-->

Banjir Berulang di Indonesia Haruskah dianggap Biasa?

Oleh : Emmy Emmalya (Pemerhati Kebijakan Publik)

Di awal bulan desember, media sosial di ramaikan dengan tagar “Pray for Medan”. Bencana banjir yang menimpa Medan, Sumatera Utara, menyebabkan ribuan rumah terendam. Disinyalir banjir ini berasal dari luapan Sungai Deli. Jumat (kompas, 4/12/2020).

Permasalahan banjir sebenarnya tidak hanya terjadi di Medan saja tapi sekarang hampir merata di berbagai wilayah Indonesia, apalagi saat ini intensitas curah hujan di Indonesia sedang dalam keadaan tinggi. Tapi banjir di medan saat ini dampaknya sangat parah. 

Apabila kita telusuri, Kota Medan ini merupakan salah satu wilayah yang hampir setiap tahunnya mengalami bencana banjir dan persoalan banjir di Kota Medan sudah menjadi penyakit kronis seperti halnya Jakarta.

Masalah banjir di kota Medan tidak terlepas dari kondisi geografis-nya yang dilalui sejumlah sungai besar dan sungai kecil dan beberapa anak sungai lainnya. Sungai besar yang membelah kota Medan yaitu, Sungai Belawan, Sungai Deli, Sungai Percut dan Sungai Serdang, sedangkan Sungai Kecil Yaitu Sungai Batuan, Sungai Badera dan Sungai Kera. (http://digilib.unimed.ac.id/17845/11/UNIMED-Undergraduate-).

Dan penyebab banjir di Kota Medan relatif sama dengan Jakarta meskipun dengan intensitas berbeda, yaitu: pertama, curah hujan tinggi, kedua, jumlah dan kepadatan penduduk tinggi, ketiga, pertumbuhan kota yang tidak terkendali, tidak sesuai tata ruang daerah, dan tidak memiliki pengetahuan lingkungan berakibat berkurangnya daerah resapan dan penampungan air, keempat,  drainase yang tidak mumpuni akibat sistem drainase yang kurang tepat, minimnya prasarana drainase, dan minimnya pemeliharaan, kelima, tidak ada kejelasan status dan fungsi saluran ( http://digilib.unimed.ac.id/17845/11/UNIMED-Undergraduate )

Dengan kondisi Medan yang seperti itu, maka diperlukan adanya pemetaan daerah-daerah yang kritis banjir. Dan pemerintah perlu segera melakukan itu agar dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk menanggulanginya. 

Banjir Bukan Sekedar Masalah Tehnis

Menurut Peneliti Utama Geospatial Information Agency, Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar, Banjir bukan sekedar fenomena alam.  Karena Fenomena alamnya adalah hujan. Tetapi hujan belaka tidak otomatis menyebabkan banjir.  

Oleh sebab itu, supaya tidak banjir, dibutuhkan teknologi yang dapat dikembangkan. Yang pertama kali adalah bagaimana mengendalikan peresapan dan pembuangan air. 

( https://adoc.pub/fahmi-amhar-peneliti-utama-geospatial-information-agency.html) 

Teknologi peresapan yang terbaik adalah dengan menanam pohon sebanyak mungkin pada lahan-lahan kosong, terutama di daerah hulu.  Hingga saat ini belum ada teknologi mekanis, termasuk sumur resapan, yang lebih baik dari keberadaan pohon. Kedua adalah pembuangan air.  Air  yang mengalir di permukaan harus dibuang ke laut.

(https://adoc.pub/fahmi-amhar-peneliti-utama-geospatial-information-agency.html) 

Untuk itu, ada beberapa teknologi untuk mengatasi hal tersebut yaitu, pertama, dengan membuat setu (danau penampungan). Kedua, normalisasi sungai dan sodetan.  Normalisasi adalah pelurusan aliran sungai, supaya air lebih cepat ke laut, sehingga genangan lebih cepat teratasi dan tidak membentuk banjir.

Sodetan adalah menghubungkan dua sungai atau lebih dengan kanal buatan, untuk mendistribusikan debit berlebih di satu sungai ke sungai yang lain. Ketiga, Pompanisasi, merupakan upaya pembuangan modern, perlu adanya energi ekstra. Keempat, Tanggul, yang berfungsi untuk membendung air, agar air sungai tidak meluap ke sekitarnya.

