-->

Partai Politik Politisasi Agama, Wajar Dalam Demokrasi?

Oleh : Ummu Tsabit

Penamabda.com - Ketua Umum Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia, TGB Muhammad Zainul Majdi mengingatkan bahwa politisasi agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik akan berdampak buruk dan berbahaya. TGB memaknai politisasi agama merupakan pemanfaatan agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik, atau agar jadi instrumen untuk mendapatkan hasil politik. Namun, politisasi agama juga bisa baik kalau nilai-nilai mulia agama menjadi prinsip dalam berpolitik, sebagaimana yang dilakukan para pendiri bangsa ini, kata beliau (Republika, 19 Nov 20). 

Menurut hasil penelitian Nathanael Gratias, partai politik (parpol) nasionalis dan sekuler lebih sering melakukan politisasi agama untuk meraih banyak suara. Penelitian tersebut disampaikan Kepala Pusat Litbang Bimbingan Masyarakat Agama, Prof Adlin Sila saat menjadi narasumber pembahas pada acara rilis hasil penelitian Media and Religious Trend in Indonesia (Merit), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Universitas Islam Negeri (UIN), Jakarta secara daring, Senin (16/11). Beliau mengatakan, dalam artikel yang ditulis Nathanael berjudul A Price for Democrasy, dijelaskan parpol apa saja atau kandidat kepala daerah mana yang menggunakan agama dalam memobilisasi massa. Hal menarik dari hasil penelitiannnya, ternyata yang melakukan politisasi agama atau menggunakan agama sebagai alat untuk meraih suara itu tidak didominasi oleh kandidat kepala daerah dari partai Islam.

Selain itu Michael Buehler yang menerbitkan buku dengan judul The Politics of Shari’a Law: Islamist Activists and the State in Democratizing Indonesia, 2016 disebut oleh Prof Adlin mencoba mengupas munculnya peraturan daerah (Perda) syariah yang diterbitkan oleh kepala daerah. “Itu perda syariah ternyata, setelah dia meneliti secara kualitatif didominasi oleh kepala-kepala daerah yang berbasis parpol nasionalis bukan parpol Islam. Jadi lahirnya perda-perda bernuansa syariah atau agama itu malah didominasi oleh kandidat-kandidat parpol nasionalis, “ ujarnya.

Hal ini patut menjadi perhatian kaum muslim yang ingin memperjuangkan Islam lewat jalur parlemen. Di tengah mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam, tawaran untuk membumikan syariah Islam menjadi salah satu faktor pemikat partai politik untuk menarik simpati masyarakat muslim terutama partai yang memang dari awal mendeklarasikan dirinya partai Islam.Namun, di sistem yang serba sekuler materialistik ini tidak mudah mewujudkan mimpi penegakan syariah lewat jalur parlemen. Karena bukan lagi rahasia bahwa biaya politik dalam sistem demokrasi sangatlah mahal. Dan untuk menutupi ongkos politik yang mahal tersebut, kebanyakan partai politik menerima aliran dana dari pengusaha tertentu. Hal ini nantinya menjadi utang politik yang harus dibayar ketika parpol berhasil terpilih menduduki kursi kekuasaan. Alhasil banyak kebijakan yang harus menyesuaikan dengan kehendak pemilik modal bukan lagi konsisten pada cita-cita awal perjuangan.

Penerapan sistem demokrasi memang tidak semanis janjinya. Di balik tawaran kebebasan berpendapat pasca Indonesia memasuki era reformasi tahun 1998 dimana suara perjuangan penerapan syariah Islam mulai terdengar nyaring. Akan tetapi penentangan tetap ada lewat individu atau partai politik yang memang sejak awal tidak suka dengan ide tersebut. Cita-cita tersebut seakan jauh panggang dari api, pasca reformasi justru muncul berbagai Undang-undang yang semakin, liberal privatisasi BUMN, pentapan BBM sesuai harga dunia dan lain-lain.

Meski begitu, dari masa ke masa isu agama menjadi hal yang tetap menarik untuk di jajakan. Bisa jadi karena masyarakat sudah jenuh akan penerapan sistem sekuler dan kapitalisme. Hal yang paling sederhana saja terlihat bagaimana isu agama senantiasa dipakai ssebagai daya tarik partai atau calon kepala daerah selama masa kampanye ketika mereka menyatakan dirinya religius dengan segala aktivitasnya mendekati ulama jelang pilkada. Sangat di sayangkan hal ini hanya menjadi kulit yang ingin mereka tampakkan untuk meraih suara rakyat. Ketika kontestasi politik berakhir, apa yang mereka tampakkan tadi ikut memudar. 

