Abu Dawud no 4438) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan (QS an-Nuur: 2)


Kedua, jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain. Ketiga, jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya ta’zir. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1480; Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 93).


Kaum perempuan dan para ibu yang peduli terhadap masalah ini sudah seharusnya menyadarkan masyarakat dan penguasa untuk menerapkan sistem Islam, karena dorongan seksual tinggi akibat tontonan pornografi pornoaksi menjamur dan sepertinya dibiarkan pemerintah, atau kekerasan pedofilia merajalela, karena menikah resmi sulit dilaksanakan. 


Sebenarnya, kasus-kasus yang terjadi ini tidak semata-mata faktor tunggal individu penjahatnya, atau gagalnya suatu rumah tangga hanya karena kurangnya umur calon pengantin belum sesuai dengan undang-undang pernikahan yang dibuat tangan manusia, melainkan menyangkut tata nilai dan aturan yang diterapkan. Penyelesaiannya pun harus menyentuh perubahan sistemis, perubahan integral. Tidak cukup dengan menangkap pelaku dan memberi hukuman sekeras-kerasnya saja. Harus menyuntikkan tata nilai Islam di tengah masyarakat bukan liberalisme.


Pemberlakuan sistem Islam secara kaffah adalah solusinya. Baik berupa penerapan sistem ekonomi Islam yang menghasilkan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan. Juga sistem ijtimaiy yang menghasilkan individu bertakwa dan beradab ketika berinteraksi dengan sesamanya. Jauh dari pelecehan apalagi kekerasan dalam rumah tangga dan penyimpangan seksual.


Hanya khilafah yang mampu mewujudkan semuanya, karena khilafah akan menegakkan seluruh aturan Allah. Khilafah pula yang akan mengerahkan segenap kemampuan untuk memberikan riayah dan himayah (pengaturan, pengayoman dan perlindungan). Khilafah tidak akan membiarkan wali /orang tua takut menikahkan anaknya karena usia belum mencukupi undang-undang pernikahan, namun perilaku anak sudah mengarahkan perzinaan. Yakinlah aturan Allah SWT menjamin tidak satu anak pun mengalami kekerasan dan menghentikan lahirnya predator-predator baru. Wallahu a’lam. []