-->

TABAYYUN

Oleh : Aya Ummu Najwa

Penamabda.com - Dalam Islam, mencari kebenaran atau meluruskan suatu hal disebut dengan tabayyun. Tabayyun sendiri menurut bahasa adalah telitilah dulu. 

Tabayyun merupakan salah satu tradisi umat Islam yang dapat dijadikan solusi untuk memecahkan masalah. Tradisi ini digunakan terutama untuk menyelesaikan masalah dalam Masyarakat. Metode tabayyun digunakan untuk mengklarifikasi serta menganalisis masalah yang terjadi. Dengan harapan mendapatkan kesimpulan yang lebih bijak, arif dan lebih tepat sesuai keadaan Masyarakat sekitarnya. (wikipedia)

Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian. [al-Hujurât:6].

SABABUN- NUZÛL 

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menyatakan, ayat ini dilatarbelakangi oleh suatu kasus sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalur. Yang terbaik, ialah dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari jalur kepala suku Banil-Mushthaliq, yaitu al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i, ayah dari Juwairiyah bintil-Hârits Ummil-Mu`minîn Radhiyallahu anhuma. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Kami diberitahu oleh Muhammad ibnu Sâbiq, beliau berkata : aku diberithu ‘Îsâ ibnu Dînâr, beliau berkata : aku diberithu oleh ayahku, bahwa beliau mendengar langsung penuturan al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i Radhiyallahu anhu : Al-Hârits mengatakan: “Aku mendatangi Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau mengajakku ke dalam Islam, akupun menyetujuinya. Aku katakan: ‘Wahai, Rasûlullâh. Aku akan pulang untuk mengajak mereka berislam, juga berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya, dan silahkan kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu’.” Setelah ia mengumpulkan zakat tersebut dari orang yang menerima dakwahnya, dan sampailah pula pada tempo yang diinginkan Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ternyata utusan tersebut menahan diri dan tidak datang.

Sementara itu al-Hârits mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya marah, maka ia pun segera mengumpulkan kaumnya yang kaya dan mengumumkan: “Dulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menentukan waktu untuk memerintahkan utusannya agar mengambil zakat yang ada padaku, sedangkan menyelisihi janji bukanlah kebiasaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin utusannya ditahan, kecuali karena adanya kemarahan Allah dan Rasûl-Nya. Maka dari itu, mari kita mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Sebenarnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah kepada al-Hârits untuk mengambil zakat tersebut, tetapi di tengah jalan, al-Walîd ketakutan, sehingga ia pun kembalilah kepada Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari mengatakan: “Wahai, Rasûlallâh! Al-Hârits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku,” maka marahlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengutus pasukan kepada al-Hârits. 

Sementara itu, al-Hârits telah berangkat bersama kaumnya. Tatkala pasukan berangkat dan meninggalkan Madinah, bertemulah al-Hârits dengan mereka, kemudian terjadilah dialog: Pasukan itu berkata: “Ini dia al-Hârits”. Setelah al-Hârits mengenali mereka, ia pun berkata: “Kepada siapa kalian diutus?” Mereka menjawab: “Kepadamu”. Dia bertanya: “Untuk apa?”

Mereka menjawab: “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah, dan ia melaporkan bahwa engkau menolak membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya”. Al-Hârits menyahut: “Tidak benar itu. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sesungguhnya; aku tidak pernah melihatnya sama sekali, apalagi datang kepadaku”. Setelah al-Hârits menghadap, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin membunuh utusanku?”

Al-Hârits menjawab: “Itu tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan sesungguhnya, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula datang kepadaku. Juga, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ia tidak datang karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya yang lalu,” maka turunlah ayat dalam surat al-Hujurât: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu)..(QS. Al Hujurat:6)

Kesimpulan yang bisa diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:

Yang pertama adalah, ayat ini merupakan pelajaran adab bagi orang beriman dalam menghadapi suatu isu atau berita yang belum jelas kebenarannya. Ia tidak dibenarkan serta merta menghakimi atau memutuskan hukum atas berita tersebut, yang ada kemungkinan salah dan merugikan pihak lain. Seperti ketika ide khilafah yang diusung oleh sebagian umat Islam mulai membahana, isu sesat, bahkan isu makar pun mulai disematkan pada kelompok pengusung, yang pada akhirnya kelompok dakwah tersebut diperlakukan tidak adil dan didzalimi. Bukankah seharusnya tabayun terlebih dulu kepada yang bersangkutan?

