-->

Mengokohkan Bangunan Mental Generasi Z

Oleh: Dwi Nesa Maulani ( Komunitas Pena Cendikia)


Tahun 2021 Indonesia mendapatkan bonus demografi usia muda. Dilansir dari kompas.com menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah generasi Z mencapai 75,49 juta jiwa atau setara dengan 27,94 persen dari total seluruh populasi penduduk di Indonesia. Sementara itu, jumlah penduduk paling dominan kedua berasal dari generasi milenial sebanyak 69,38 juta jiwa penduduk atau sebesar 25,87 persen.


Bonus demografi ini bisa menjadi peluang atau bumerang bagi masa depan bangsa. Mau dibawa kemana generasi z ini tergantung kita yang mendidik mereka.


Bicara pemuda, teringat murid paling slow learner bernama Ar Robi' bin Sulaiman. Berkali-kali diterangkan oleh sang guru Imam Syafii, tapi Robi’ tak juga paham. Setelah menerangkan pelajaran, Imam Syafii bertanya, “Robi’ sudah paham belum? Belum paham" jawab Robi'. Berulang diterangkan sampai 39x Robi’ tak juga paham. Sang guru juga meminta Robi' untuk belajar privat di rumahnya. Hasilnya nihil. Sampai sang guru berkata "Saya hanya menyampaikan ilmu. Allah-lah yang memberikan ilmu. Andai ilmu yang aku ajarkan ini sesendok makanan, pastilah aku akan menyuapkannya kepadamu.” Berkat doa dan kesungguhan belajar, Robi' bin Sulaiman murid slow learner bermetamorfosis menjadi Imam Besar madzhab Imam Syafi'i.


Apa pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah tersebut? Guru yang super sabar dan murid yang super giat belajar ditambah munajat kepada Allah SWT. Dan ada satu yang tak boleh luput yaitu pada saat itu masa kekhilafahan pendidikan berbasis islam. Imam Syafi'i mengokohkan dulu bangunan akidah islam sehingga lahir generasi bermental kuat pantang menyerah dalam belajar dan selalu terikat dengan Allah SWT.


Namun sayangnya hari ini pemuda seperti Robi' sudah sangat jarang kita temui. Generasi Z terlebih di musim pandemi banyak yang mengalami stres akibat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Ada yang menjadikan gadget sebagai pelarian untuk menghilangkan stres dengan bermain game. Ada juga yang mengakses konten-konten porno. Bahkan di antara mereka ada yang stres sampai masuk RSJ dan meninggal dunia seperti yang dialami siswi SMA di Tangerang. Sampai november KPAI menerima 800 pengaduan terkait PJJ yang mayoritas aduan siswa yang stres.


Generasi Z selama ini memang sudah mengalami berkali-kali pergantian kurikulum. Mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sampai Kurikulum 2013. Berbagai macam kurikulum dan model pembelajaran yang sudah dijalankan sayangnya yang dirasakan adalah sebatas transfer ilmu saja. Siswa dituntut menguasai banyak ilmu tanpa dibarengi penguatan mental, pola sikap, dan pola pikir yang islami. Terlebih saat PJJ siswa dibebani tugas-tugas yang sangat banyak. Pada akhirnya semakin mereka giat belajar, stres yang didapat. Menghadapi buku saja mereka stres apalagi nanti kelak mereka dewasa akan menghadapi kehidupan yang sesungguhnya.


Problem pendidikan kita saat ini tak sekedar masalah teknis apakah sebaiknya tatap muka atau PJJ. Namun lebih dari itu, pendidikan kita sekuler yaitu memisahkan ilmu dengan agama. Pendidikan didominasi transfer ilmu bukan pembentukan pemahaman. Bukan juga alat pembentukan perilaku. Sehingga generasi yang dihasilkan miskin dari ketakwaan kepada Allah SWT.


Solusi yang ditawarkan hendaknya mengobati sampai ke akarnya dengan mencabut sekulerisme dari pendidikan dan menggantinya dengan pendidikan berbasis islam seperti pada masa Robi'.


Sistem pendidikan islam mengharuskan kurikulum berdasarkan pada akidah islam. Mata pelajaran dan metode penyampaiannya tidak boleh menyimpang sedikitpun dari asas tersebut. Politik pendidikan adalah membentuk pola pikir dan pola jiwa islami.


Tujuan pendidikan di dalam islam adalah membentuk manusia yang, pertama: memiliki kepribadian islam. Kedua, handal menguasai pemikiran islam. Ketiga, menguasai ilmu-ilmu terapan IPTEK (ilmu, pengetahuan, dan teknologi). Keempat, memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna.


Pembentukan kepribadian islam dilakukan pada semua jenjang pendidikan yang sesuai dengan proporsinya. Barulah setelah siswa mencapai usia balig, yaitu SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi, materi yang diberikan bersifat lanjutan (pembentukan, peningkatan, dan pematangan). Hal ini dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan keimanan serta keterikatannya dengan syariat islam.


Dengan pendidikan berbasis islam akan lahir output generasi yang berkualitas. Kuat mental tidak gampang stres, berkepribadian islami, dan menguasai ilmu pengetahuan. Seperti Robi' meskipun slow learner tetapi bisa menjadi Imam Besar. Peranannya di masyarakat juga akan dirasakan. Baik dalam memanfaatkan ilmu pengetahuannya maupun dalam menjalankan syariat islam dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara.


Oleh karena itu, sudah saatnya negara mengganti sistem pendidikannya dengan sistem pendidikan islam pengokoh generasi kuat mental. Jangan korbankan generasi Z karena kesalahan kita dalam memilih sistem. Jangan biarkan mereka jenuh dengan pendidikan kemudian bermain-main dengan hawa nafsunya. Seperti apa mereka sepuluh dua puluh tahun ke depan, kita yang membentuknya.