UU Minerba Untuk Kepentingan Siapa?
Oleh : Dina Eva
Penamabda.com - Pengelolaan pertambangan mineral dan batubara (minerba) di Indonesia memasuki babak baru. DPR telah mengesahkan perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) alias UU Minerba, dalam Rapat Paripurna yang digelar Selasa (12/5/2020).
Ada sejumlah poin penting yang diatur dalam revisi UU minerba. Mulai dari kewenangan perizinan, perpanjangan izin, pengaturan terhadap Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan aspek lingkungan, hilirisasi, divestasi, hingga pengaturan yang diklaim untuk memperkuat badan usaha milik negara (BUMN).
Menurut Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto, perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 diperlukan lantaran peraturan tersebut masih belum dapat menjawab perkembangan, permasalahan dan kebutuhan hukum dalam penyelenggaraan pertambangan minerba. Sehingga, masih perlu disinkronkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait agar dapat menjadi dasar hukum yang efektif, efisien, dan komprehensif dalam pelanggaran pertambangan.
Sugeng mengungkapkan, proses pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi UU Minerba dilaksanakan secara intensif dari 17 Februari 2020 hingga 6 Mei 2020.
Dalam proses tersebut, katanya, revisi Minerba telah disinkronisasi dengan RUU Cipta Kerja.
Beberapa poin penting yang tertuang dalam revisi UU Minerba tersebut antara lain :
1. Kewenangan pengelolaan dan perizinan
Terkait penguasaan minerba, pemerintah dan DPR menyepakati bahwa penguasaan minerba diselenggarakan oleh pemerintah pusat melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan.
Selain itu, pemerintah pusat mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi, penjualan dan harga mineral logam, mineral bukan logam jenis tertentu dan batubara.
Menurut pemerintah yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, meski kewenangan pengelolaan pertambangan diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Namun ada pengaturan, bahwa terdapat jenis perizinan yang akan didelegasikan kepada pemerintah daerah, diantaranya perizinan batuan skala kecil dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
2. Perpanjangan izin operasi
Revisi UU Minerba ini menjamin adanya kelanjutan Operasi Kontrak Karya (KK)/Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
Tak hanya KK dan PKP2B yang mendapatkan jaminan kelanjutan operasi, pemegang izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK) pun menghirup angin segar yang sama.
Dalam UU Minerba yang lama, perpanjangan izin tercantum dengan klausula "dapat diperpanjang", yang diganti dengan "dijamin" pada revisi UU ini. Hal tersebut antara lain dapat dilihat padal Pasal 47, Pasal 83 dan Pasal 169, Pasal 169 A dan Pasal 169 B.
3. Peningkatan nilai tambah (hilirisasi)
Revisi UU Minerba ini masih mengatur terkait dengan hilirisasi melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, khususnya untuk pemegang izin di subsektor mineral. Juga dengan kewajiban untuk membangun fasilitas pemurnian paling lambat tahun 2023.
Sejumlah insentif pun dikucurkan untuk menyokong proyek hilirisasi ini. Antara lain dengan jangka waktu perizinan untuk IUP atau IUPK yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian logam atau kegiatan pengembangan dan/atau pemanfaatan batubara diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun dan diberikan perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan.
Dalam revisi ini, ada juga relaksasi ekspor produk mineral logam tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu dengan jangka waktu paling lama tiga tahun sejak revisi UU ini mulai berlaku.
Relaksasi itu diberikan bagi perusahaan mineral yang telah memiliki, sedang dalam proses pembangunan smelter maupun yang telah melakukan kerjasama dalam pengolahan dan/atau pemurnian.
Pengaturan dan insentif terkait hilirisasi ini antara lain dapat dilihat dalam Pasal 102, Pasal 103, Pasal 47, Pasal 83 dan Pasal 170 (A).
4. Divestasi
Dalam revisi UU Minerba, Pemerintah dan Komisi VII DPR RI telah menyepakati pengaturan terkait kebijakan divestasi saham dalam Pasal 112. Sehingga, pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham sebesar 51 persen secara berjenjang kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan/atau Badan Usaha swasta nasional.
Pengaturan terkait tata cara pelaksanaan dan jangka waktunya akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan RUU Minerba ini.
Arifin menyatakan, pemerintah memastikan bahwa dalam peraturan pelaksanaan RUU Minerba yang akan disusun, kebijakan divestasi saham ini tidak akan menjadi hambatan bagi masuknya investasi di Indonesia. "Tentunya tetap akan mendukung pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia," sebutnya.
Hal tersebut mendapat kritikan dari Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam “BersihkanIndonesia, juga langsung bereaksi setelah penyepakatan tingkat pertama ini. Dalam kertas reaksi mereka, Senin (11/5/20), organisasi sipil antara lain Auriga Nusantara, Walhi dan Jatam menyerukan kepada Presiden Joko Widodo untuk membatalkan rencana pengesahan RUU Minerba di pembicaraan tingkat dua.
Senada dengan Simon Sibarani, mantan Dirjen Minerba 2005-2009 menilai, revisi ini sama sekali tak perlu, mengingat semua ketentuan yang diatur dalam revisi ini sudah ada dalam UU No 4/2009 tentang Minerba.
Dan Hikmahanto Juwana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan, pemerintah harus punya nilai tawar lebih kepada investor. Pemerintah harus membuat regulasi untuk sebesarnya keuntungan negara dan investor harus mengikuti.
Ditengah rakyat masih berjibaku melawan wabah Corona yang tak kunjung redam, para pejabat negeri justru sibuk menyusun kata terkait UU Minerba. Dalam kondisi saat ini, Indonesia dan dunia mendapat tantangan yang sangat besar dari dua sisi yang paling menonjol. Di satu sisi berupaya melawan gempuran wabah di satu sisi harus mengahadapi perekenomian yang kian merosot.
Kebijakan dalam UU Minerba tersebut sarat akan kepentingan para pengusaha tambang batu bara yang selama ini telah beroperasi di Indonesia. Memungkinkan mereka semakin mencengkram kekayaan alam milik umat dalam waktu yang lebih panjang. Padahal di satu sisi negeri ini sedang dalam kesulitan ekonomi yang kian parah ditambah kemiskinan rakyat yang tak kunjung dapat teratasi, sehingga menyerahkan kekayaan alam milik umat merupakan langkah yang keliru untuk diterapkan.
Namun, dalam sistem sekuler kapitalis kepentingan rakyat tidakenjadi prioritas utama, tapi kepentingan para pemilik modal yang menjadi penentu bagaimana kebijakan itu dibuat. Mudahnya merubah UU dalam sistem ini juga membuktikan kepada kita bahwa sistem yang datang dari akal manusia yang lemah ini gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat. Yang ada justru sebaliknya, rakyat semakin menderita terlebih dalam kondisi wabah saat ini tapi para pemilik modal tertawa girang merasakan ambisi mereka terus bisa berlanjut.
Sistem Islam menjadi satu-satunya solusi atas kemelut persoalan yang selama ini melanda negeri. Dalam Islam mengatur bagaimana kekuatan alam itu dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada umat karena sejatinya umat lah yang memiliki kekuatan yang melimpah tersebut. Kekayaan alam berupa tambang batu bara, emas, nikel, timah, hasil hutan, hasil laut dan sebagainya menjadi salah satu pos pemasukan negara yang mana digunakan untuk memenuhi kebutuhan umat. Sehingga dapat meringankan beban ekonomi yang saat ini dirasakan umat, dapat memperbaiki roda perekonomian negara agar tidak bergantung dengan hutang yang berbasis riba, serta tidak membebani umat dengan pajak yang terus meningkat.
Posting Komentar