-->

Ilusi Pemberantasan Kekerasan Seksual Dalam Sistem Sekuler

Oleh: Nurhikmah (Mahasiswa)

Dalam catatan detikcom, Jumat (15/1/2021), RUU PKS pernah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019. Bahkan draf RUU PKS itu sudah jadi dan beredar di masyarakat.

Namun, RUU PKS akhirnya tidak disetujui DPR. Salah satul penyebabnya adalah banyak materi RUU PKS yang bersinggungan dengan materi RUU KUHP.

Walaupun tidak disetujui pada tahun 2020, ternyata DPR RI telah menetapkan RUU PKS dalam Prolegnas Prioritas 2021. "RUU PKS diusulkan sejak 2012, artinya, pengesahannya sudah 8 tahun ditunda," kata Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini saat dihubungi, Jumat (15/1/2021).

Theresia menegaskan pihaknya akan terus mengawal proses pembahasan RUU PKS itu di DPR. Ia berharap DPR menetapkan RUU PKS sebagai RUU inisiatif seperti halnya RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga.

Anggota Komisi Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Wido Supraha menyebutkan enam kelemahan RUU-PKS.

Pertama, RUU-PKS tidak komprehensif, melainkan parsial. Contohnya soal KDRT hanya berlaku di lingkungan rumah tangga, sedangkan kasus sodomi tidak diatur. Padahal seharusnya diatur secara komprehensif.

Kedua, RUU-PKS dibangun di atas narasi paham dan teori feminisme, tanpa adanya perspektif agama dan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Padahal agama dengan feminisme radikal itu berseberangan.

Ketiga, Wido menjelaskan RUU-PKS lemah dalam pembuktian kekerasan seksual yang terjadi pada korban.

Keempat, dia menyebut RUU PKS mendikte Kepolisian, Jaksa dan Hakim menabrak KUHP, UU Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian.

Kelima, RUU-PKS memuat hukum acara pidana sendiri, terpisah dari hukum acara pidana nasional yaitu KUHP. Terakhir, Wido menyebut RUU PKS menggabungkan hukum formal dan materil (nasional.tempo.co, 05/10/2019).

menurut Prof. Euis Sunarti, ruh dari RUU-PKS adalah semangat sekularisme karena di dalam pasal itu tidak mengenali agama, bahkan memisahkan kehidupan beragama dalam kehidupan sehari-hari. Jadi dia (RUU) menegasikan falsafah dan nilai agama dalam kehidupan.

Benar bahwa masalah kekerasan seksual diatur dalam RUU ini, namun soal penyimpangan seksual dan kejahatan seksual tidak diatur. Yang dipermasalahkan dalam RUU ini adalah tentang kekerasannya dan bukan aktivitasnya.

Contohnya saja tentang pelacuran, yang dipermasalahkan adalah kekerasan dalam praktik tersebut dan bukan pelacurannya. Sama halnya dengan aborsi, yang dipermasalahkan adalah kekerasannya, bukan praktik aborsinya.

Selain itu, penyimpangan seksual semacam L6BT pun tidak diatur, padahal perilaku ini sudah sangat meresahkan masyarakat dan kasusnya semakin banyak.

Jadi, apa pun tindakan seksual yang dilakukan dengan dasar suka sama suka, baik itu perzinaan, perselingkuhan, L6BT, dan lain-lain, tanpa disinyalir ada kekerasan di dalamnya, akan dibiarkan saja berkembang. Na’udzubillah.

Islam Tegas Menolak Kekerasan Seksual

Melihat banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi, apakah ada alternatif pemecahan masalah yang tepat untuk mengatasi masalah kasus kekerasan seksual yang makin marak setiap hari? 

Sejak 1400 tahun yang lalu, Islam telah datang untuk menyelamatkan peradaban manusia. Islam dengan seperangkat aturannya berisikan perlindungan terhadap hak-hak kemanusiaan, baik terhadap pria maupun wanita. 

Tentunya jika kita menelisik sejarah yang terjadi, maka akan kita dapati bahwa peradaban kuno Yunani, Roma, India, Cina, Persia, bahkan Arab jahiliah sangat menindas kaum hawa dan mengeksploitasi seksualitas mereka. Sangat jauh berbeda dengan Islam yang justru hadir membawa perubahan dan harapan baru bagi kehidupan perempuan.

Islam mengatasi kejahatan seksual dan kekerasan seksual sekaligus. Zina dan L6BT menurut Islam adalah bentuk kejahatan seksual, baik dilakukan dengan kekerasan ataupun tidak.

Maka, sebenarnya spirit dari RUU-PKS ini tidak membawa solusi bagi permasalahan (yang notabene menurut Komnas Perempuan diperuntukkan untuk kepentingan perempuan dan anak).

Justru yang akan terjadi adalah keresahan, kehancuran keluarga, bahkan generasi. Karena liberalisasi akan semakin merajalela jika RUU ini disahkan menjadi Undang-undang.

Pelakunya bebas melenggang karena ada payung hukum bagi mereka. Harusnya semua pihak jeli melihat nuansa sekuler liberal yang menjiwai draf RUU-PKS ini.

Lalu bagaimana mekanisme Islam dalam mengatasi kasus kejahatan seksual? Islam memiliki solusi untuk mengatasi kasus kejahatan seksual, baik sebelum terjadi berupa pencegahan (preventif) maupun setelah terjadi (kuratif). Adapun mekanismenya yaitu sebagai berikut:

Pertama, menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan baik dalam ranah sosial maupun privat.

Dasarnya adalah akidah Islam. Sistem Islam akan menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Sebab, kejahatan seksual bisa dipicu rangsangan dari luar yang kemudian memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’).

Islam membatasi interaksi laki-laki dan perempuan kecuali di sektor yang memang membutuhkan interaksi tersebut, seperti pendidikan (sekolah), ekonomi (perdagangan, pasar) dan kesehatan (rumah sakit, klinik, dan lain-lain).

Kedua, Islam memiliki sistem kontrol sosial berupa amar makruf nahi mungkar. Saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan. Tentu semuanya dilakukan dengan cara yang baik.

Ketiga, Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak pemerkosaan berupa had zinâ, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah).

Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera (zawajir) kepada si pelaku, sekaligus menjadi penghapus dosa (jawabir) yang telah dilakukannya ketika sampai waktunya di yaumul hisab nanti.

Ketiga mekanisme Islam yang apik ini akan terlaksana dengan baik jika ada institusi yang melaksanakan syariat Islam secara kaffah yaitu Daulah Khilafah Islamiyah, bukan institusi sekuler liberal. Wallahu a’lam bish-shawwab.