Dari sini nampak jelas hakikat demokrasi, mengatasnamakan suara rakyat hanya dalam rangka meraup mayoritas suara agar bisa mengantarkan pada kekuasaan. Hal ini sesuatu yang wajar karna landasan lahirnya demokrasi adalah sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Hakekat politisasi agama terlihat nyata saat ini. Demokrasi jelas tidak tidak akan pernah memberikan ruang untuk islam sampai pada penerapan yang sempurna kecuali duduknya individu/tokoh pada kekuasaan. Ketika kekuasaan diraih maka selesailah perjuangan. Maka menjadi mandeklah perjuangan penerapan syariah islam tersebut. Begitulah hakekat perjuangan politik dalam demokrasi.

Karena itu perlu adanya kesadaran politik islam di tengah kaum muslim tentang perjuangan penerapan syariah islam itu sendiri. Dimana Rasulullah SAW adalah teladan utama yang harus diikuti jejaknya dalam menegakkan syariah islam. Selama 13 tahun berdakwah di Mekah, berbagai halangan dan rintangan beliau lalui dengan tetap berpegang teguh pada mabda/ideologi islam. Rayuan dan ancaman tidak menyurutkan langkah beliau sampai islam tegak di Madinah. Tawaran politik berupa kekuasaan dengan tetap berlandaskan hukum musyrik beliau tolak, pemboikotan adalah hal paling menyakitkan sebelum kaum muslim hijrah ke Madinah.

Sirah Rasul SAW bisa menjadi gambaran bagaimana seharusnya kaum muslim memperjuangkan islam, mereka tidak berhenti sampai posisi dimana islam mewujud dalam sebuah institusi negara islam di Madinah. Sebelumnya para sahabat nabi SAW dibangun kesadaran politik islamnya bahwa islam adalah agama paripurna yang harus menjadi dasar dalam kehidupan individu, masyarakat maupun negara. Politik islam disini adalah pengaturan urusan manusia dengan syariat islam. Hal ini berbeda dengan politisasi islam yang dilakukan partai politik baik nasionalis ataupun agamis yang hidup dalam sistem sekuler-demokrasi.

Demikianlah seharusnya yang menjadi landasan kaum muslim saat ini dalam hal mewujudkan cita-cita perjuangan penerapan syariah islam. Tidak cukup semangat dan kerja keras tapi yang paling penting adalah memahami secara jelas gambaran partai politik/jamaah dakwah Rasul SAW sejak awal hingga berhasil mendirikan institusi politiknya. 

Diantaranya menjadikan akidah atau keimanan kepada Allah sebagai landasan individu dan jamaahnya dalam beraktivitas. Menjadikan pemikiran dan metode dakwah Rasul satu-satunya pedoman tanpa melenceng sedikit pun. 

Rasul SAW dan sahabat juga konsisten membina umat dengan akidah dan syariah islam, menebarkan opini di tengah masyarakat tentang kebenaran islam yang beliau bawa, dan mencari dukungan dari tokoh-tokoh berpengaruh di masing-masing kaum agar mau menyerahkan kekuasaan mereka pada islam. Landasan inilah yang menjadi tolak ukur kesahihan sebuah jamaah/partai. Biasanya jamaah ini akan mendapatkan penentangan dari kalangan sekuler karena itulah alamiahnya dakwah. Partai/jamaah yang menginginkan tegaknya islam wajib menjadikan islam sebagai ideologinya. Membersihkan individu yang berjuang di dalamnya dari keinginan/syahwat kekuasaan. Mereka dituntut untuk menjadikan keridhaan Allah sebagai tujuan beraktivitas sehingga muncul sifat ikhlas dalam perjuangan. 

Mereka menyadari syariah islam tidak mungkin bisa terwujud melalui sarana demokrasi/parlemen dan memahami dengan jelas metode perjuangan Rasul SAW yaitu dengan penegakan Negara Islam. Dari sisi dalil hingga sejarah sangat mudah ditemukan garis perjuangan tersebut. Kaum muslim saat ini cuma perlu bergabung dengan partai (hizb) yang memiliki kesamaan garis perjuangan tadi. Dengan ijin Allah SWT partai inilah yang akan mengantarkan islam dan kaum musllim pada kemenangan hakiki yaitu penerapan syariat islam dalam wujud sebuah negara. Wallahualam.