-->

Ilusi Pelarangan Minol dalam Demokrasi Bagaimana Pandangan Islam?


Penamabda.com - Lagi-lagi aturan dalam demokrasi menuai kontroversi. Setelah mengendap lama dan menjadi polemik, Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (minol) kembali mencuat. Ketiga fraksi dalam DPR yakni PPP, PKS, dan Partai Gerindra sepakat mengusulkan agar RUU ini kembali dibahas. Illiza dari fraksi PPP mengatakan beleid ini diperlukan untuk menyelamatkan generasi bangsa dari bahaya penyalahgunaan alkohol (tempo.com, 15/11/2020).

Namun berbagai kritikan muncul di seantero Tanah Air terkait RUU ini. Mulai dari organisasi masyarakat sipil hingga produsen minuman beralkohol. Mereka menganggap, jika RUU ini disahkan berarti tidak memperhatikan keberagaman di Indonesia dan akan membunuh pariwisata. Ketua Asosiasi Pengusaha Minuman Beralkohol Indonesia (APBMI), Stefanus mengatakan minuman beralkohol telah menyumbangkan sekitar Rp7,3 triliun pada penerimaan cukai negara tahun 2019. Selain itu, DKI Jakarta yang memiliki saham perusahaan produsen bir, PT Delta Djakarta, mendapatkan lebih dari Rp100 miliar dari deviden perusahaan itu (BBC.com, 13/11/2020).

Pembahasan larangan minol bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya RUU ini pernah diusung oleh DPR pada tahun 2009, tapi tak disahkan hingga dibahas lagi pada periode 2014 dan 2019. Namun pembahasannya mentok lantaran perbedaan pendapat DPR dan pemerintah.

Tidak menutup kemungkinan pembahasan kali ini pun akan mengalami hal yang sama. Terjadi tarik ulur dalam penggodokannya. Ketika banyak pihak yang keberatan dan merasa dirugikan, jalan tengahlah solusinya. Sehingga bukan lagi melarang  mengonsumsi, memproduksi, atau mengedarkan melainkan sebatas pengaturan atau regulasi. Siapa yang boleh mengonsumsi, siapa yang boleh memproduksi, dan siapa yang boleh mengedarkan. 

Itulah demokrasi. Ketika pembuatan hukum diserahkan kepada akal manusia, bisa dipastikan akan dipengaruhi hawa nafsunya dan cenderung sesuai dengan manfaat, untung dan rugi. Ketika ada manfaatnya, memberikan keuntungan maka akan diperjuangkan meski melanggar aturan agamanya. 

Anehnya lagi, katanya demokrasi ini menjunjung tinggi suara terbanyak, namun kenapa di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim malah masih mempertentangkan terkait aturan ini? 

Padahal minuman beralkohol ini sudah jelas disebutkan keharamannya didalam Al-qur'an dan hadist. Jadi tidak boleh ada pertentangan didalamnya. Pun seharusnya dengan Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, tidak perlu terjadi kontroversi terkait hal ini. 

Sebagaimana Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Sungguh minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kalian beruntung. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” [QS. Al-Maidah : 90-91].

Beberapa hadist juga menyebutkan, “Setiap yang memabukkan adalah haram. Apa saja yang banyaknya membuat mabuk, maka sedikitnya pun adalah haram (HR Ahmad).

Larangan ini tidak hanya ditujukan bagi yang mengkonsumsi/meminumnya saja, tetapi mencakup seluruh aktivitas yang berkaitan dengan khamr. Diantaranya pemerasnya, yang minta diperaskan, peminumnya, pengantarnya, yang minta diantarkan khamr, penuangnya,  penjualnya, yang menikmati harganya, pembelinya, yang minta dibelikan (HR at-Tirmidzi).

Dengan demikian, Islam melarang keras kaumnya untuk mengonsumsi beserta aktivitas yang berkaitan dengan minuman beralkohol ini. Kerasnya pelarangan minol dalam syariat tidak disertai dengan alasan kenapa minol dilarang, tidak dipandang dari segi keuntungan dan asas manfaat. Namun dikarenakan dalam perkara makanan dan minuman memang tidak ada illat hukum (alasan) kenapa suatu makanan atau minuman tersebut dilarang. Dalam hal ini manusia harus tunduk patuh terhadap aturan yang telah ditetapkanNya. Ini sebagai bukti ketaatan kepada Sang Khaliq.

Disamping itu, Islam memberikan sanksi bagi pelaku pelanggaran. Yakni pelakunya dikenai cambukan sebagaimana sabda Rasulullah, “Orang yang minum khamar maka cambuklah.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)

Terkait jumlah cambukannya, para ulama memiliki beberapa perbedaan. Menurut jumhur fuqoha (kebanyakan ahli fikih), mereka sepakat jumlah cambukannya sebanyak 80 kali. Ini berdasarkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib ra, “Rasulullah SAW mencambuk peminum khamr sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunnah. Tapi yang ini (80 kali) lebih aku sukai.” (HR. Muslim).

Menurut Imam Syafi’i cukup dicambuk sebanyak 40 kali saja. Ini didasarkan pada riwayat, “Dari Anas ra. berkata bahwa Rasulullah SAW mencambuk kasus minum khamar dengan pelepah dan sandal sebanyak 40 kali.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmizy, Abu Daud). Jadi dengan adanya sanksi ini, Islam mampu menjaga kemurnian akidah kaum muslim. 

Lantas bagaimana dengan non Muslim yang mengkonsumsi minol? Bagi mereka tetap diperbolehkan. Akan tetapi, peredarannya terbatas di kalangan mereka saja, bukan untuk disebarluaskan atau dijual belikan secara umum dan terbuka seperti saat ini. Pada masa Rasulullah, di Yaman banyak orang Nasrani, mereka meminum khamr, dan terbukti boleh meminumnya. Juga pada saat para shahabat menaklukkan berbagai negeri, mereka tidak melarang non muslim untuk minum khamr. (Mafahim Islamiyah, Hafidz Abdurrahman, hal. 174).

Begitu adilnya Islam memperlakukan manusia. Tidak hanya adil untuk muslim saja, tetapi juga adil dan ramah terhadap non muslim. 

Sudah saatnya kaum Muslimin bersikap tegas. Menjadikan standar halal-haram dalam setiap perbuatannya, bukan yang lain. Dan sejatinya ketegasan hukum seperti di atas hanya bisa dilaksanakan oleh Negara. Maka kehadiran negara yang sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah menjadi sebuah keharusan agar penerapan hukum yang tegas sesuai syariatNya mampu dilaksanakan. 

Wallahu a'lam bishshowab

Oleh: Neneng Sri Wahyuningsih (Ibu Rumah Tangga tinggal di Jepang)