-->

Bara Utang Negara

Penamabda.com - Lirik lagu “Gali lobang tutup lobang” yang dipopulerkan oleh raja dangdut, Rhoma Irama nampaknya sangat cocok untuk menggambarkan bagaimana kondisi utang negara hari ini yang kian hari kian membara. 

Utang Indonesia bertambah lagi. Bahkan jumlahnya cukup besar dalam waktu yang relatif berdekatan atau tak sampai dua minggu. Totalnya utang baru Indonesia yakni bertambah sebesar lebih dari Rp 24,5 triliun. Utang baru tersebut merupakan kategori pinjaman bilateral. Rincian utang luar negeri itu berasal dari Australia sebesar Rp 15,45 triliun dan utang bilateral dari Jerman sebesar Rp 9,1 triliun. Pemerintah mengklaim, penarikan utang baru dari Jerman dan Australia dilakukan untuk mendukung berbagai kegiatan penanggulangan pandemi Covid-19. (kompas.tv, 21/11/2020)

Inilah potret buram utang negeri yang berjuluk  jamrud katulistiwa ini. Dengan alasan pandemi  covid-19, lagi-lagi menjadikan pemerintah memaksa berhutang (kembali) yang akhirnya membuat lonjakan utang negara semakin menggunung. Bagaikan pil pahit yang tidak dapat dielakkan lagi, masyarakatpun pada akhirnya akan dipaksa untuk menanggung konsekuensi dibalik utang yang membara ini. Pemangkasan subsidi, beban hidup yang semakin berat, kenaikan pajak hingga resesi ekonomi. 

Bara utang yang mengganas ini tak selayaknya menjadikan pemerintah berbangga diri. Semestinya ini menjadikan bahan intropeksi gagalnya pemerintah mengelola potensi sumber daya alam yang begitu melimpah. Rasanya bukanlah sebuah rahasia umum lagi bahwa negeri ini adalah negeri kaya, bahkan ada penggalan lirik lagu yang berbunyi “orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”.

 Mengutip dari Kemdikbud RI bahwa potensi Sumber Daya Alam Indonesia meliputi hutan, lautan, minyak bumi, gas alam dan batu bara. Sebuah potensi dan anugrah yang luar biasa dari Allah SWT yang selayaknya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Bukan sebaliknya, seperti yang hari ini terjadi kekayaan alam dieksploitasi oleh asing dan negara bertumpu pada ledakan hutang, hingga akhirnya kesengsaran yang semakin menghimpit yang dirasakan oleh masyarakat. Inilah ketika negara menerapkan sistem kapitalisme sekularisme yang menjadikan utang dan pajak menjadi sumber pendapatan utamanya.

 Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna memiliki pandangan tersendiri dalam memandang utang luar negeri. Dalam kacamatanya utang ini dapat menciderai kedaulatan negara itu sendiri. Sudah banyak terjadi kasus di dunia bahwa negara peminjam atau yang berhutang akan didekte perekonomiannya oleh pihak yang memberikan pinjaman. Disamping itu bunga pinjaman tidak akan pernah lepas membayangi. Padahal sudah jelas hal ini telah dilarang dalam Islam, sebagaimana firman Allah yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Q.S. Al-Baqarah: 278-279)

Disamping itu utang riba akan  mendatangkan azab yang pedih, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Jika zina dan riba telah tersebar luas di satu negeri, sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan azab Allah bagi diri mereka sendiri (HR Al-Hakim, Al Baihaqi dan Ath-Thabrani).

Jikalau tidak berhutang, darimana negara mendapatkan dana untuk memenuhi kebutuhan pokok individu dan masyarakat? Secara garis besar sumber pemasukan negara yang dikumpulkan oleh negara Islam disini adalah baitul mal meliputi tiga sumber, yaitu

  1. Pengelolaan kepemilikan umum (jika semua potensi SDA milik umum dikelola negara, pemerintah tidak perlu membebani rakyat dengan pajak)
  2. Pengelolaan fa’i, kharaj, jizyah, ghanimah , pajak (khusus pajak hanya dipungut dalam keadaan sangat darurat)
  3. Zakat affa

Dengan sumber-sumber pendapatan seprerti ini, negara akan mampu meriayah dengan baik rakyatnya. Dan ini hanya bisa terjadi ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam institusi Khilafah.

Wallahu a’lam bisshowab

Oleh: Vivi Vinuwi (tinggal di Malang)