-->

Sistem Zonasi Obat Mujarab Pendidikan?

Oleh : Novianti 

Penamabda.com - Di tengah perjuangan melawan pandemi yang belum usai, para orang tua dibuat stress oleh pengumuman Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).  Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 44 tahun 2019 yang diitandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 10 Desember 2019, menetapkan menggunakan sistem zonasi dalam menyeleksi peserta didik.

Permendikbu ini sejak awal banyak menuai protes dan keluhan dari para orang tua di beberapa daerah. Sejak digulirkan kebijakan ini tahun 2018  meninggalkan banyak persoalan.

Di daerah Jawa Barat, beberapa orang tua kesulitan mengakses dikarenakan kegagapan teknologi (CNN Indonesia, 13/06/2020).  Sehingga, meski pendaftaran seharusnya lewat on line masih terjadi antrian orang tua yang mendaftar ke sekolah. 

Di daerah DKI Jakarta penerapannya  tidak hanya berdasarkan wilayah, penyeleksian juga berdasarkan usia. Dampaknya bisa ada anak yang berdomisili dekat dengan sekolah A karena berusia lebih muda tidak lolos.  Artinya, anak tersingkir oleh  calon murid yang berusia lebih tua.

Di daerah Sumatera Utara, Kota Bekasi, lambatnya server menyebabkan proses verifikasi berjalan lambat. Ini disebabkan verifikator kesulitan membaca hasil scan data pendaftar yang dikirim ke server.

Dan setelah PPDB diumumkan, banyak anak tidak tertampung di sekolah-sekolah negeri. Di DKI, hanya 32.93% yang tertampung di SMA dan SMK Negeri. Di kota Tangerang hanya 30% lulusan SD bisa ditampung SMP Negeri. Kondisi ini merata di berbagai daerah.

Tentunya muncul persoalan lanjutan.  Dimana anak-anak yang  tidak tertampung di sekolah negeri bisa bersekolah?  Pejabat pendidikan umumnya menganjurkan agar orang tua tidak memaksakan anaknya di sekolah negeri dan mendaftar di sekolah swasta.  Padahal sekolah swasta bukan pilihan prioritas. Orang tua harus merogoh kocek lebih dalam untuk menyekolahkan di sekolah swasta. Di tengah situasi pandemi, banyak orang tua terdampak secara ekonomi sehingga menyekolahkan di sekolah swasta menamban beban pengeluaran.

Himbauan pemerintah agar sekolah swasta menurunkan biaya untuk meringankan orang tua hanyalah  memindahkan beban kepada pihak lain. SPP adalah sumber utama pemasukan sekolah swasta bagi kesejahteraan para gurunya. Guru yang lapar dan masih harus berpikir pemenuhan nafkah keluarga, tidak bisa melayani hak peserta didik secara optimal.

Problem Pendidikan di Indonesia

Permasalahan pendidikan di Indonesia sangat kompleks.  Setiap ada pergantian menteri diikuti pergantian kebijakan yang seringkali membingungkan tidak hanya masyarakat tapi juga para guru sebagai pelaksana. Perubahan kebijakan pasti ditindaklanjuti dengan pelatihan para guru. Tetapi pelatihan yang dilaksanakan yang berbiaya besar belum mampu meningkatkan kualitas para guru. 

Lalu tidak merata jumlah sekolah, sarana dan guru masih menjadi kendala. Banyak anak-anak yang tidak mendapatkan akses pendidikan terutama di daerah-daerah pelosok. Jika pun ada, jumlah pengajarnya sangat terbatas. Tak jarang satu guru harus mengajar lebih dari satu  rombongan belajar  dengan level berbeda. 

Kesejahteraan guru juga masih minim. Penghargaan terhadap guru sangat rendah. Guru terutama guru honorer sering menjadi korban pemerasan dan janji manis pemerintah.

Dan paling mendasar adalah problem kurikulum sebagai acuan penyelenggaraan pendidikan. Indonesia sudah 11 kali berganti kurikulum sejak kemerdekaan. Yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, dan 2015.

Sayangnya, perubahan kurikulum lebih banyak berkutat pada masalah tehnis sehingga perubahan kurikulum tak ubahnya menambal atap rumah yang sudah bocor disana sini. Alih-alih menghasilkan output berkualitas, yang terjadi kualitas output  makin menurun. 

