-->

Urgensi Kapabilitas Penguasa

Oleh: Nanik Farida Priatmaja

Penamabda.com - Pandemi covid-19 masih menjadi polemik di dalam negeri. Kesemrawutan nampak di berbagai bidang termasuk politik pragmatis kalangan elit.

Ancaman perombakan atau reshuffle kabinet tiba-tiba muncul di tengah pandemi Covid-19. Hal itu terungkap dari video yang tayang di akun YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (28/6/2020). Video tersebut berisi pidato pembukaan Presiden Joko Widodo pada sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Kamis (Kompas com,18/6).

Presiden Jokowi nampak marah terhadap reaksi para menteri kabinet Indonesia Bersatu yang terlihat tidak mampu menangani pandemi. Sehingga mewacanakan resuffle kabinet. Buruknya kinerja para menteri sebenarnya telah menunjukkan adanya kegagalan seorang pemimpin dalam mengarahkan kebijakan dan solusi penanganan pandemi.

Selama ini resuffle kabinet terjadi ketika kinerja menteri dinilai buruk, menteri terpilih menjadi anggota DPR, menteri tersandung kasus korupsi, dan  bagi-bagi "jatah partai koalisi".

Bagi-bagi kursi menteri jatah partai koalisi sudah menjadi rahasia umum dan tradisi. Ketika sejalan dengan penguasa dan berperan pada saat kampanye, pastinya akan dapat jatah kue kekuasaan. Inilah karakter penguasa demokrasi yang menjadikan patner lebih utama dibanding kapabilitas.

Kapabilitas dalam memilih tim kabinet seharusnya lebih diutamakan daripada sekedar jatah koalisi. Sehingga wajar saja jika tak mampu mengurus pandemi. 

Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah yang berat. Kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT atas kepemimpinannya di dunia. Sehingga seorang pemimpin atau kholifah akan benar-benar menjaga dan mengupayakan secara maksimal kepemimpinannya.

Kholifah akan menunjuk para pembantu (Wazir) dalam rangka membantu tugas-tugas Kholifah. Penunjukan wazir berdasarkan kapabilitas yang dimiliki bukan karena pertimbangan lain misalnya karena berasal dari partai yang mendukung penguasa tanpa memiliki kompetensi dan profesionalitas.

Jauh berbeda dengan sistem demokrasi, sistem pemerintahan Islam tak mengenal adanya partai berkuasa ataupun oposisi. Karena Kholifah akan melepaskan jabatan sebagai anggota partai ketika ia berkuasa. Begitupula dengan pejabat negara lainnya, akan meninggalkan hubungan dengan partai ketika mendapatkan amanah dari Kholifah atau negara. Sehingga tak ada jarak dengan rakyat atau kecenderungan terhadap salah satu partai politik. Negara Khilafah akan bersih dari berbagai kepentingan partai, kelompok dan golongan.