-->

PPDB Ruwet, Cita-Cita Seret

Oleh: Ummu Fathan (Anggota Komunitas Setajam Pena)

Penamabda.com - Tahun ajaran baru akan segera dimulai. Namun, seperti tahun lalu masih banyak terjadi kontoversi terkait sistem penerimaan siswa baru, baik itu di tingkat paud, TK, SD, SMP, SMA dan tingkat selanjutnya. Bahkan tahun ini, aturan PPDB (penerimaan peserta didik baru) lebih ruwet lagi. Karena, selain sistem zonasi, usia juga menjadi pertimbangan.

Disaat wabah corona yang belum menunjukkan penurunan, sehingga membuat masyarakat harus exstra hati-hati dalam beraktivitas, kini harus dipusingkan dengan aturan baru PPDB. Menurut Lembaga Bantuan Hukum(LBH) Jakarta meminta Gubernur DKI Anies Baswedan merevisi aturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020-2021 di Jakarta karena dinilai tidak sesuai dengan Permendikbud No.44 tahun 2009. LBH meminta proses penerimaan siswa baru dijadwal ulang.

"LBH Jakarta menghimbau kepada Gubernur Propinsi DKI Jakarta untuk memerintahkam Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk mencabut atau setidak-tidaknya merevisi Keputusan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nomor 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020/2021 karena bertentangan dengan Peraturan Menteri Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB pada Taman Kanak- Kanak,Sekolah Menengah Atas,dan Sekolah Menengah Kejuruan dan peraturan yang lebih tinggi lainnya. Selain itu juga menjadwal ulang proses proses penerimaan dengan aturan yang baru nantinya tersebut sebagai akibat dari aturan yang berlaku saat ini," kata anggota LBH Jakarta Nelson dalam keterangan tertulis (detiknews, 28/6/2020).

Tapi PPDB kali ini tidak berjalan mulus. Seperti dilansir kompas tv (23/6/2020), orang tua murid berunjuk rasa di kantor gubernur DKI Jakarta. Mereka memprotes aturan PPDB zonasi di wilayah Jakarta. Mereka juga memprotes prioritas penetapan PPDB berdasarkan usia.

Sudah menjadi mahfum umum, masalah pendidikan di negeri ini seakan tidak pernah selesai dari tahun ke tahun, meskipun telah dikeluarkan berbagai kebijakan yang dianggap sebagai solusi mengatasi permasalahan pendidikan. Alih-alih sebagai solusi mengatasi persoalan ketimpangan dalam dunia pendidikan, sistem ini justru berbuntut masalah di beberapa daerah. Menuai pro dan kontra karena sistem yang ruwet, cita-cita pun seret.

Di dalam kapitalisme, setiap kebijakan diatur berdasarkan pertimbangan untung dan rugi. Apapun yang tidak menguntungkan bagi penguasa, meski itu terkait dengan masa depan anak bangsa, maka akan sangat sulit terealisasi. Negara abai mengurusi warganya dalam sektor pendidikan, yang harusnya akan menghasilkan generasi emas yang mumpuni dari Sabang sampai Merauke tanpa terkecuali. Negara pun sulit mewujudkan cita-cita anak negeri, jika dunia pendidikan masih tersandera oleh kapitalisasi.

Berbeda halnya dalam sistem Islam yaitu Khilafah. Pendidikan merupakan hajat atau kebutuhan dasar bagi setiap warga negara. Tanggung jawab penyelenggaraan proses pendidikan ada pada negara, dalam hal ini adalah seorang Khalifah. Khalifah wajib membuka dan membangun sekolah sesuai dengan jumlah peserta didik yang ada. Khalifah juga wajib menyelenggarakan pendidikan yang mudah diakses untuk semua kalangan, baik kaya atau miskin. Semua pembiayaan (gaji guru, fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan) ditanggung oleh negara yang diambil dananya dari Baitul Mal.

Itulah kesimpangan antara sistem kapitalisme dan sistem Islam. Sistem Islam akan melahirkan generasi yang terbaik yang memiliki syakhisiyah Islamiyah, Faqih Fii ad-Din, terdepan dalam sains dan teknologi serta berjiwa pemimpin yang akan menjadi pengendali eksistensi negara mandiri, kuat, terdepan dan mampu memimpin bangsa-bangsa lainnya. Bila sudah demikian, tidak akan ada lagi cerita siswa dan orang tua yang pilih-pilih sekolah. Tak perlu sistem zonasi dalam Pendidikan Islam, karena setiap sekolah sudah memiliki standarisasi yang sama.

Wallahu a'lam bishowab.