-->

MANISNYA IMAN

Oleh : Aya Ummu Najwa

Penamabda.com - Setiap mukmin pasti ingin merasakan manisnya iman. Sebab, tidak ada yang bisa menandingi lezat dan manisnya iman. Lalu, apa itu manisnya iman dan bagaimana cara meraihnya? Arti dari manisnya iman adalah merasakan lezatnya ketaatan dan memiliki daya tahan menghadapi rintangan dalam menggapai ridha Allah dan Rasul-Nya, lebih mengutamakan ridha-Nya dari pada kesenangan dunia, dan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangan-Nya.

بَابُ حَلَاوَةِ الْإِيمَانِ
16 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Anas bin Malik radiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Ada 3 hal yang siapa saja ada ketiga hal itu pada dirinya, maka dia akan mendapatkan manisnya iman: Allah dan Rasul-nya lebih dia cintai dari apapun selain kedua-Nya. Tidak mencintai seseorang kecuali karena Alloh dan benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci dilempar ke dalam api”.  (Hadis riwayat al-Bukhori: 16)

Ibnu Hajar al-Asyqalani menjelaskan:

وَفِي قَوْلِهِ حَلَاوَةُ الْإِيمَانِ اسْتِعَارَةٌ تَخْيِيلِيَّةٌ شَبَّهَ رَغْبَةَ الْمُؤْمِنَ فِي الْإِيمَانِ بِشَيْءٍ حُلْوٍ وَأَثْبَتَ لَهُ لَازِمَ ذَلِكَ الشَّيْءِ وَأَضَافَهُ إِلَيْهِ وَفِيهِ تَلْمِيحٌ إِلَى قِصَّةِ الْمَرِيضِ وَالصَّحِيحِ لِأَنَّ الْمَرِيضَ الصَّفْرَاوِيَّ يَجِدُ طَعْمَ الْعَسَلِ مُرًّا وَالصَّحِيحُ يَذُوقُ حَلَاوَتَهُ عَلَى مَا هِيَ عَلَيْهِ وَكُلَّمَا نَقَصَتِ الصِّحَّةُ شَيْئًا مَا نَقَصَ ذَوْقُهُ بِقَدْرِ ذَلِكَ ... قَالَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ أَبِي جَمْرَةَ إِنَّمَا عَبَّرَ بِالْحَلَاوَةِ لِأَنَّ اللَّهَ شَبَّهَ الْإِيمَانَ بِالشَّجَرَةِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى مَثَلًا كلمة طيبَة كشجرة طيبَة فَالْكَلِمَةُ هِيَ كَلِمَةُ الْإِخْلَاصِ وَالشَّجَرَةُ أَصْلُ الْإِيمَانِ وَأَغْصَانُهَا اتِّبَاعُ الْأَمْرِ وَاجْتِنَابُ النَّهْيِ وَوَرَقُهَا مَا يَهْتَمُّ بِهِ الْمُؤْمِنُ مِنَ الْخَيْرِ وَثَمَرُهَا عَمَلُ الطَّاعَاتِ وَحَلَاوَةُ الثَّمَرِ جَنْيُ الثَّمَرَةِ وَغَايَةُ كَمَالِهِ تَنَاهِي نُضْجِ الثَّمَرَةِ وَبِهِ تَظْهَرُ حَلَاوَتُهَا

Dalam sabda beliau [Halawatul Iman) adalah bentuk istikharah takhyiliyyah yang menyerupakan kegemaran seorang mu`min dengan sesuatu yang manis dan memastikan hal-hal yang menjadi konsekwensinya. Tentang hal ini ada gambaran di dalam kisah orang yang sakit dan orang yang sehat. Orang yang memiliki penyakit empedu akan merasakan rasa manis madu menjadi pahit, sedangkan orang yang sehat akan merasakan madu sesuai dengan rasa aslinya, yaitu manis. Setiap kali kesehatan berkurang, maka berkurang pula daya kekuatan rasa mencicipi sesuatu sebesar kurangnya kesehetan yang ada. 

Syeikh Abu Muhammad bin Abu Jamrah berkata: Beliau mengungkapkan kata al-halawah (manis), karena Allah menyerupakan iman dengan pohon dalam firman-Nya: “Perumpamaan kalimat yang baik seperti sebuah pohon yang indah menawan”. Kalimat di sini adalah kalimat tauhid, pohon adalah akar iman, cabang-cabangnya adalah mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, daun-daunnya adalah kebaikan yang menjadi konsern orang beriman dan buahnya adalah amal ketaatan. Manisnya buah adalah matangnya buah dan puncak kesempurnaannya saat akhir dipetik, di situlah tampak nyata manisnya buah”.  (Fathul Bari: 1/60)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

مَعْنَى حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ اسْتِلْذَاذُ الطاعات وتحمل المشقات في رضى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِيثَارُ ذَلِكَ عَلَى عَرَضِ الدُّنْيَا ... وَذَلِكَ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ الْمَحَبَّةُ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقِيقَةً وَحُبُّ الْآدَمِيِّ فِي اللَّهِ وَرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَرَاهَةُ الرُّجُوعِ إِلَى الْكُفْرِ إِلَّا لِمَنْ قَوَّى بِالْإِيمَانِ يَقِينَهُ وَاطْمَأَنَّتْ بِهِ نَفْسُهُ وَانْشَرَحَ لَهُ صَدْرُهُ وَخَالَطَ لَحْمَهُ وَدَمَهُ وَهَذَا هُوَ الَّذِي وَجَدَ حَلَاوَتَهُ