Yang kedua yaitu, pelaksanaan perintah tabayyun, merupakan ibadah yang dapat meningkatkan iman. Dan meninggalkan tabayyun dapat mengurangi iman. Karena memperturutkan emosional sesaat, dan bahkan memelihara dzan bertindak dzalim kepada saudaranya. Persekusi, penahanan, dan pencemaran nama baik pada para pengemban dakwah Islam kaaffah sudah sangat luar biasa sering terjadi di negeri ini. Ini dilakukan oleh elit politik maupun kelompok-kelompok sesama dakwah, padahal, bukankah mereka mengetahui kewajiban tabayun ini?

Yang ketiga adalah, kewajiban tabayyun dibebankan kepada orang yang menerima kabar berita dan akan menjatuhkan vonis terhadap pihak yang tertuduh. Sebagai contoh, yang baru saja terjadi, terkait pemutaran film dokumenter tentang sejarah Islam yang mengusung tema jejak khilafah di Nusantara, tidak hanya mendapatkan penjegalan yang sistematis, namun juga persekusi pun terjadi lebih masif yang dilakukan oleh sebagian umat Islam kepada para pengemban dakwah. Terlebih lagi, bukankah sudah jelas Khilafah adalah ajaran Islam, banyak sekali dalil yang menjelaskan tentang Khilafah. Bukankah orang-orang yang mengaku beriman harus mengimani semua yang diberitakan dalam Al-Qur'an? Bukankah khilafah sudah dicontohkan oleh Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin?

Yang keempat adalah, penyesalan di dunia maupun akhirat akan ditimpakan kepada orang yang menerima isu negatif, menyebarkannya, serta kepada orang yang menjatuhkan vonis tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu. Sungguh diantara orang-orang yang menyebarkan isu, berita bohong, dan fitnah kepada pengemban dakwah Islam kaaffah adalah mereka yang bisa dikatakan sebagai ulama, mereka mempelajari Alquran dan hadist, dan juga kitab-kitab mu'tabar, mereka sangat memahami makna tabayun, tetapi mereka menutup mata, bahkan membiarkan umat berselisih dan berpecah hanya karena perbedaan pandangan fiqih dan zona aman.

Sungguh, Allah telah melarang untuk  mengikuti sesuatu yang tiada pengetahuan tentangnya, yakni jangan berucap apa yang engkau tidak tahu, apakah itu benar atau salah. Jangan mengaku tahu apa yang engkau tak tahu atau mengaku mendengar apa yang engkau tidak dengar. Pandangan mata, pendengaran, dan hati yang merupakan alat-alat pengetahuan, semua alat itu masing-masing akan ditanyai tentang bagaimana pemiliknya menggunakannya dan akan dituntut pertanggungjawabannya. 

وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولٗا

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (Surat Al-Isra', Ayat 36)

Demikian pula al-Qur'an pun mengecam orang-orang yang mendengar berita yang samar-samar tanpa diketahui kebenarannya. 

وَإِذَا جَآءَهُمۡ أَمۡرٞ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ لَٱتَّبَعۡتُمُ ٱلشَّيۡطَٰنَ إِلَّا قَلِيلٗا

Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu). (Surat An-Nisa', Ayat 83)

Bagi umat yang masih awam, sesuatu yang sederhana justru dapat menjadi awal dari bencana. Itu sebabnya, Sayyidina Ali pernah berkata, “andai orang yang tak berilmu mau diam sejenak, niscaya gugur perselisihan yang banyak.”
Mengenai informasi yang baik saja, Rasul memberi teladan kepada umat Islam untuk tetap berhati-hati dalam menyebarkannya, apalagi untuk informasi yang belum tentu baik, yang bahkan menimbulkan perpecahan dalam tubuh umat Islam, yang tentu ini adalah dosa dan dilaknat oleh Allah. 

Untuk ini, Rasulullah telah memperingatkan, “Janganlah kamu menceritakan sesuatu kepada suatu kaum sedang akal mereka tidak mampu menerimanya. Karena cerita tersebut (justru dapat) menimbulkan fitnah pada sebagian dari mereka.” (HR. Muslim).

Maka bertabayunlah, telitilah dulu, agar tidak terjadi fitnah. Ketidakpahaman hanya akan membawa prasangka, prasangka hanya akan membawa kepada kebencian dan perpecahan. Dalami dulu, diskusikan dulu, maka Allah akan memahamkan. Semoga Allah menyatukan umat Islam untuk mencapai kemenangan.

Wallahu a'lam