Kurikulum negara kita belum mampu menjawab mau apa dan harus bagaimana dunia pendidikan kita. Berganti kurikulum, berpindah metode yang  dikomandoi bermacam menteri, masalah  pendidikan  masih saja tak pernah tuntas diselesaikan.

Pandangan Islam

Sistem zonasi hakekatnya tidak bisa menyelesaikan permasalahan pendidikan meski bukan juga solusi yang buruk. Faktanya, layanan pendidikan pada  masyarakat baik dari kuantitas maupun kualitas belum memadai. Jumlah sekolah dan tenaga pendidik tidak sebanding dengan jumlah peserta didik

Selain itu terdapat  ketimpangan mutu antar sekolah. Adanya kasta sekolah, yang sebenarnya dibuat sendiri oleh pemerintah, telah membagi sekolah menjadi sekolah favorit dan non favorit.  Kita masih ingat kebijakan sebelumnya  terkait SBI atau sekolah bertaraf  international, lalu ada kelas akselerasi.  Kebijakan yang tanpa disadari telah menciptakan kasta  sekolah dan melekat di tengah masyarakat.

Imbasnya sekolah favorit memperoleh siswa unggul sehingga menaikkan pamor dan memperoleh dukungan finansial dari masyarakat dan bantuan pemerintah. Karenanya, sekolah tersebut bisa memiliki sarana yang lebih lengkap sehingga berpeluang lebih besar untuk mengasah peserta didiknya.

Sementara sistem Islam memandang pendidikan sebagai hak primer seluruh warga negara tanpa terkecuali. Karenanya, menjadi wajib bagi negara untuk memberikan pengurusan secara optimal kio kualitas, negara wajib memenuhi secara prima di setiap wilayah yang ada.

Sistem Islam membebaskan para pencari ilmu dari biaya-biaya pendidikan. Negaralah yang akan menanggungnya. Hal ini mampu menjadikan kemuliaan ilmu dapat dirasakan oleh semua masyarakat tanpa terhalang kesulitan dana.

Akses pendidikan bisa dinikmati oleh semua kalangan. Laki-laki dan perempuan memperoleh layanan pendidikan yang sama. Mereka diberi kesempatan seluas luasnya untuk melanjutkan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi secara cuma-cuma .

Sehingga anak-anak berbakat dan cerdas dapat menggali potensi dirinya. Bahkan negara memberi kesempatan bagi yang ingin melakukan penelitian  di di berbagai ilmu hingga lahir penemuan dan inovasi yang bermanfaat.  Di tengah- tengah umat lahir para mujtahid, penemu, inovator dengan beragam karya.

Negara memiliki strategi politik ekonomi untuk memberi dukungan finansial bagi penyelenggaraan pendidikan. Bukan hanya dari sisi anggaran, namun juga terkait media, riset, tenaga kerja, industri, sampai pada tataran politik luar negeri. Ini dikarenakan Islam memandang pendidikan adalah investasi masa depan.

Segala fasilitas dan infrastruktur fasilitas dan infrastruktur pendidikan seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya.

Tenaga pengajar berikut pegawai yang bekerja di kantor pendidikan wajib ditanggung negara. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, guru-guru yang mengajar mengaji digaji sebesar 15 dinar setiap bulan (1 dinar setara dengan 4.25 gram emas,  kurang lebih diatas Rp. 30.000.000 dengan harga emas sekarang).

Dukungan finansial oleh negara  adalah mutlak. Sumber pembiayaannya berasal dari  Baitul Maal.

Jika dana di Baitul Maal habis atau tidak mencukupi, maka negara meminta sumbangan sukarela dari kaum Muslim. Jika sumbangan kaum Muslim juga tidak mencukupi, maka kewajiban pembiayaan untuk pos-pendidikan beralih kepada seluruh kaum Muslim.

Sebab, Allah Swt. telah mewajibkan kaum Muslim untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran wajib—seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan—ketika baitulmal tidak sanggup mencukupinya. Selain itu, jika pos-pos tersebut tidak dibiayai, kaum Muslim akan ditimpa kemudaratan.

Terlihat bahwa Islam memiliki konsep sistem pendidikan yang dalam pelaksanaannya tidak lepas dari sistem lainnya. Setiap warga dijamin oleh negara akan hak belajarnya. 

Disaat  banyak orang tua kebingunan mencari sekolah untuk anaknya dan  negara belum memiliki solusi jitu, mengapa konsep Islam tidak diambil sebagai rujukan?