-->

Sang Kapal yang Kesepian

Oleh : Nida Alyssya Putri (Pelajar Kelas 1X, SMA Khoiru Ummah Bogor) 

Penamabda.com - Suasananya sunyi saat itu. Kapal itu melaju sendiri, tanpa seorang nakhoda. Berlayar lepas, mengapung di atas ombak yang masih tenang. Mengikuti ke mana pun angin berhembus membawanya. Tak jarang terbuai dengan kerlip bintang di kala malam. Membuatnya lebih jauh berlayar.

Semakin jauh berlayar, semakin ia memiliki banyak teman. Ikan di lautan menjelma menjadi kawannya. Begitu pula dengan makhluk laut lainnya. Tetapi seakan bukan itu yang ia inginkan. Terkadang ia tetap merasa hampa, merasa kesepian, walaupun bingar menyelimuti dirinya. 

Kapal itu menginginkan satu yang peduli. Yang selalu dapat memahami. Yang tak pernah menuntut agar kapal tetap berlayar meski mesinnya sakit. Yang selalu mengisi bahan bakarnya sebelum habis. Yang mengarahkannya pada satu tujuan yang pasti. 

Semua itu terlihat baik-baik saja di balik balutan baju besinya, tetapi mesinnya lelah. Ia butuh istirahat. Ia butuh tempat berlabuh. Secepatnya.

Suasana sunyi kali ini mampu membuatnya terbuai mengingat masa lalunya. Masa ketika ia merasa senang dan seolah tidak ada kata ‘sepi’ dalam hidupnya. Masa ketika semesta sepertinya berpihak padanya dan tak akan mengambil kebahagiaannya. Tapi nyatanya tidak, entah kapal itu yang terbang terlalu tinggi dengan harapannya, atau semstanya yang berkhianat. Pikirannya melambung, mengajaknya pada kejadian pertama kali ia bertemu dengan nakhodanya.

Hari itu tergambar dengan jelas. Hari ketika sang kapal ingin menikmati indahnya senja di lautan. Hal yang biasa ia lakukan tanpa ditemani siapa pun. Tetapi, kali ini beda. Tanpa aba-aba, seorang nakhoda datang menghampirinya, menawarkannya untuk menikmati senja itu bersama. Tanpa berpikir panjang, sang kapal meng-iyakan ajakan tersebut.

Hari-hari berikutnya sang nakhoda terus menemaninya. Meramaikan waktu senja dengan cerita yang ia bawakan dari pengalamannya pada setiap pelabuhan. Seakan mengajakku untuk ikut merasakan cerita-cerita seru masa lalunya. Sehingga kalimat “Kamu mau menjadi pemeran pembantu dalam petualanganku?" menjadi penutup ceritanya hari itu.

Tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk membuat ucapannya sore itu menjadi nyata. Malam ini sang nakhoda sudah terlihat lengkap dengan peralatannya untuk memulai petualangan. Membuat sang kapal yang biasanya hanya diam menatap langit yang berubah warna, sekarang siap untuk kembali berlayar. Berpindah pelabuhan, memulai petualangan baru bersama sang nakhoda.

Semua berjalan sesuai dengan rencana yang telah mereka buat. Langit dan lautan juga terlihat sangat mendukung, seakan mereka tak ingin petualangan ini berjalan keluar dari rencananya. 

Tak ada hari yang berlalu secara begitu saja. Tak ada jajaran bintang yang tak menjadi saksi. Semesta seakan senang dengan kolaborasi sang nakhoda dan sang kapal. Semua terasa sangat sempurna, sampai-sampai kata ‘sepi’ sepertinya tak lagi cocok untuk menyaingi sang kapal. Tak ada harinya yang tidak ditemani oleh sorak sorai sang nakhoda dan semua imajinasinya. Semuanya sangat indah. Sangat indah.

Hingga saat mereka tiba di sebuah pelabuhan baru. Pelabuhan itu adalah pelabuhan yang selalu sang nakhoda impikan. Pelabuhan yang selalu sang nakhoda sisipkan dalam pembicaraan mereka. Sang nakhoda bergegas menjelajahi pelabuhan impiannya itu. “Tunggu ya! aku akan kembali!" Senyumnya terlihat tulus. Tidak ada yang harus dicurigai. Perkataan terakhirnya, senyum terakhirnya. Semua terlihat sangat sempurna dengan rasa percaya yang digenggam erat oleh sang kapal. 

Hari demi hari berlalu, jejeran bintang kini tak lagi terhitung. Waktu terasa berjalan seribu kali lebih lambat. Tak ada lagi dongeng yang menemani. Tak ada lagi tawa yang menghiasi mulut ini. Semuanya lenyap begitu saja. Pergi begitu saja. Dengan sebuah pesan pamit yang sangat manis. “Apa aku tertipu?” batin sang kapal. 

Perlahan tapi pasti, kapal itu pergi. Ia merasa nyata dikhianati. Sekarang ia nyata sendiri. Bersama sunyi. Sudah jelas itu lebih menenangkan hati.

Percikan air dari ikan yang melompat ke udara membuatnya tersadar dari lamunannya. Sang kapal telah menyadari, setidaknya ia pernah merasa terisi. Setidaknya ia pernah merasa ditemani dan sepertinya tidak ada yang harus disesali. 

Ia telah bertemu sosok yang tepat yang harusnya ada dalam ceritanya. Dan sekarang saatnya mengucapkan terima kasih, lalu pamit dan beranjak kembali kepada bukunya masing-masing. Buku sang kapal yang tadinya hitam putih menjadi memiliki warna lain. Meskipun kini harus menjadi hitam putih kembali.[]