-->

Ngotot Pertahankan Pilkada, Bukti Tak Sayang Kepada Rakyat?

Oleh : Rifdatun Aliyah

Penamabda.com - Sekitar 91% yang mengikuti polling meminta agar pilkada ditunda karena tidak ada urgensinya dan hanya membesarkan masalah yang sudah ada. Sekitar 99% peserta mendesak pemerintah menerbitkan payung hukum yang memberikan kenyamanan kepada para pengambil keputusan untuk mengatasi Covid-19 dan mencegah masyarakat dari kelaparan dan kekurangan nutrisi. (beritasatu.com/14/09/2020)

Namun, menurut Mahfud MD, usulan soal Pilkada Serentak kembali ditunda sulit diwujudkan karena perubahan UU membutuhkan waktu. Selain itu, penerbitan Perppu juga perlu persetujuan DPR dan belum tentu disetujui. (makasar.terkini.id/13/09/2020). Sebelumnya, pengamat politik Muhammad Qodari menyatakan bahwa Pillada 9 Desember bisa menjadi 'superbig spreader' alias bom atom kasus Covid-19.

Qodari menyatakan ini bukan tanpa alasan. Pasalnya Pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik. Itu berdasarkan estimasi jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) dalam Pilkada serentak. Selain itu terdapat pula banyak pelanggaran protokol kesehatan saat masa sosialisasi dan pendaftaran calon. 

Sayangnya, aspirasi publik untuk menunda Pilkada ini ditolak oleh pemerintah. Alih-alih menyatakan akan urgensi Pilkada, namun sejatinya Pilkada merupakan instrumen penting untuk mempertahankan demokrasi. Sebab melalui Pilkada, para penguasa dapat terus melanggengkan kekuasaannya yang notabene lebih mengarah untuk mengambil azas manfaat sebanyak-banyaknya. 

Ambisi kekuasaan telah membuat para penguasa mengabaikan pertimbangan kesehatan dan keselamatan rakyat. Kerusakan dan kezaliman kepemimpinan demokrasi akan diperpanjang masanya melalui Pilkada. Pada akhirnya rakyat pula yang akan tetap menangis dan gigit jari terhadap segala kebijakan penguasa dalam sistem demokrasi. 

Oleh karena itu, butuh kesadaran masyarakat untuk dapat melihat rusaknya Pilkada dalam sistem demokrasi. Masyarakat juga harus menyadari bahwa sistem demokrasi tak layak untuk dijadikan sebagai sistem negara. Ada sistem lain yang mengutamakan masyarakat diatas kepentingan pribadi pemimpinnya. Ya, dialah sistem Islam. 

Dalam sistem pemerintahan Islam, pemilihan penguasa tidak boleh melebihi 3 hari 3 malam. Pemimpin yang dipilih juga harus memenuhi syarat wajib yang telah ditetapkan oleh Islam melalui alquran dan al hadits. Pemimpin yang terpilih juga wajib menerapkan syariat Islam secara keseluruhan.

Dalam pemerintahan Islam, seorang penguasa ataupun kepala daerah dan negara melayakkan diri sebagai pemimpin atas landasan keimanan. Sebab para penguasa tidak berhak mendapatkan gaji melainkan santunan yang cukup bagi diri dan keluarganya. Islam juga memandang bahwa kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar hidup manusia yang harus dipenuhi oleh negara. 

Negara tak boleh abai dengan kesehatan dan keselamatan masyarakat. Negara juga wajib menjamin pemenuhan kebutuhan hidup bagi masyarakat khususnya bagi mereka yang berada di wilayah asal pandemi (wilayah karantina). Sehingga, mempertahankan Pilkada ditengah pandemi tanpa adanya jaminan kesehatan dan keselamatan merupakan salah satu bukti atas ketidakpedulian pemerintah terhadap rakyat. 

Bukankah sebaiknya pemerintah lebih utama untuk memutus rantai penyebaran wabah dan memperbaiki roda perekonomian? Bukan malah sibuk untuk mempertahankan kekuasaan demi kekenyangan diri dan partainya.