-->

Darurat Kekerasan Anak, Bagaimana Menyikapinya?

Oleh : Novia Roziah (Member Revowriter)

Penamabda.com Fantastis! Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendapat ribuan laporan terkait kasus kekerasan terhadap anak.

Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA, Nahar mengatakan, laporan itu diperoleh dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) yang dikumpulkan sejak 1 Januari hingga 31 Juli 2020. Totalnya ada 4.116 kasus.

Namun ia menyebut angkanya kian meningkat per 18 Agustus 2020.

Secara detail, 4.116 kasus yang diterima Simfoni PPA itu terdiri dari 68 korban eksploitasi, 73 korban TPPO, 346 korban penelantaran, 979 korban kekerasan psikis, 1.111 korban kekerasan fisik dan 2.556 korban kekerasan seksual.suara.com

Di beberapa wilayah seperti Bantul,  Jawa Tengah. kasus kekerasan di lingkungan keluarga juga tampak memprihatinkan. Menurut Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Bantul Muhamad Zainul Zain, pada 2019 jumlah laporan yang masuk kepada PPA tercatat ada 155 kasus. Sedangkan di 2020, yang baru dihitung sampai dengan Oktober kemarin, jumlah kasus sudah menembus angka 120 kasus terlapor.

Hingga 2 November 2020 Data Sistem Informasi Online menyebutkan angka kekerasan ibu dan anak di Jawa Timur tercatat ada 1.358 kasus. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Jawa Timur Andriyanto mengungkapkan masih tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2020. Republika.co.id

Nahar menambahkan kalau menurut Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2018, dua dari tiga anak Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik.

“Ini tentu kondisi yang sangat memprihatinkan. Perlu ada upaya dan tindakan yang nyata dalam mengatasi persoalan ini," kata Zainul saat dikonfirmasi SuaraJogja.id,Minggu (8/11/2020)

Mengapa kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat?

Kasus kekerasan pada anak menjadi persoalan yang tak kunjung usai, berbagai upaya baik menerapkan UU perlindungan anak, sistem pelaporan dan pengaduan kekerasan  belum berhasil mengatasi persoalan ini, yang ada justru jumlahnya terus meningkat. Terutama di masa pandemi ini, banyak temuan kasus bahwa tindak kekerasan itu dilakukan oleh keluarga terdekat anak. 

Meski perangkat hukum , seperti UU perlindungan Anak telah ada sejak lama, namun Implementasi UU perindungan anak nomor  23 tahun 2002  ini ternyata belum efektif  untuk menekan kasus kekerasan terhadap anak. 

Hal ini terjadi karena solusi yang diambil pemerintah merupakan solusi tambal sulam yang tidak menyentuh akar persoalan.

Berbagai pemicu tindak kekerasan tidak berupaya di selesaikan. Karena, disadari atau tidak kekerasan terhadap anak ini cenderung terjadi karena adanya efek domino yang berujung pada tindak kekerasan pada anak. 

Tidak bisa dipungkiri diterapkannya sistem kapitalisme di negeri ini, yang membuat jurang kesenjangan semakin lebar. Kekayaan negeri ini hanya dinikmati oleh segelintir orang, sementara mayoitas masyarakat hidup dibawah bayang-bayang himpitan ekonomi.

Himpitan ekonomi ini berefek pada sulitnya masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga memicu stress bahkan depresi. Anak sebagai anggota terlemah dalam keluarga seringkali menjadi korban, baik kekerasan, maupun ekspoitasi terhadap hak anak.

Terutama sejak Corona mewabah. Inkonsistensi pemerintah dalam menangani wabah juga berdampak pada pemenuhan hajat hidup masyarakatnya. Banyak karyawan yang di PHK, usaha kecil yang gulung tikar dan lain sebagainya.

Sehingga hal ini merembet pada bidang-bidang yang lainnya termasuk ketahanan keluarga dan kehidupan anak.

Hal ini menunjukkan pada kita, bahwa solusi sekular kapitalistik tidak mampu menyelesaikan persoalan kekerasan terhadap anak. 

Banyaknya kasus yang terkuak, hanyalah sebagian kecil efek dari diterapkannya system sekularisme dan kapitalsme di Indonesia. 

Kerusakan moral remaja, kekerasan pada perempuan itu juga merupakan imbas sistem sekular, sebuah sitem hidup yang menjauhkan agama dari kehidupan.

Posisi Anak dalam Islam

Berbeda dengan sistem islam. Dalam sistem islam, kekerasan terhadap anak hampir tidak pernah terjadi. Hal ini disebabkan karena pandangan islam tentang anak yang begitu luar biasa. Bagi orangtua, anak merupakan amanah dari sang pencipta yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya.

Anak merupakan investasi akhirat bagi kedua orang tuanya. Maka, melakukan kekerasan pada anak hingga mencabut kebahagian dan kehidupan anak meruapakan tindakan yang sangat tercela dalam islam.

Selain posisi anak sebagai amanah dari Allah, dalam sistem islam anak dipandang sebagai anggota masyarakat yang harus dipenuhi hak-haknya sesuai syariat, tanpa melakukan eksploitasi pada mereka.

Islam mengembalikan peran ibu dan ayah sebagaimana mestinya. Sang ibu dimudahkan menjalankan perannya sebagai ummun warabbatul bait, sang ayah dimudahkan dalam mencari nafkah. sehingga, segala kebutuhan anak dapat terpenuhi dengan makruf dan perkembangannya terjamin dengan baik. Jika ada ketidak idealan dalam sebuah keluarga maka menjadi tanggung jawab Negara untuk mengurus anak-anak hingga terpenuhi segala kebutuhannya.

Tengok saja sosok Imam Syafii, yang hidup di era khilafahan abbasiyah. Sejak berumur 7 tahun telah mengahafalkan alquran dan ribuan hadits, dibelakangnya berdiri orang tua yang sholih. Yang membimbing syafi’I kecil untuk menautkan hati dan hidupnya untuk Allah dan agamaNya. 

Karyanya bisa kita nikmati hingga kini. Semua tidak terlepas dari peran orang tua, masyarakat yang mendukung dan Negara yang memfasilitasi.

Sebagai sebuah negeri yang penduduknya mayoritas muslim, maka menjadi hal yang wajar jika masyarakatnya ingin agar kehidupannya diatur dengan sistem islam. Karena Sistem islam satu-satunya yang mampu mengembalikan fungsi penguasa, masyarakat dan keluarga untuk membentuk anak-anak hebat, generasi cemerlang penerus peradaban islam. Allahualam bisshowab