-->

Waspada Toxic Parents Semakin Meningkat Saat Pandemi!

Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd (Guru SD Muhammadiyah Unggulan Jembrana)

Penamabda.com - Semester genap di tahun ajaran 2020/2021 sudah dimulai, itu menandakan proses kegiatan belajar mengajar telah berlangsung kembali. Disaat pandemi seperti ini, peran orang tua sangat diharapkan untuk membantu Ananda dalam belajar daring (dalam jaringan). Khususnya pada masa-masa sekolah dasar yang memang anak-anak masih sangat memerlukan bimbingan dan pengajaran.

Namun, dengan keterbatasan kemampuan para orang tua untuk mengajari buah hatinya, tak jarang justru mereka terbawa emosi dan kalap ketika mengajari Ananda. Bahkan menuntut anak-anak untuk segera mengerti materi pelajaran.

Dalam tahap perkembangan anak, wajar ketika mereka selalu ingin bertanya. Banyaknya pertanyaan inilah yang membuat orang tua kadang kewalahan dalam menjawab. Siswa sekolah dasar merupakan anak yang paling banyak mengalami perubahan yang drastis, baik mental maupun fisik.

Menurut Seifert dan Haffung, usia anak SD berkisar 6-12 tahun memiliki tiga jenis perkembangan yaitu perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial (kompasiana.com, 3/11/19). Tiga jenis perkembangan inilah yang menjadi salah satu faktor anak untuk mengeksplorasi kemampuannya dan berupaya eksis dengan dirinya. Tanpa melihat apakah itu sesuai dengan keinginan orang tua ataukah tidak.

Perilaku anak yang kadangkala tidak sesuai dengan keinginan orang tua serta kondisi orang tua yang lelah menjadi salahsatu faktor yang bisa membuat emosi orang tua meningkat dan tentu pelampiasannya kepada anak-anak (haibunda.com, 18/3/19). Akibatnya orang tua bisa marah atau berlaku kasar, baik fisik ataupun verbal.

Perilaku orang tua yang destruktif, kasar, sering melakukan kekerasan fisik atupun verbal, dan perilaku-perilaku lain yang menyebabkan kurang kondusif pada perkembangan anak sering terjadi di masa-masa pandemi saat ini. Perilaku yang beracun inilah yang disebut dengan perilaku toxic parents.

Di masa pandemi saat ini, para orang tua lebih disibukkan untuk mencari nafkah agar kebutuhan keluarganya terpenuhi, di sisi lain, mereka juga dituntut membimbing anak-anak untuk belajar dengan sistem daring yang otomatis pembelajaran anak-anak dilakukan di rumah saja. Ini membuat pikiran orang tua semakin bercabang dan tidak fokus meski hanya sekedar mengajari anak baca tulis.

Kondisi yang tidak ideal inilah yang mengakibatkan meningkatnya perilaku toxic parents pada orang tua. Dengan kondisi yang tidak kondusif dalam keluarga, maka anak-anak merasa tidak nyaman berada di dalam rumah. Anak-anak merasa terguncang jiwanya ketika diajari oleh orang tuanya. 

Toxic parents ditujukan kepada para orang tua yang memiliki pola asuh yang buruk. Bahkan dapat mematikan potensi dan rasa percaya diri anak. Toxic parents ditandai dengan ciri-ciri yang cenderung membuat anak menjadi tidak percaya diri, mempermalukan anak, membandingkan anak dengan temannya, dan memarahi anak ketika orang tua merasa tidak puas terhadap usaha si anak. Para orang tua yang toxic adakalanya tidak merasa melakukan kesalahan. Justru mereka mengira yang mereka perbuat adalah benar dan terbaik.

Namun, yang dialami anak justru berbeda. Anak-anak merasa terkekang dengan segala aturan dan pola asuh dari orang tuanya yang terlalu berekspektasi tinggi. Ingat, setiap ciri di atas, seringan apa pun derajatnya, bisa meninggalkan luka yang menyakitkan dan sulit untuk disembuhkan pada jiwa anak, bahkan hingga ia dewasa.

Berdasarkan data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementrian PPPA), pada 1 Januari – 31 Juli 2020 telah terjadi 4.116 kasus kekerasan pada anak, diantaranya 1.111 kekerasan fisik, 979 kekerasan psikis, 2.556 kasus kekerasan seksual, 68 eksploitasi, 73 tindak pidana perdagangan orang, dan 346 penelantaran  (kompasiana, 12/10/20).

Berbagai contoh hasil dari toxic parent telah banyak beredar di media massa. Apalagi di masa pandemi seperti saat ini, kekerasan pada anak sangat banyak ditemukan bahkan di sejumlah   daerah seperti di Kota Jakarta, Bondowoso, Tasikmalaya, dan  Aceh juga mengalami peningkatan (m.merdeka.com). 

