-->

Kemandirian Pangan Akan Terwujud Dengan Islam

Oleh: Nurbayah Ummu Tsabitah

Penamabda.com - Mengawali tahun 2021 rakyat yang hidup di tengah Covid-19, kembali didera kesusahan. Beban hidup bagi rakyat bertambah. Makanan sehari-hari yang akrab menjadi menu wajib santapannya, yakni tahu, tempe, oncom dan sejenisnya menghilang dari lapak warung tempat mereka menghilangkan lapar. Konsumen di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, mengeluhkan hilangnya stok tahu dan tempe di lapak pedagang dalam dua hari terakhir. Kejadian ini imbas mogok produksi di kalangan perajin kedelai (Merdeka.com)

Para pengrajin tahu dan tempe di sana mogok produksi sejak Jumat lalu karena naiknya harga kedelai dari Rp 7.200 menjadi Rp 9.200 per kilogram. Pemogokan ini diinisiasi oleh Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta. Kenaikan harga pangan pasti akan memberikan pengaruh yang besar terhadap ketahanan keluarga, apalagi ditengah kondisi masyarakat yang sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disebabkan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Pendapatan yang minim akhirnya berdampak pada pemenuhan kebutuhan pokok dan akan berimbas kepada kesehatan anak serta tumbuh kembangnya, secara fisik dan mentalnya.dan pada akhirnya akan berpengaruh kepada sumber daya manusia SDM di Indonesia yang jauh dari unggul.

Untuk menuntaskan problem pangan di masyarakat, Presiden Joko Widodo memberikan mandat kepada para menterinya untuk bersiap menghadapi krisis pangan akibat masa pandemi. Oleh karena itu, para menteri dengan persetujuan beliau merencanakan sebuah gagasan baru dengan membuat Lumbung Pangan Nasional (LPN). Walaupun akhirnya kebijakan ini menuai banyak keritik karena akan dibangun di lahan gambut yang berada di kalimantan barat yang nota bene pada masa Presiden Soeharto sampai Presiden SBY belum bisa terealisasi karena tingginya biaya oprasional yang diperlukan.

Akhirnya proyek inipun gagal, adanya program UPSUS PAJALE  digadang-gadang dapat mewujudkan swasemba padi, jagung dan kedelai pun gagal.  Gagal urus pemerintah dalam sektor pangan ini tampak dalam rendahnya pasokan dalam negeri serta ketidak mampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga. Program swasembada hanyalah isapan jempol semata. Sementara permainan kartel benar-benar telah membuat harga terus melambung tinggi, meski harga internasional menurun.

Pada akhirnya kebijakan imporlah yang menjadi solusi. Berdasarkan data dari USDA, produktivitas kedelai Indonesia tercatat 1,3 ton per per hektare pada 2017/2018. Angka ini lebih rendah dari produktivitas dunia sebesar 2,7 ton per hektare maupun produktivitas AS sebesar 3,3 ton., pertumbuhan produktivitas kedelai di dunia akan tumbuh menjadi 2,76 ton per hektare. Sementara Indonesia, produktivitas kedelai diproyeksikan turun menjadi 1,27 ton per hektare

Masih dari data USDA, ekspor kedelai AS ke Indonesia dari awal tahun hingga 23 Agustus 2018 mencapai 2,38 juta ton. Jumlah tersebut naik 4,4 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2017 sebanyak 2,27 juta ton. Sedangakn di tahun ini Indonesia juga menerima 5.716.252 juta ton kedelai impor senilai 2,2 miliar USD. Angka impor tahun ini lebih tinggi dibandingkan jumlah kedelai impor tahun lalu yang hanya 5.122.424 ton.

Kebijakan impor ini semakin diperparah dengan adanya UU Ciptakerja. Ketua Umum Serikat Petani (SPI) Indonesia Henry Saragih mengatakan pelonggaran impor pangan tampak jelas dalam revisi UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan). UU Cipta Kerja menghapus frasa pasal 30 ayat (1) beleid itu yang berbunyi: “setiap orang dilarang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah.”diubah  menjadi: “Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor dengan tetap melindungi kepentingan petani.”