(https://adoc.pub/fahmi-amhar-peneliti-utama-geospatial-information-agency.html) 

Kemudian, daerah hulu dibiarkan tetap menjadi hutan lindung, tidak beralih fungsi menjadi perkebunan sayuran, apalagi menjadi vila dan lapangan golf.

Penguasa harus tegas menjaga tata ruang ini, dan  tidak mudah ditekan oleh rakyat konstituennya yang membuat kebun sayur ataupun tergiur gratifikasi pengusaha pariwisata.

Lalu di hilir, semestinya bantaran sungai dibiarkan kosong agar tanggul sungai lebih mudah untuk dirawat atau lebih mudah untuk mengeruk sungai sehingga tidak terjadi  pendangkalan secara terus menerus. Maka dengan ini lagi-lagi penguasa harus tegas menindak sindikat yang terus memanfaatkan kemiskinan penghuni bantaran sungai.

(https://www.muslimahnews.com/2020/01/06/kebijakan-khilafah-mengatasi-banjir). 

Karena pada hakekatnya pelanggaran tata ruang baik di hulu maupun hilir terutama disebabkan oleh sistem ekonomi kapitalisme, sehingga nyaris semua permasalahan diserahkan kepada pasar.

Oleh karena itu harus ada sistem non teknis yang ikut dibenahi.

Karena perbaikan sistem teknis seberapa pun tidak akan pernah cukup tanpa dilakukan perbaikan di sistem non tehnis.

Dan yang non teknis ini ternyata berakar pada sesuatu yang ideologis, yaitu ekonomi yang terlalu diserahkan pada permainan pasar (kapitalis), dan kebijakan publik yang terlalu diserahkan kepada demokrasi.

Inilah akar permasalahan utama mengapa bencana banjir di Indonesia tidak pernah berakhir karena ternyata tata kelola negara kita diatur berdasarkan sistem Demokrasi Kapitalis yang selalu memandang sesuatu dari materi alias manfaat semata sehingga dalam urusan penanganan banjir pun tidak lepas dari kebijakan ekonomi negara yang selalu berorintasi pada keuntungan tanpa memperdulikan dampak yang akan terjadi.

Cara Islam Menanggulangi Banjir

Berbeda halnya dengan Islam. Dalam Islam, negara Islam yaitu Khilafah Islamiyah akan berusaha semaksimal mungkin untuk melindungi rakyatnya dari bencana alam.

Dalam menghadapi bencana banjir, khilafah juga akan membuat kebijakan yang efektif dan efisien baik sebelum, ketika dan pasca terjadinya banjir.

Berikut beberapa kebijakan khilafah ketika bencana banjir melanda ;

Pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletser, rob, dan lainnya, Khilafah akan menempuh upaya-upaya sebagai berikut:

Membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya. Seperti bendungan-bendungan di Provinsi Khuzestan.

(https://www.muslimahnews.com/2020/01/06/kebijakan-khilafah-mengatasi-banjir) 

Lalu di dekat Kota Madinah Munawarah, terdapat bendungan yang bernama Qusaybah. Bendungan ini memiliki kedalaman 30 meter dan panjang 205 meter. Bendungan ini dibangun untuk mengatasi banjir di Kota Madinah. (https://www.muslimahnews.com/2020/01/06/kebijakan-khilafah-mengatasi-banjir) 

Selain membuat bendungan untuk menampung kelebihan air yang turun dengan intensitas tinggi. 

Khilafah Islam juga akan membuat kebijakan berupa syarat-syarat dalam membangun sebuah bangunan yaitu harus memperhatikan faktor drainasenya, daerah resapan airnya dan topografi daerahnya. Ini untuk mengantisipasi terjadinya genangan air yang nanti akan berpotensi banjir.

Selain itu khilafah juga akan mencabut izin pendirian bangunan apabila melanggar dalam syarat-syarat yang sudah ditentukan. Lalu khilafah akan menindak tegas.

Karena khilafah Islam sebuah negara yang mandiri baik dari ekonomi maupun dari intervensi negara asing maka khilafah akan menolak setiap kerjasama yang ditawarkan asing bila berkaitan dengan eksploitasi SDA negara Islam.

Demikian cara Khilafah Islam dalam menangani bencana banjir, sehingga banjir tidak akan berulang setiap tahun. Wallahu’alam bishowab.