-->

Hukuman Mati Bagi Koruptor Bansos Diperdebatkan, Demokrasi di Persimpangan

Oleh: Reni Fathonah

Penamabda.com - Bagai jatuh tertimpa tangga, mungkin itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.

Pandemi Covid-19 yang belum juga usai, bahkan penyebarannya cenderung fluktuatif menyebabkan laju perekonomian di negeri ini semakin lesu. Sudah tentu bantuan pemenuhan kebutuhan pokok dari pemerintah sangat dibutuhkan masyarakat khususnya yang di bawah garis kemiskinan. Namun sayangnya, bantuan sosial (bansos) dari pemerintah itu justru disalahgunakan para tikus berdasi demi kepentingan pribadi.

Demokrasi Sekedar Ilusi

KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari P Batubara (JPB) sebagai tersangka kasus suap pengadaan bansos Covid-19 dengan total Rp 17 miliar setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Jumat, 05/12/2020 dini hari bersama 4 tersangka lain. Yaitu 2 Pejabat Pembuat Komitmen Kemensos, MJS dan AW. Serta pihak swasta yang diduga sebagai pemberi suap, AIM dan HS. (Kompas.com, 06/12/2020)

Padahal dana bansos yang dikucurkan pemerintah bersumber dari APBN 2020. APBN itu berasal dari utang yang digali pemerintah untuk menambal defisit anggaran tahun ini. Disebabkan anggaran pemerintah membengkak sebesar Rp 1.039 triliun atau 6,34 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Defisit ini membebani keuangan negara hingga 10 tahun mendatang (kabar24bisnis.com, 06/12/2020). Beban negara inipun bertambah setelah dana bansos dikorupsi.

Mensos Juliari Batubara terancam hukuman mati jika KPK mampu membuktikan ia melanggar Pasal 2 UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Namun hal ini kontra dengan pendapat Institute for Criminal Justice (ICJR). Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu berpendapat bahwa seharusnya pemerintah memperbaiki sistem pengawasan dan kinerja pemerintahan khususnya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan penanganan pandemi lainnya. 

Dalam laporan kebijakan hukuman mati 2020 "Mencabut Nyawa di Masa Pandemi" yang dikeluarkan pada Oktober 2020, Erasmus mengatakan berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2019, negara-negara yang menduduki peringkat puncak atas keberhasilannya menekan angka korupsi tidak memberlakukan pidana mati sebagai pemindanaan bagi tindak pidana korupsi seperti Denmark, Selandia Baru dan Finlandia. Bahkan Singapura menduduki ranking IPK tertinggi di kawasan Asia Tenggara. (Merdeka.com, 06/12/2020)

Lalu, apakah hukuman paling tepat bagi pengemplang duit rakyat yang tengah didera berbagai kesulitan hidup dan jelas-jelas merugikan negara? Sedangkan jika hanya dihukum penjara, kemungkinan tidak akan memenuhi rasa keadilan di hati rakyat entah karena sanksinya terlalu ringan atau berkurang karena remisi dan bebas dari hukuman penjara.

Demokrasi seperti pisau bermata dua, tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Tegas memberikan sankai bagi rakyat jelata namun berbelit-belit, bahkan tak sepadan menghukum para pejabat negara.

Inilah aturan yang muncul akibat kebenaran disandarkan pada kedaulatan rakyat. Sehingga tidak ada patokan baku, karena semuanya ditentukan oleh kepentingan semata.

Islam Cegah Budaya Suap

Dalam Islam, negara wajib menjaga akidah setiap individu. Pada diri setiap orang harus ditanamkan kuat bahwa mereka adalah mahluk ciptaan Allah yang membutuhkan pedoman hidup terbaik dalam mengarungi kehidupan.

Pedoman terbaik tidak muncul dari akal manusia yang lemah, namun dari Allah SWT Pencipta sekaligus Pengatur manusia dan alam semesta. Tindak-tanduknya pun harus bersesuaian dengan seluruh aturan-Nya.

Sehingga ketika ditugasi menjadi pejabat negara untuk mengurusi kepentingan rakyat, perbuatannya didasarkan pada hukum syara'. Dengan ridha Allah sebagai satu-satunya tujuan.

Negara pun bertindak tegas pada pelaku suap, korupsi atau penerima gratifikasi dengan diberi sanksi penjara hingga hukuman mati sebagai ta'zir sesuai keputusan qadhi.

Aturan ini hanya mampu diterapkan ketika Islam menjadi asas kehidupan baik dalam skup individu, masyarakat maupun negara.

Wallahu'alam bishawab