Frasa “mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional” dalam pasal 15 juga ikut dihapus. Sanksi bagi orang yang mengimpor saat kebutuhan dalam negeri tercukupi dalam pasal 101 juga ditiadakan. Ini jelas berdampak pada petani dalam negeri. Tidak ada lagi ketentuan kewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri

Kebijakan impor yang diberlakukan dan didukung penuh oleh undang-undang ini tentunya akan memberikan pengaruh terhadap sebuah negara apalagi terkait pangan yang merupakan hajah dan kebutuhan pokok manusia. Dan hal ini akan membuat ketergantungan kepada negara pengekspor dan secara otomatis akan mudah sekali dikendalikan oleh negara lain.

Ketergantungan pada produk pangan luar negeri akan membuat Indonesia rentan terhadap gejolak harga komoditas pangan dunia. Pemerintah akan mengulangi kesalahan negara-negara di Afrika Utara dan Timur Tengah yang saat ini menjadi importir.

FAO food price index pada tahun 2011 sempat mencapai 131 poin, jauh dari posisi saat ini di bawah 100. Waktu itu lonjakan harga pangan dunia telah menciptakan instabilitas di negara-negara berpendapatan menengah ke bawah dan memicu gejolak politik. Adanya ke khawatiran lantaran pelonggaran impor produk pertanian dapat berdampak pada petani lokal. Saat impor masuk tanpa memperhatikan pasokan dan musim panen, maka harga di tingkat petani mudah terganggu. “Impor jadinya bisa sangat memukul harga yang diterima petani. Saat harga terganggu, bagaimana mungkin petani dapat tetap sejahtera apalagi mencari untung. Praktis, semakin sedikit juga masyarakat yang ingin tetap menanam apalagi menjaga produksi.

Naik turunnya harga pangan karena besarnya jumlah impor harus bisa diatasi dengan keseriusan menghentikan ketergantungan impor. Ada pekerjaan rumah yang memerlukan perubahan drastis agar produksi pangan terutama kedelai lokal mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. 

Mewujudkan Swasembada

Islam dengan serangkaian hukumnya mampu merealisasikan swasembada pangan. Secara umum hal ini tampak dalam politik pertanian yang akan dijalankan Khilafah sebagai berikut:

Pertama: Kebijakan di sektor hulu yaitu kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.Intensifikasi ditempuh dengan jalan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik. Untuk itu, Khilafah akan menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian. Keberadaan diwan ‘atha (biro subsidi) dalam baitulmal akan mampu menjamin keperluan-keperluan para petani menjadi prioritas pengeluaran baitulmal.

Kepada para petani diberikan berbagai bantuan, dukungan dan fasilitas dalam berbagai bentuk; baik modal, peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan, research, pemasaran, informasi, dsb; baik secara langsung atau semacam subsidi. Maka, seluruh lahan yang ada akan produktif. Negara juga akan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi, dsb., sehingga arus distribusi lancar. Ekstensifikasi pertanian dilakukan untuk meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah. Untuk itu negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian tersebut.

Di antaranya adalah bahwa negara akan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan lahan mati (ihya’ul mawat) dan pemagaran (tahjîr) bila para petani tidak menggarapnya secara langsung. Negara juga dapat memberikan tanah pertanian (iqtha’) yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengolahnya.

Persoalan keterbatasan lahan juga dapat diselesaikan dengan pembukaan lahan baru, seperti mengeringkan rawa dan merekayasanya menjadi lahan pertanian lalu dibagikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya, seperti yang dilakukan masa Umar bin Khaththab di Irak. Selain itu, negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mencegah proses alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian. Hanya daerah yang kurang subur yang diperbolehkan menjadi area perumahan dan perindustrian.

Di samping itu, negara juga tidak akan membiarkan lahan-lahan tidur, yaitu lahan-lahan produktif yang tidak ditanami oleh pemiliknya. Jika lahan tersebut dibiarkan selama tiga tahun maka lahan tersebut dirampas oleh negara untuk diberikan kepada mereka yang mampu mengolahnya.