Arti halawatul iman (manisnya iman) adalah merasakan lezatnya ketaatan dan memikul berbagai kesulitan dalam meraih ridha Allah dan rasul-nya serta mendahulukan semua itu di atas kenikmatan dunia... Kesimpulannya, bahwa tidak mungkin cinta kepada Allah dan rasul-Nya secara hakiki, mencintai orang lain karena Allah dan rasul-Nya dan kebencian kembali kepada kekufuran akan bisa dianggap benar, kecuali bagi orang yang keimanannya telah kuat keyakinan, telah thuma`ninah jiwa dan telah lapang dadanya sehingga menyatu dengan daging dan darahnya. Inilah yang dimaksud dengan mendapatkan manisnya iman. (Syarh Shahih Muslim: 2/13-14)

Ali al-Mula al-Qari rahimahullah berkata:

(حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ) أَيْ لَذَّتَهُ وَرَغْبَتَهُ..وَأُوثِرَتِ الْحَلَاوَةُ لِأَنَّهَا أَظْهَرُ اللَّذَّاتِ الْحِسِّيَّةِ، وَقَدْ وَرَدَ أَنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ إِذَا دَخَلَتْ قَلْبًا لَا تَخْرُجُ مِنْهُ أَبَدًا، فَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى بِشَارَةِ حُسْنِ الْخَاتِمَةِ لَهُ، وَقِيلَ: مَعْنَى حَلَاوَةِ الْإِيمَانِ اسْتِلْذَاذُ الطَّاعَاتِ وَإِيثَارُهَا عَلَى جَمِيعِ الشَّهَوَاتِ وَالْمُسْتَلَذَّاتِ وَتَحَمُّلُ الْمَشَاقِّ فِي مَرْضَاةِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَتَجَرُّعُ الْمَرَارَاتِ فِي الْمُصِيبَاتِ، وَالرِّضَا بِالْقَضَاءِ فِي جَمِيعِ الْحَالَاتِ"

“(halawatul iman) artinya lezat dan suka. Digunakan kata al-halawah karena al-halawah adalah rasa lezat dari sesuatu yang terasa. Ada satu ungkapan bahwa halawatul iman atau manisnya iman jika sudah masuk ke dalam hati, maka tidak akan mungkin keluar lagi. Hal ini mengandung isyarat tentang khabar gembira husnul khatimah buat orang tersebut. Satu pendapat mengatakan: arti halawatul iman adalah rasa lezat ketaatan dan memenangkan iman di atas seluruh keinginan syahwat dan tuntutan kelezatan apapun, kesiapan memikul berbagai kesulitan dalam menggapai ridha Allah dan rasul-Nya, kesiapan menelan rasa pahit berbagai musibah dan ridha terhadap semua ketentuan Allah dalam keadaaan apapun”. (Mirqatul Mafatih: 1/74)

Ada tiga cara untuk meraih dan merasakan manisnya iman yaitu: 
Menyempurnakan cinta kepada Allah yaitu dengan menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari yang lainnya, karena cinta kepada Allah tidak cukup hanya sekedarnya, tetapi harus melebihi dari yang lainnya.

Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab –radiyallahu ’anhu-. Lalu Umar –radhiyallahu ’anhu- berkata, 

لأنت أحب إلي من كل شيء إلا من نفسي 

”Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, 

لا والذي نفسي بيده حتى أكون أحب إليك من نفسك

 ”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, 

فإنه الآن والله لأنت أحب إلي من نفسي 

”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, الآن يا عمر ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).” (HR. Bukhari) [Bukhari: 86-Kitabul Iman wan Nudzur, 2-Bab Bagaimana Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersumpah]

Yang kedua adalah menjadikan cinta kepada Allah pangkal dari cabang cinta kepada yang lain, yaitu mencintai orang lain semata-mata karena dan untuk Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sehingga dalam mencintai ia tetap mengikuti aturan dan mekanisme cinta yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

 “Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67] : 2), 

beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (mencocoki tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”

Lalu Al Fudhail berkata,
“Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)

Contohnya adalah dengan tidak berkhalwat, menyegerakan akad nikah dan menghindari perbuatan yang mendekati pada perzinahan. 

وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا

Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. (Surat Al-Isra', Ayat 32)

Dan yang ketiga adalah menolak segala hal yang bertentangan dengan cinta-Nya, yaitu tidak menyukai hal-hal yang bertentangan dengan keimanan melebihi ketidaksukaannya bila dirinya dilemparkan ke dalam api neraka.

عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قاَلَ : ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلِايْمَانِ :اَلاْنِفْاَقُ مِنَ اُلاِقْتَارِ ، وَإِنْصَافُ النَّاسِ مِنْ نَفْسِكَ ، وَبذْلُ السَّلاَمِ لِلْعَالَمِ (رواه عبد الرزاق) علقه البخاري في (كتاب الايمان)

Amar bin Yasir berkata, “Ada tiga hal yang barangsiapa berada di dalamnya ia merasakan manisnya keimanan, berinfak dari kebakhilan, bersikap adil terhadap manusia dari dirinya, dan mengupayakan keselamatan (salam) bagi alam.” (Diriwayatkan Abdurazzaq, Bukhari mencantumkannya di kitab Al-Iman).

Wallahu a'lam.