-->

Posisi Negeri Muslim Terbesar Di Tengah Pertarungan Adidaya Di Wilayahnya

Oleh: Rika Merdha

Penamabda.com - Situasi Laut China Selatan (LCS) hingga kini kian memanas. China dengan tegas ingin berkuasa di LCS, Amerika serikat yang didukung Jepang dan Australia akan mati-matian untuk mencegah penguasaan secara sepihak. Sebagaimana dilansir dari CNNIndonesia.com, Duta besar China dan Perwakilan Tinggi Australia untuk India terlibat perdebatan sengit di Twitter tentang sengketa LCS. Perang Twitter itu bermula ketika Australia membela AS yang baru-baru ini menolak klaim sepihak China atas 90 persen wilayah Laut China Selatan. Melalui surat kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada pekan lalu, Australia menganggap klaim China atas perairan itu tak memiliki basis hukum.

Sementara itu, Menteri Pertahanan Amerika Serikat Mark Esper mengaku mengandalkan sekutu-sekutunya di Asia untuk membantu mengendalikan China yang semakin agresif di perairan Indo-Pasifik, terutama Laut China Selatan. Pertanyaan itu di utarakan Esper saat berpidato secara virtual di Forum International Institute of Strategic Studies.

Dalam kesempatan itu, dia menyatakan Amerika serikat siap menegakkan janji dan komitmennya untuk mempertahankan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. (GenPI.co, 31/07/20)

Laut China Selatan adalah lokus geopolitik yang sangat strategis hari ini, lokasi ini telah menjadi arena pertarungan kekuatan besar maritim yakni AS dan China, sekaligus menjadi salah satu isu terpanas dalam dua dekade terakhir yang didominasi persoalan kisruhnya batas maritim dan klaim teritorial oleh negara-negara sekitarnya.

Sebenarnya jika dirunut, tidak ada hubungan sama sekali antara AS dengan kawasan LCS. Sebab, secara geografis AS tidak memiliki satu pun hak wilayah yang dipersengketakan di LCS. Negara-negara yang kerap bersengketa langsung dalam kasus ini adalah China, Vietnam, Filipina, Thailand, Brunei Darussalam, Malaysia dan Indonesia. Namun, akibat manuver China dengan aksi militernya memanfaatkan kekosongan selama pandemi covid-19 membuat AS gusar, hingga terpaksa turut melakukan kontraksi otot militernya di kawasan ini dengan memobilisasi dukungan dari Australia dan Jepang.

Lantas bagaimana sikap negara-negara yang kerap bersengketa dengan China? Salah satu negara ASEAN, yakni Filipina akhirnya menyerah melawan China lantaran tak sanggup memperebutkan Laut China Selatan. Hal ini diungkapkan Duterte saat pidato tahunan negara. 

Presiden Filipina ini, mengungkapkan tak punya pilihan selain menganggap sengketa Laut China Selatan (LCS) sebagai isu diplomatik. (GenPI.co, 30/07/20)

Sementara itu, Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan bahwa Indonesia selalu menekankan pentingnya semua pihak untuk menghormati hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982. Penegasan Menlu Retno tentang keinginan Indonesia terus menjaga Laut China Selatan stabil dan damai, dan pentingnya untuk menghormati hukum internasional telah ia sampaikan sebelumnya dalam pertemuan virtual dengan Menlu China, Wang Yi pada 30 Juli lalu. (Liputan6.com, 07/08/20)
Indonesia sebagai negeri muslim terbesar semestinya aktif memobilisir kekuatan negara di kawasan Asia tenggara (ASEAN) untuk menentang arogansi AS dan China yang secara terang-terangan melakukan pelanggaran kedaulatan lautnya. Sikap 'netral' dengan menghormati perjanjian UNCLOS semakin menunjukkan kelemahan menjaga kedaulatan akibat terkukung konvensi internasional yang dibuat negara penjajah.

Penjajahan terhadap negeri muslim dalam bentuk neoimperialisme menjadikan mereka tunduk kepada superioritas China dan AS. Terlebih dengan adanya sekat negara bangsa dan pemahaman yang rusak bernama nasionalisme. Ini menjadikan negeri-negeri yang dulunya kuat, sekarang lemah tak berdaya.

Dahulu negeri-negeri muslim berada dalam satu kepemimpinan yang kokoh dan kuat. Mereka bahkan ditakuti dan disegani. Tak ada istilah diplomasi, netral, taat kepada perjanjian internasional, serta duduk diam menonton pertarungan memperebutkan lokasi strategis dan kekayaan alam yang berada di dalamnya. Kepemimpinan tersebut dikenal dengan nama Khilafah Islam.

Namun sejak keruntuhannya, negeri muslim dipecah belah menjadi negara-negara kecil sehingga kehilangan kekuatannya, di doktrin dengan paham-paham rusak seperti sekulerisme, liberalisme, demokrasi maupun nasionalisme. Akhirnya umat menjadi terbelakang hingga tak lagi terbersit keinginan mendominasi dunia sebagaimana dulu.

Posisi LCS yang sangat strategis seharusnya memicu kaum muslim di kawasan Asia tenggara terutama Indonesia untuk mengulang sejarah kegemilangan kaum muslim dalam hal penaklukan, penjagaan perairan, maupun perbatasan. Salah satunya, yang terjadi pada masa Khalifah Mu'awiyah yakni penaklukan pulau Rhodes di Laut Mediterania.

Umat Islam saat itu berada dalam kepemimpinan khilafah Islam dimana visi maritim Islam hadir dengan kuat untuk mengontrol dan menguasai Laut Mediterania. Estafet visi maritim Islam di Laut Mediterania, terus berlanjut di bawah prinsip politik luar negeri Islam yang bertumpu pada prinsip dakwah dan jihad. Kekuatan armada laut umat Islam menjadi salah satu kekuatan besar dan berjaya kala itu. Di masa Mu'awiyah juga untuk pertama kalinya pasukan Islam melakukan ekspedisi penaklukan konstantinopel. Mu'awiyah berhasil memposisikan diri sebagai salah satu pemain maritim yang diperhitungkan, bukan sekedar penonton seperti hari ini.

Maka sudah saatnya kaum muslim terutama di Indonesia memahami peran strategisnya sebagai mercusuar kaum muslim dunia untuk mengingat dan mengamalkan keutamaan jihad di lautan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, "Satu kali berperang di lautan itu lebih baik dari sepuluh kali berperang di daratan, orang yang berlayar di lautan (dalam jihad) adalah seperti orang yang telah mengarungi seluruh lembah (daratan). Dan orang yang mabuk di lautan (dalam jihad) adalah seperti orang yang bersimbah darah (dalam jihad)." (HR. Al-Hakim dan Ath-Thabarani)

Namun semua itu hanya bisa terwujud dengan adanya khilafah Islam. Maka, wajib bagi kita berjuang demi tegaknya institusi syar'i tersebut agar Indonesia dan kaum muslim secara keseluruhan tidak hanya berperan sebagai penonton melainkan pemain yang diperhitungkan kehadirannya.