-->

Politisasi Agama, Titik Nadir Pemilu Demokrasi

Oleh : Fahima Ziyadah (Aktivis Muslimah)

Penamabda.com - Kontestasi politik demokrasi di Indonesia selalu ngeri sedap untuk diikuti. Negeri dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia tak lekat dari pandangan mata setiap pemilu atau pilkada. Pencitraan sudah jadi hal yang biasa.

Agama menjadi korban politisasi. Bukan hal yang langka lagi bahkan sudah menjadi tradisi musiman setiap kampanye, narasi atau laku keagamaan menjadi salah satu strategi langganan parpol atau tokoh untuk meraih simpati massa yang mayoritas ini. Bukan hanya parpol Islam namun parpol nasionalis dan sekuler pun melakukannya. 

Menurut hasil penelitian Nathanael Gratias, justru partai politik (parpol) nasionalis dan sekuler yang lebih sering melakukan politisasi agama untuk meraih banyak suara. Hal ini dikutip dan disampaikan oleh Kepala Pusat Litbang Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama, Prof Adlin Sila saat menjadi narasumber pembahas pada rilis penelitian bertema "Beragama di Dunia Maya: Media Sosial dan Pandangan Keagamaan di Indonesia". (Republika.co.id - 16/11/2020).

Politisasi agama adalah manipulasi mengenai pemahaman dan pengetahuan keagamaan dengan menggunakan berbagai cara. 

Mantan Gubernur NTB sekaligus Ketua Umum Dewan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW), TGB Zainul Majdi angkat bicara melihat fenomena ini. TGB memaknai politisasi agama merupakan pemanfaatan agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik, atau agama jadi instrumen untuk mendapatkan hasil politik. (Antaranews.com - 19/11/2020).

Tepat sekali, inilah yang terjadi di awal rezim yang sedang berkuasa, menggaet tokoh ulama sebagai wakilnya untuk mendulang massa umat Islam khususnya hingga menimbulkan perpecahan di kalangan umat.

Pembohongan Publik

Hal ini buruk dan berbahaya, sebab menggunakan sentimen keagamaan untuk menarik simpati umat. Entah memakai atribut seperti sorban dan atau kopiyah, serta melakukan safari ke majelis keislaman dan pesantren, sowan kepada para ulama, mencitra diri seolah saleh bahkan beradu konten dalil.

Beradu dalil ini yang paling parah, dapat dilakukan oleh non Muslim sekalipun seperti halnya Joe Biden yang mengutip hadits dengan narasi "Hadist Nabi Muhammad memerintahkan siapa pun di antara kamu melihat kesalahan biarkan dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan lidahnya jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya," kata Biden. (Pikiran-rakyat.com - 7/11/2020).

Syukur-syukur tidak terpeleset lidahnya dan malah menjadi bumerang bagi dirinya. Tapi ini merupakan titik nadir demokrasi yang menghalalkan segala cara, sah saja selama dapat berkelit dari batasan regulasi. Umat dibohongi, publik dibodohi. Masih saja berharap pada demokrasi meski sudah pengalaman bahwa ketika berkuasa tak dibuktikan itu janji-janji dan tingkah lakunya berbanding 180 derajat dengan ketika kampanye dulu.

Agama hanya alat untuk meraih kepentingan kekuasaan dan dukungan umat, namun ketika sudah terwujud kepentingan yang diharap, alat disimpan atau kapan perlu dibuang. Sungguh rendah posisi agama dalam sebuah negara demokrasi. 

Islam dan Demokrasi bagai Minyak dan Air

Tak kan menyatu, sebab zat dasar pembentuknya saja sudah berbeda. Demokrasi dibentuk atas dasar aqidah sekuler yakni memisahkan agama dari kehidupan dan mengingkari peran agama dari mengaturnya. 

Kehidupan yang dijalankan hanya untuk meraih manfaat/kepentingan, begitulah refleksinya dalam pemilu/pilkada yang "saleh musiman" atau "islami dadakan". Merendahkan agama sah saja asalkan dapat berkuasa.

Islam sebaliknya, ia dibentuk atas dasar yang mulia yakni Aqidah; keimanan pada Allah SWT, malaikat-malaikatNya, Rasul-rasulNya, Kitab-kitab suciNya, Hari Kiamat, Serta Qadha dan Qadar baik buruknya dari Allah SWT. Dan dasar ini memperhatikan aspek kesadaran hubungan manusia dengan sang pencipta sehingga tak sembarangan dalam bertingkah laku hingga melenceng dari aturanNya dan senantiasa berusaha meraih ridhoNya.

Dari pemaparan diatas sudah jelas bahwa Demokrasi akan selalu berlawanan dengan Islam sebagai agama. Dalam demokrasi agama hanya sebagai alat tak lebih, sedangkan Islam mengharuskan pemeluknya menerapkan syariat secara kaffah.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu."

(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 208)

Syariat Islam Kaffah hanya dapat terealisasi dalam bingkai negara Khilafah, dan menegakkan Khilafah adalah suatu kewajiban sebagaimana kaidah Ushul mengatakan :

"Tidak sempurna suatu kewajiban tanpa adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib".

Melihat ambiguitas umat hari ini terkait agama dan politik maka disinilah urgensi parpol shahih yang bervisi menerapkan syariat kaffah dan menegakkan Khilafah sejalan dengan metode Rasulullah Saw. Parpol shahih tak akan menjadikan agama sebagai peraup suara dan mendulang massa. Hingga institusi raksasa itu tegak maka iyalah yang akan menjauhkan politisasi atas nama agama, sebaliknya menjadikan agama Islam yang notabene syariat Allah SWT sebagai dasar dalam berpolitik.