Rasulullah Saw. Bersabda, “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil.” (HR Bukhari)

Kedua: Kebijakan di sektor industri pertanian.

Negara hanya akan mendorong berkembangnya sektor riil saja, sedangkan sektor nonriil yang diharamkan seperti bank riba dan pasar modal tidak akan diizinkan untuk melakukan aktivitas. Dengan kebijakan seperti ini, maka masyarakat atau para investor akan terpaksa ataupun atas kesadaran sendiri akan berinvestasi pada sektor riil baik industri, perdagangan ataupun pertanian. Karena itu sektor riil akan tumbuh dan berkembang secara sehat sehingga akan menggerakkan roda-roda perekonomian

Menjaga Kestabilan Harga

Khilafah akan menjaga kestabilan harga dengan dua cara: Pertama: Menghilangkan distorsi mekanisme pasar syariat yang sehat seperti penimbunan, intervensi harga, dsb.. Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik.

Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah Saw. Melarang penimbunan makanan.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi) Jika pedagang, importir, atau siapa pun menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai kebijakan Khalifah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya.

Di samping itu Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasul bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (HR Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)

Adanya asosiasi importir, pedagang, dsb., jika itu menghasilkan kesepakatan harga, maka itu termasuk intervensi dan dilarang.

Kedua: Menjaga keseimbangan supply dan demand. Jika terjadi ketidakseimbangan supply dan demand (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang baik dari daerah lain.

Inilah yang dilakukan Umar Ibnu al-Khaththab ketika di Madinah terjadi musim paceklik. Ia mengirim surat kepada Abu Musa ra. Di Bashrah yang isinya: “Bantulah umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam! Mereka hampir binasa.”

Setelah itu ia juga mengirim surat yang sama kepada ‘Amru bin Al-‘Ash ra. Di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan ‘Amru ra. Dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah, kemudian dari sana baru dibawa ke Makkah. (Lihat: At-Thabaqâtul-Kubra karya Ibnu Sa’ad, juz 3 hal. 310-317).

Ibn Syabbah meriwayatkan dari Al-Walîd bin Muslim Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku telah diberitahukan oleh Abdurahmân bin Zaid bin Aslam ra. Dari ayahnya dari kakeknya bahwa Umar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan ‘Amr bin ‘Ash ra. Untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah melalui laut Ailah pada tahun paceklik.” (Lihat: Akhbârul-Madînah, Karya Abu Zaid Umar Ibnu Syabbh, Juz 2, hal 745). 

Dalam riwayat lain, Abu Ubaidah ra. Pernah datang ke Madinah membawa 4.000 hewan tunggangan yang dipenuhi makanan. Umar ra. Memerintahkannya untuk membagi-bagikannya di perkampungan sekitar Madinah. (Lihat Târîkhul Umam wal Muluk, Karya Imam ath-Thobariy, Juz 4, hal. 100).

Apabila pasokan dari daerah lain juga tidak mencukupi maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor. Impor hukumnya mubah. Ia masuk dalam keumuman kebolehan melakukan aktivitas jual beli. Allah SWT berfirman: “Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba (TQS Al-Baqarah: 275). Ayat ini umum, menyangkut perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Karenanya, impor bisa cepat dilakukan tanpa harus dikungkung dengan persoalan kuota. Di samping itu, semua warga negara diperbolehkan melakukan impor dan ekspor (kecuali komoditas yang dilarang karena kemaslahatan umat dan negara). Perajin tempe secara individu atau berkelompok bisa langsung mengimpor kedelai. Dengan begitu, tidak akan terjadi kartel importir.

Demikianlah sekilas bagaimana syariat Islam mengatasi masalah pangan. Masih banyak hukum-hukum syariat lainnya, yang bila diterapkan secara kaffah niscaya kestabilan harga pangan dapat dijamin, ketersediaan komoditas, swasembada, dan pertumbuhan yang disertai kestabilan ekonomi dapat diwujudkan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.