-->

Akankah Persoalan Perempuan Terselesaikan Dengan Hadirnya Pemimpin Perempuan?

Oleh : Siti Khadijah 

Penamabda.com - Antusiasme perempuan dalam konstelasi politik terlihat pada penyelenggaraan pemilihan kepada daerah (pilkada) tahun ini. Presidium Kaukus Perempuan Parlemen RI (KPPRI) Dewi Asmara mengatakan, tingkat partisipasi calon kepala daerah perempuan di Pilkada 2020 meningkat 10,6 persen dari Pilkada 2018. Dari 1.486 calon Pilkada yang berpartisipasi, tercatat ada 157 calon perempuan, 5 orang maju dalam Pilgub, 125 orang maju dalam Pilbup, dan 25 orang maju dalam Pilwalkot. (Detik.com/27/09/2020) 

Keterwakilan perempuan di kancah politik sudah mendapat dukungan PBB lewat konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW). Konvensi ini berlaku sejak 1981 dan telah diratifikasi 20 negara, isinya antara lain menyebutkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki derajat yang sama untuk menikmati hak sipil dan politiknya.

"Perempuan harus diwakili karena keterwakilan perempuan dalam dunia politik membuat berbagai masalah kemanusiaan terungkap, apalagi saat ini perempuan semakin berkapasitas dan setara dengan laki-laki," kata Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Prof Darmayanti Lubis, pada 2019. (Kompas.com/28/03//2019)

Pemaparan-pemaparan di atas sadar atau tidak menggiring logika kita untuk menerima dan mendukungnya sebagai sebuah kebenaran yang memang harus diperjuangkan. Namun benarkah demikian? Apakah keterpurukan yang dialami perempuan hari ini disebabkan karena kurangnya pemimpin perempuan? Apakah dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada perempuan untuk berkiprah di tengah publik serta merta akan mengangkat harkat dan derajatnya? Benarkah kemuliaan perempuan itu dilihat dari harta dan jabatan? 

Sistem Kapitalis-Sekuler lah penyebab keterpurukan perempuan.

Faktanya, beberapa negara yang angka keterwakilan perempuan di pemerintahan tinggi, tidak membuat nasib perempuan di negara tersebut menjadi lebih baik. Dalam bukunya Mengkritik Feminisme, dr. Nazreeen Nawaz memaparkan di Rwanda, 56% anggota parlemen adalah perempuan, di Afrika Selatan, 42% dari perwakilan Majelis Nasional adalah perempuan, namun, kasus kemiskinan, kekerasan dan pemerkosaan justru mendominasi. Mozambik, Tanzania dan Uganda adalah di antara 20 negara teratas dengan jumlah keterwakilan perempuan tinggi, namun tingkat kemiskinan, penindasan pada perempuan sangat menyedihkan.

Bahkan ketika diperintah oleh perdana menteri atau presiden perempuan, seperti di India, Pakistan, Bangladesh, Indonesia dan Turki, kondisi kehidupan perempuan biasa (bukan elit) tidaklah membaik. Di bawah Benazir Bhutto, bukan perempuan Pakistan yang diuntungkan, melainkan Benazir sendiri dan keluarganya yang berhasil menngumpulkan aset $1,5 miliar kekayaan negara selama menjabat. (Mengkritik Feminisme, hal: 194)

Munculnya pemimpin perempuan yang menjadi pemegang kekuasaan di pemerintahan belum berarti impian perempuan untuk menjadi setara dengan laki-laki di berbagai dinamika kehidupan telah tercapai. Sejarah mengenal Margaret Thatcher kemudian bermunculan sederet politisi perempuan ternama, sebut saja Theresa May, Angela Merkel, Hillary Clinton dan di dalam negeri sendiri kita pernah memiliki Megawati sebagai presiden.

Kemunculan kandidat perempuan dapat menjadi model panutan dan inspirasi bagi perempuan lain. Namun, efeknya bersifat euforia sesaat dan memudar dari waktu ke waktu.

Jadi, tak bisa dibantah lagi, bahwa semua keterpurukan, termasuk pada perempuan yang terjadi hari ini bukan karena kurangnya pemimpin perempuan. Tetapi karena dampak sistemik. Penindasan, eksploitasi dan kemiskinan yang dialami kaum perempuan di seluruh dunia, terjadi di bawah sistem sekulerisme. Sekulerisme melahirkan aturan-aturan yang terbukti mendiskreditkan perempuan dalam segala aspek kehidupan.

Sekularisme menjebak kita menjadikan logika (akal) manusia sebagai standar kebenaran. Manusia merasa mampu membuat aturan hidupnya sendiri. Padahal sebagai manusia yang serba lemah dan terbatas, pastilah hasil pikirnya pun jauh dari sempurna. Aturannya bersifat relatif. Dampaknya muncullah konflik kepentingan, perselisihan dan perpecahan, mulai dari ranah individu, keluarga, masyarakat hingga negara. 

Muslimah Berpolitik Wujud Ketaatan, Bukan Demi Kesetaraan

Siapa pun yang mempelajari syariat Islam secara mendalam akan mendapati bahwa Islam mengatur peran perempuan dan laki-laki secara sempurna. Aktivitas keduanya diatur dengan seperangkat hukum yang terkumpul dalam “al ahkam al khamsah” (lima hukum perbuatan manusia: Wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram). Semua perbuatan manusia tidak terlepas dari salah satu hukum yang lima tersebut. Tidak ada satu pun amal manusia yang tidak ada status hukumnya.

Demikian juga ketika perempuan muslimah memainkan peran politiknya, dia tidak boleh abai terhadap status hukum masing-masing aktivitas yang akan dijalankannya. Dalam implementasinya pada kehidupan nyata harus kembali kepada derajat hukum perbuatan tersebut.

Peran perempuan dalam melakukan muhasabah atau koreksi terhadap penguasa ini bukan sekadar teori, namun benar-benar telah terjadi dalam kehidupan masyarakat Islam.

Sebagaimana pernah terjadi di masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khaththab, ketika seorang perempuan memprotes kebijakan Umar dalam menetapkan jumlah mahar karena bertentangan dengan firman Allah SWT: “Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak.” (TQS An-Nisaa’ [4]: 20).

Khaulah binti Hakim bin Tsa’labah dengan berani menyampaikan kritiknya terhadap Khalifah. Kemudian Umar menyadari kekeliruannya dan segera mencabut keputusannya, ia berkata, “Perempuan ini benar dan Umar salah.”

Perbedaan Peran dalam Islam tidak Menunjukkan Tinggi Rendahnya Derajat Seseorang

Allah SWT, Pembuat hukum untuk mengatur kehidupan manusia. Dia Maha Mengetahui aturan seperti apa yang terbaik untuk kemaslahatan dan kesejahteraan manusia. Adanya perbedaan peran di antara laki-laki dan perempuan ditetapkan Allah SWT karena sifat ‘Alim-Nya demi tercapainya keharmonisan kehidupan dan menjauhkan manusia dari kesulitan dan kerusakan. Karenanya, jika ada pelanggaran terhadap ketetapan tersebut pasti akan ada fasad dan kekacauan.

Dalam Islam status kemuliaan laki-laki dan perempuan bukan ditentukan oleh perannya. Ada hikmah di balik perbedaan peran yang diberikan Allah SWT pada masing-masing yakni supaya mereka saling melengkapi dan bekerja sama demi terwujudnya kemaslahatan manusia. Karenanya, sikap yang harus ditunjukkan seorang muslim adalah tunduk patuh dan taat total pada ketetapan syariat tanpa mempermasalahkan dan mempertentangkannya. Wallahu A’lam