-->

Kabut Resesi Ekonomi Menyelimuti Indonesia

Oleh: Sri Agustini, (Guru, Tinggal di Depok) 

Penamabda.com - Sebelum pandemi Covid-19, ekonomi dunia sudah diambang kelesuan sebagai konsekuensi dari penerapan ekonomi kapitalis di seluruh dunia, apalagi setelah terjadinya pandemi, sistem ekonomi kapitalisme benar-benar di ambang kehancuran. Tak hanya dunia, kabut resesi ekonomi pun menyelimuti Indonesia.

Penyebab terjadinya resesi  ekonomi karena sistem ekonomi kapitalis ini ditopang oleh sektor non-riil sehingga melahirkan institusi pasar modal dan perseroan terbatas terpukul saat pandemi. Bahkan sektor riil yang selama ini ikut menopang sektor non riil juga ikut terpukul. Begitu juga sumber-sumber pendapatan negara kapitalis berasal dari pajak atau pungutan dari rakyat dan utang yang berbasis ribawi.

Ditambah  merosotnya kepercayaan investor dalam berinvestasi akibat risiko yang semakin tinggi, membuat turunnya kepercayaan konsumen dalam berbelanja. Berakibat konsumen mengurangi porsi belanja mereka. Akhirnya penjualan retail pun ikut melambat, sehingga pelaku bisnis mem-PHK  sebagian tenaga kerja mereka.

Begitu juga, suku bunga yang naik tinggi. Likuiditas yang tersedia untuk diinvestasikan menjadi semakin terbatas. Bank-bank sentral biasanya menerapkan suku bunga tinggi untuk menjaga agar nilai tukar mata uang tidak melemah lebih dalam. Seperti The Fed, pada 1980 menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi yang tinggi dan mengungkit stagnasi ekonomi, serta menjaga nilai tukar dolar AS. Namun, kebijakan itu justru menyebabkan resesi bahkan lebih buruk lagi yakni depresi.

Penyebab resesi lainnya adalah gelembung aset finansial yang meledak. Bentuknya adalah harga aset yang menjadi objek spekulasi, seperti saham dan properti, naik berlipat-lipat. Contohnya krisis 2008, turunnya harga surat-surat berharga terutama yang berasal dari kredit perumahan kelas bawah. Harga aset yang turun tajam membuat para investor merugi terutama perbankan, perusahaan asuransi dan pihak-pihak yang menginvestasikan modal mereka pada aset tersebut. Dampaknya, perusahaan-perusahaan berguguran, pekerja di PKH dan pendapatan masyarakat turun tajam.

Ternyata, peran pemerintah dan legislator juga mendukung terjadinya resesi dengan mencabut aturan yang membatasi para investor untuk berinvestasi. Salah satunya penghapusan Glass-Steagall Act. Undang-undang ini melarang penggabungan bank komersial dan bank investasi, yang dibuat untuk mencegah berulangnya depresi 1929. Namun, 2000 regulasi itu dicabut atas inisiatif para pelaku di sektor keuangan. Benar saja, investasi perbankan tumbuh tak terbendung. Hulunya adalah krisis keuangan yang menyebabkan resesi global  2008.

Dalam sistem kapitalis, solusi yang ditawarkan untuk mencegah terjadinya resesi yakni dengan membuat  undang-undang atau Perpu baru berkaitan dengan kebijakan fiskal dan moneter. Namun disayangkan  undang-undang atau Perpu tersebut hanya dibuat untuk mengamankan kepentingan penguasa dan pengusaha. 

Bahkan, seperti yang diberitakan www.liputan6.com, Rabu (26/8/2020), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kunci utama dalam menghadapi situasi ini adalah konsumsi dan investasi. Meskipun pemerintah sudah berusaha mati-matian, namun jika kedua kunci itu masih negatif, akan sangat sulit mencapai zona netral. Candra Fajri Ananda, Staf Khusus Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal Sektoral Menteri Keuangan menambahkan, dalam variabel makro ekonomi, hampir semua mengalami kontraksi cukup dalam. Misalnya, konsumsi rumah tangga, pemerintah, investasi dan ekspor.  

Solusi lainnya dari sistem kapitalis ini dengan memberikan suntikan dana pada perusahaan dan perbankan supaya mampu mengatasi perlambatan aktivitas ekonominya, memberikan bansos pada masyarakat, menurunkan suku bunga perbankan supaya nasabah mampu membayar cicilannya dan Penerapan omnibus law untuk meningkatkan investasi dan memulihkan ekonomi usai pandemi Covid-19. 

Maka, solusi  yang tepat dari resesi saat ini hanya kembali kepada aturan Islam, terutama sistem ekonomi Islam. Terbukti Islam telah berhasil menyejahterakan peradaban manusia di era negara Khilafah yang pertama dalam rentang waktu 1.300 tahun. Adapun solusi Islam yang ditawarkan adalah sebagai berikut:

Pertama, menata ulang sistem keuangan negara. Dalam kapitalis-demokrasi, sistem keuangannya bertumpu pada pajak dan utang membuat dunia Islam masuk dalam debt trap dan ini tidak akan pernah dipakai oleh peradaban Islam. Hal ini karena sistem keuangan Islam baitul mal terbukti selama 13 abad yang memiliki pemasukan yang besar sekaligus mandiri tanpa tergantung kepada negara lain.

Kedua, menata ulang sistem moneter. Dalam sistem ekonomi Islam, pendapatan masyarakat dipastikan cukup dan tidak akan jatuh pada jurang kemiskinan dengan menjaga dan mempertahankan daya beli uang dengan moneter berbasis zat yang memiliki nilai hakiki yaitu emas dan perak.

Ketiga, menata ulang kebijakan fiskal. Fiskal dalam syariah hanya berdasar aset produktif yang ditentukan syara’. Dalam Islam, semua pungutan pajak akan dihapus. Namun, jika dalam keadaan kepepet, misalkan di baitul mal kekurangan dana bahkan tidak ada uang sama sekali,  baru negara akan memungut pajak, itu pun hanya ditujukan pada kalangan orang kaya saja.

Keempat, menata ulang sistem kepemilikan aset di dunia. Dalam Islam jelas, kepemilikan aset tidak akan diberikan kepada asing dan aseng. Terutama sumber daya alam dengan deposit melimpah adalah milik umat, dikelola oleh negara dan hasilnya untuk kesejahteraan umat.

Kelima, tata ulang kebijakan mikro ekonomi. Dalam ekonomi Islam, diatur aktivitas ekonomi antar individu dan pebisnis. Praktik riba dan transaksi yang melanggar aturan syariat lainnya dilarang dalam negara khilafah.

Keenam, kekurangan modal bisa dilakukan orang per orang. Jika dalam situasi khusus seperti pandemi, negara hadir dengan memberikan modal, bentuknya hibah atau pinjaman tanpa adanya riba.
Semua mekanisme aktivitas ekonomi yang sudah diatur oleh Islam melalui penerapan sistem khilafah akan mampu memberikan solusi yang solutif bagi persoalan resesi ekonomi saat ini.[]