Sungguh sangat disayangkan, ketika anak-anak sedang membutuhkan kasih sayang orang tuanya, justru mereka mendapat perlakuan yang tidak semestinya. Contoh saja di bidang pendidikan, tindakan toxic parents yang terjadi saat belajar daring diantaranya ibu memarahi anaknya yang sulit mengerti materi pembelajaran di sekolah sampai–sampai si ibu tega membunuh buah hatinya, seperti kasus di Lebak Banten (26/8/2020), ayah yang membentak anaknya hingga menangis meraung-raung karena anak tidak mau mengerjakan tugas sekolah (Bekasi), dan lain-lain.

Kasus-kasus yang semisal ini bukan hanya hitungan jari saja, namun seperti fenomena gunung es, yaitu kasus yang nampak justru lebih sedikit dari fakta sebenarnya. 

Dengan demikian, maka pola asuh yang seperti ini harus dihindari oleh orang tua. Pola asuh yang beracun tidak hanya meracuni anak sendiri, namun bisa jadi menyebar dan mempengaruhi para orang  tua yang lain dan juga teman-teman si anak.

Lantas pola asuh yang seperti apa yang bisa membuat anak nyaman dengan pembinaan dan pengajaran di rumah bersama orang tuanya?

Bagi kaum muslim, tentunya harus dikembalikan kepada pengaturan Islam yang sempurna dan paripurna. Islam sebagai agama dan peraturan hidup pasti juga memiliki sistem pendidikan, 

Anak-anak berhak lahir dalam keluarga yang bahagia dengan orangtua yang mencintai anak seutuhnya. Pola pendidikan anak dalam Islam berbeda dengan pola pendidikan selain dari Islam. Islam mengajarkan anak-anak untuk membedakan perkara yang baik dan buruk sejak masih kecil. Jika mereka sudah mampu membedakan perkara baik dan buruk maka ia disebut sebagai anak mumayyiz.

Walaupun anak-anal belum masuk usia baligh, namun jika mereka sudah mumayyiz, maka perlu diajarkan kemampuan sebagaimana tuntunan syariah, halal-haram, wajib-sunnah, suci-najis, dan lain-lain. Oleh karena itu, para orang tua juga wajib mengetahui tahapan-tahapan perkembangan anak. 

Kecerdasan anak juga dipengaruhi oleh informasi-informasi yang mereka terima sejak kecil. Jika ingin menghasilkan anak dengan kepribadian Islam, maka beberapa hal perlu diperhatikan.

1. Pembelajaran agama lebih intens. Di fase tamyiz anak sudah bisa memahami banyak hal. Mulailah untuk menanamkan pemahaman agama lebih dalam lagi pada anak tentu dengan tetap memperhatikan bahasa pengantar yang mudah ia mengerti. Misalnya Ayah Bunda mulai bisa menerangkan Islam sebagai agama sempurna, tujuan hidup kita adalah meraih ridha Allah, kewajiban melaksanakan syariat Islam, dsb.

2. Kenalkan dengan sosok orang saleh dan bandingkan dengan musuh-musuh Allah SWT. Seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, Abu Ayyub al Anshori, dll kemudian bandingkan dengan Abu Jahal, Abu Lahab, Utbah bin Rabiah, Ummu Jamil/Istri Abu Lahab, dll., agar tergambar perbedaan kebaikan dan keburukan pada Ananda. 

3. Berlatih untuk mandiri. Di fase ini mulailah melatih kemandirian anak juga tanggung jawab sesuai kadar kemampuan mereka. Seperti tidur sendiri sejak umur 7 tahun, menjaga adik, jual beli dengan batasan tertentu, dll. Latihan ini amat penting untuk persiapan mereka memasuki masa pubertas/aqil baligh.

4. Tingkatkan kepercayaan diri pada anak seperti bicara di depan saudara-saudaranya, di depan kelas, memimpin teman-teman di sekolah. Ajarkan untuk menerima segala hasil dari usaha yang telah mereka lakukan. Berhasil atau gagal, tetaplah percaya diri dan mencoba lagi.

5. Jauhkan dari konten negatif seperti pornografi, tahayul, kekerasan, dsb. Sebagaimana anak yang telah tamyiz cepat merespon kebaikan, demikian pula halnya terhadap konten negatif. Anak-anak di usia ini cepat dalam menduplikasi dan mencerna konten-konten negatif. Karenanya Ayah Bunda wajib menjaga adab tutur kata dan pergaulan bersama keluarga, menjaganya dari pergaulan negatif kawan-kawannya, termasuk melindungi anak dari tayangan negatif dari bacaan, televisi dan internet. Minimalisir kebolehan menonton TV apalagi menggunakan ponsel berinternet, karena mereka rentan terkontaminasi konten negatif dan dapat menimbulkan kecanduan.

Dengan demikian, bukan hanya si anak yang cerdas dan memiliki kepribadian Islam, akan tetapi para orang tua juga memiliki pengetahuan yang luas dan layak untuk dijadikan sebagai panutan si anak. Orang tua akan mampu mengendalikan dirinya agar tidak berlaku buruk terhadap anak, sehingga tidak akan ada lagi perilaku toxic parents.

Wallahu a’lam bish showab