-->

Da'i di Sertifikasi, Urgenkah?

Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd
(Lingkar Studi Muslimah Bali)

Penamabda.com - Program sertifikasi Da’i yang akan diluncurkan akhir September ini menuai pro kontra di kalangan masyarakat umum. Pasalnya, di tengah kondisi pandemi seperti ini yang jelas – jelas telah merenggut banyak nyawa, masih bisa – bisanya Kementerian Agama (Kemenag) membuat program sertifikasi para Da’i yang ditargetkan akan diikuti oleh 8200 penceramah untuk tahun ini. Terdiri dari 8000 penceramah yang tersebar di 34 Provinsi dan 200 penceramah sisanya ada di Pemerintah Pusat (Republika.co.id).

Menag Fachrul Razi juga menyatakan bahwa program sertifikasi Da’i ini dimaksudkan untuk mencegah penyebaran paham radikalisme (cnnindonesia.com). Di sisi lain, Waketum MUI, KH. Muhyidin Junaidi sebagai perwakilan dari MUI menolak tegas program ini. Beliau memandang kebijakan tersebut kontraproduktif. MUI juga memandang bahwa program ini akan menimbulkan kegaduhan dan pembatasan gerak para penceramah serta sebagai alat untuk mengawasi kehidupan beragama (news.detik.com).

Mengutip dari pernyataan sikap MUI Nomor: Kep-1626/DP MUI/IX/2020 pasal 1 yang berbunyi "Rencana sertifikasi Da'i/Muballigh dan/atau program Da'i/Muballigh bersertifikat sebagaimana direncanakan oleh Kementerian Agama telah menimbulkan kegaduhan, kesalahpahaman dan kekhawatiran akan adanya intervensi Pemerintah pada aspek keagamaan yang dalam pelaksanaannya dapat menyulitkan umat Islam dan berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk mengontrol kehidupan keagamaan. Oleh karena itu MUI menolak rencana program tersebut," demikianlah pernyataan MUI mengenai program sertifikasi Da’i tersebut.

Jika dilihat kondisi masyarakat saat ini, memang kedudukan para Da’i sangatlah urgen dibutuhkan. Selain memberikan tsaqofah Islam kepada masyarakat, para Da’i juga berkewajiban untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya belajar Islam dan mendakwahkan ilmu Islam bagi yang sudah mengetahuinya.

Kemuliaan Islam inilah yang menjadikan Islam berbeda dengan agama lain. Kemuliaan tentang saling mengingatkan dalam kebaikan dan saling mencegah dari keburukan. Istilah dalam Islamnya adalah amar ma’ruf nahi munkar, atau dengan kata lain yakni dakwah. Ada banyak ayat yang menjelaskan tentang kewajiban berdakwah.

Beberapa diantaranya yaitu di Q.S Asy-Syuro: 15 yang artinya “Karena itu berdakwahlah dan beristiqamahlah sebagaimana diperintahkan kepada kamu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”  atau dalam salah satu hadist Rasulullah SAW. yang artinya “Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat.” (HR al-Bukhari).

Dengan demikian, tidak menjadikan seseorang meninggalkan dakwah hanya karena tidak bersertifikat atau merasa tidak beilmu. Kewajiban dakwah ini berlaku bagi setiap mukmin yang berakal dan baligh, baik laki – laki maupun perempuan tanpa memandang status sosialnya, tingkat keilmuannya atau profesinya.

Oleh karena itu, pengemban dakwah bukanlah seseorang yang berlabel Da’i atau Ustadz saja, melainkan seluruh mukmin yang mampu menyampaikan Islam, maka ia layak disebut pengemban dakwah. Maka pengemban dakwah tak perlu memiliki sertifikasi dari pemerintah. Cukup sertifikasi dari Allah saja, yakni sertifikasi sebagai hamba Allah yang mau mengemban Islam di dalam kehidupannya.

Adapun bagi orang yang meninggalkan dakwah hanya karena alasan sepele, maka akan ada balasan dari Allah sebagaimana di dalam firmanNya “Peliharalah diri kalian dari fitnah (bencana) yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim saja di antara kalian. Ketahuilah, Allah amat keras siksaan-Nya.” (TQS al-Anfal [8]: 25).

Juga terdapat dalam hadist Rasulullah “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Kalian harus melakukan amar makruf nahi mungkar atau (jika tidak) Allah akan menimpakan azab-Nya atas kalian. Lalu kalian berdoa kepada-Nya, tetapi Dia tidak mengabulkan doa kalian.” (HR Ahmad dan at-Tirmidzi).

Begitu juga bagi orang – orang yang menghalangi dakwah, ada balasan yang lebih besar lagi bagi mereka, Allah berfirman “Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang zalim, (yaitu) orang-orang yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan menghendaki (supaya) jalan itu bengkok. Mereka itulah orang-orang yang tidak meyakini adanya Hari Akhirat. Mereka itu tidak mampu menghalang-halangi Allah untuk (mengazab mereka) di bumi ini. Sekali-kali tidak ada bagi mereka penolong selain Allah SWT. Siksaan itu dilipatgandakan atas mereka.” (TQS Hud [11]: 18-20).

Na’udzubillah min dzalik, semoga kita dijauhkan dari orang- orang tipe kedua dan ketiga, yakni orang yang meninggalkan dakwah dan juga orang yang menghalangi dakwah. Dan Allah selalu senantiasa membimbing untuk berusaha selalu menjadi orang tipe pertama yakni orang yang selalu berdakwah.

Wallahu a’lam bish showab