Kasus Djoko Tjandra Menunjukan Catatan Hitam Birokrasi, Membuka Luka Lama Korupsi
Oleh: Arista Indriani (Praktisi Pendidikan)
Penamabda.com - Badan Resese Kriminal (Bareskrim) Polri telah secara resmi menyerahkan terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra ke Kejaksaan Agung. Siapa sebenarnya Djoko Tjandra hingga membuat negeri ini cukup heboh dengan penangkapannya?
Kasus Djoko Tjandra bermula ketika Direktur PT Era Giat Prima itu dijerat dakwaan berlapis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan Moekiat, sebagaimana diberitakan Harian Kompas, 24 Februari 2000.
Dalam dakwaan primer, Djoko didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie yang merugikan negara Rp 940 miliar. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai oleh R Soenarto memutuskan untuk tidak menerima dakwaan jaksa tersebut. Kemudian, Oktober 2008 Kejaksaan mengajukan PK ke Mahkamah Agung. MA menerima dan menyatakan Djoko Tjandra bersalah. Djoko dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan harus membayar denda Rp 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara.
Sehari sebelum putusan MA pada Juni 2009, Djoko diduga kabur meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Port Moresby, Papua Nugini. Djoko Tjandra kemudian diketahui telah pindah kewarganegaraan ke Papua Nugini pada Juni 2012. Kabar Djoko Tjandra kembali mengemuka setelah dia berupaya melakukan Peninjauan Kembali (PK) sekitar Juni-Juli 2020 ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bahkan, Djoko diketahui sempat berada di Indonesia. Dia sempat membuat KTP elektronik dan paspor sehingga dapat mendaftarkan PK ke pengadilan. Setelah itu, Djoko kembali meninggalkan Indonesia. Terakhir, dia diketahui berada di Malaysia. Namun, akhirnya pada Kamis (30/7/2020) Djoko Tjandra berhasil ditangkap Bareskrim Polri di Malaysia setelah menjadi buronan selama 11 tahun. (kompas.com 01/08/2020)
Ditangkapnya buronan bernama Djoko Tjandra ini adalah momentum baik untuk membuka semua luka lama. Butuh diketahui setelah krisis 1998, Indonesia mengalami dampak krisis yang berkelanjutan. Ekonomi begitu saja, kurs rupiah terkapar. Itu semua karena hutang. Pemerintah berhutang ratusan trilyun kepada lembaga internasional. Untuk apa? untuk Menalangi perbankan yang kolaps saat itu.
Dikutip dari situs resmi Bank Indonesia (BI), ada puluhan bank yang tercatat harus ditutup sepanjang 1990-an. Saat krisis ekonomi 1997-1998 setelah 16 bank ditutup, diikuti 38 bank pada 1999. Pada 2004, Bank Dagang Bali dan Bank Aspac dilikuidasi. Terakhir, Bank Global ditutup pada 2005. Depresiasi rupiah mencapai 197 persen hingga sontak mengguncang perbankan. Saat itu ekonomi Indonesia tidak tumbuh bahkan -13,1 persen.
Agar ekonomi Indonesia tidak tambah hancur lebur, saat itu dibentuklah BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), apa tugasnya? Menyelamatkan bank-bank yang kolaps ini. Maka Ratusan trilyun digelontorkan ke bank-bank ini. Dan itu semua adalah hutang yang harus ditanggung rakyat. Bantuan ini untuk melunasi kredit, hutang bank dll. Salah satu contohnya cessie bank bali yang melibatkan Djoko Tjandra.
Penangkapan Djoko Tjandra, harusnya bisa jadi momentum untuk menyelesaikan luka lama ini. Buka semua. Termasuk seluruh kasus yang dulu menerima SKL BLBI. Buka dengan sejelasnya, apakah uangnya benar kembali atau bagaimana?
Negeri ini semakin menderita sejak krisis 1998. Siapa yang paling menderita? Rakyat kecil. Setiap terjadi krisis, konglomerat dan perusahaan (swasta, BUMN, BUMD, dkk) itu dibantu dengan luar biasa. Bahkan di saat pandemi corona saat ini saja. Korporasi bank-bank diberikan dana titipan triliyunan oleh Kemenkeu.
Penangkapan Djoko Tjandra tidak bisa dianggap prestasi bagi kepolisian, tapi ini adalah kewajiban terhadap publik untuk memberi sanksi pada pelanggar aturan. Kasus Djoko Tjandra, yang merupakan buron 11 tahun namun bisa leluasa membuat e-ktp menegaskan betapa bobrok birokrasi dan mental pejabat negeri ini. Kuasa korporasi telah mengendalikan pejabat di semua lini dan Lembaga peradilan mandul memberi sanksi.
Selayaknya Hadits yang diriwayatkan oleh Auf bin Malik ini menjadi renungan dan semangat untuk saling mengingatkan, Rasulullah SAW bersabda tentang tanda akhir zaman:
“(1). Kepemimpinan orang-orang bodoh, (2). Banyaknya syuroth (kepolisian, penolong, pembela penguasa dalam kelaliman), (3). Jual-beli hukum, (4). Meremehkan (urusan) darah, (5). Memutuskan shilaturahim, (6). Jamaah (sekumpulan orang) yang menjadikan al-Qur`an seperti seruling, mereka mendahulukan (orang yang enak suaranya untuk membaca al-Qur`an) meskipun pemahamannya sangat kurang.” (HR. Imam Ahmad, Thabrani).
Hadits ini berasa dekat dengan kondisi saat ini, terang saja Negeri yang mayoritas penduduknya adalah muslim ini tidak menjadikan pedoman hidupnya aturan yang sudah dipilih oleh Tuhannya. Padahal Allah telah menegaskan “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” surat Al Maidah ayat 50
Berbeda ketika Islam menjadi dasar, keadilan dan kesejahteraan menjadi perkara utama yang ditegakkan. Hingga Rasululah Muhammad SAW bersabda “Demi Allah seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.” Tidak ada tebang pilih dalam perkara hukum, dia yang salah harus bertanggungjawab atas kesalahannya. Demikianlah indahnya Islam sebagai aturan kehidupan.
Posting Komentar