-->

Pilkada Mahal, Ilusi bagi Kepemimpinan Ideal

Oleh : Sumiatun
(Komunitas Pena Cendekia, Jombang)

Penamabda.com - Pandemi belum berakhir, angka kasus Covid-19 terus naik. Per 5 Juli 2020 angka kasus di Indonesia mencapai 62.142 pasien positif yang tersebar di 34 provinsi. (TribunJogja.com, 05/07/2020). Namun DPR RI bersama KPU RI dan Pemerintah menyetujui secara resmi bahwa Pilkada Serentak yang semula tertunda, akan dilaksanakan pada hari Rabu, 9 Desember 2020. Hal itu dikuatkan oleh diterbitkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020.

Salah satu alasan yang menguatkan dilanjutkannya pelaksanaan Pilkada 2020 adalah, agar tak banyak kekosongan jabatan. Karena saat posisi kepala daerah diisi oleh pelaksana tugas kepala daerah, bukan tidak hanya legitimasi tak kuat dalam menjalankan roda kepemerintahan, tapi juga lemah dalam eksekusi kebijakan penanganani Covid-19 di daerahnya masing-masing. (timesindonesia.co.id, 18/06/2020).

Pilkada Terkesan Dipaksakan

Meskipun sempat diundur dari jadwal awal 23 September 2020 menjadi 9 Desember 2020, pilkada serentak di tengah masih aktifnya wabah terkesan dipaksakan. Nampak bahwa pihak-pihak yang berambisi menduduki kursi kekuasaan seakan tak ingin pilkada tahun ini ditunda-tunda lagi. Mereka ingin segera berkompetisi mengalahkan rival-rivalnya dan menang sebagai penguasa daerah.

Karenanya situasi pandemi justru dijadikan dalih untuk menjadikan kekosongan jabatan sebagai masalah yang sangat urgen untuk segera ditindak lanjuti. Dan pilkada serentak dianggap sebagai mekanisme sistem untuk melangsungkan kepemimpinan yang ideal.

Anggaran Besar Bukan Jaminan Terwujudnya Kepemimpinan Ideal

Pilkada di tengah pandemi tentu butuh alokasi dana yang lebih besar dari kondisi normal sebelum adanya wabah. Diketahui KPU mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 4,7 triliun, DKPP sebesar Rp 39 miliar dan Bawaslu sebesar Rp 478 miliar. Anggaran bernilai triliunan rupiah tersebut sudah pasti akan dikucurkan pemerintah untuk pesta demokrasi tahun ini. Sementara banyak permasalahan bangsa yang belum kunjung tuntas terkait adanya wabah. Dana penanganan wabah yang turun pun pencairannya terkesan lambat dan banyak yang belum terealisasi sepenuhnya. Anggaran Pilkada yang sangat besar tentunya lebih dibutuhkan untuk penanggulangan wabah ketimbang untuk sekedar pesta demokrasi.

Bukankah telah berkali-kali dilangsungkan pilkada untuk memilih pemimpin yang diharapkan mampu mengatasi permasalahan rakyat dan masalah lainnya di daerah masing-masing? Namun faktanya, belum terwujud kepemimpinan yang ideal. Karena permasalahannya bukan hanya pada sosok pemimpin yang hendak dipilih, namun juga karena sistem yang ada tidak mendukung terwujudnya kepemimpinan yang ideal.

Demokrasi Kekalkan Sistem Kriminal

Mantan Menteri Ekonomi era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Rizal Ramli bertemu dengan Pakar Hukum Tata Negara dalam sebuah dialog yang mengungkap bahwa demokrasi mengekalkan sistem kriminal. Rizal Ramli mengaku pernah ditawari untuk menjadi Presiden, namun dia tidak sanggup karena harus mengeluarkan biaya Rp 1,5 triliun untuk membayar tiga partai pendukung. Masing-masing partai Rp 500 miliar. Refly Harun justru mengklaim cukup dengan Rp 6 triliun saja untuk menguasai Indonesia. (cirebon.pikiran-rakyat.com, 28/06/2020).

Demikianlah fakta dalam sistem demokrasi, partai politik umumnya mendapat dana dari upeti-upeti Pilkada maupun Pilpres. Di situlah terjadi Politik Uang  yang nantinya menghasilkan penguasa-penguasa yang tidak memperdulikan nasib rakyat. Alih-alih berfikir untuk kesejahteraan rakyat, mereka justru sibuk menyejahterakan diri sendiri untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Hingga tak heran jika banyak penguasa-penguasa korup. Belum terlupa di ingatan kita betapa banyak Kepala Daerah yang tersangkut OTT KPK karena kasus korupsi maupun suap.

Maka terwujudnya kepemimpinan yang ideal dengan pilkada hanya sebuah ilusi. Justru rakyat yang akan dikorbankan demi kepentingan segelintir orang. Belum selesai duka keluarga korban pemilu sebelumnya, dengan banyaknya anggota KPPS meninggal yang kabarnya karena kurang istirahat dan keletihan menjalankan tugas.

Kini wabah Covid-19 tengah melanda, kerumunan massa pasti sulit dihindari. Apalagi saat penghitungan perolehan suara, para saksi, pendukung dari pasangan calon kepala daerah, bahkan orang-orang yang memanfaatkan moment pilkada sebagai ajang judi, akan rela berkerumun hingga penghitungan suara selesai. Maka memaksakan pilkada dengan biaya sangat besar saat pandemi ini, hanya akan mempertinggi angka kasus terinfeksi wabah dan yang pasti melanggengkan sistem kriminal di negeri ini.

Keunggulan Sistem Islam Mewujudkan Kepemimpinan Ideal

Islam sebagai sistem kehidupan yang shahih mempunyai konsep pemikiran dan aturan yang sempurna karena datang dari Allah SWT. Di dalam sistem Islam, amanah kepemimpinan baik di Pusat maupun Daerah dijalankan berdasar kepada hukum Allah. Pemimpin Daerah di wilayah setingkat provinsi disebut Wali dan Amil.

Seorang Wali dan Amil tidak dipilih melalui pemilu langsung seperti dalam sistem demokrasi saat ini, namun ditunjuk, diangkat dan diberhentikan secara langsung oleh Khalifah ( pemimpin negara dalam sistem Islam). Kedudukannya sebagai wakil Khalifah, mewajibkannya menjalankan kepemimpinan berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah. Kinerjanya di bawah kontrol langsung dari Khalifah. Ia bertanggung jawab di hadapan penduduk wilayah sebagaimana juga bertanggung jawab di hadapan Khalifah. Para wali juga bertanggung jawab di hadapan Majelis Umat karena Majelis Umat mewakili seluruh wilayah.

Rasulullah SAW telah menunjuk para wali. Beliaulah yang mengangkat Muadz bin Jabal sebagai wali di Yaman. Beliau juga yang memberhentikan para wali. Beliaulah yang memberhentikan 'Ila' bin al-Hadhrami dari jabatan wali Bahrain karena ada pengaduan tentang dirinya dari penduduk Bahrain.(Struktur Negara Khilafah hal 64,68)

Dengan penunjukan langsung dari Khalifah, maka tidak diperlukan biaya besar maupun waktu yang lama dalam proses pengisian jabatan kepala daerah. Seorang wali, karena sudah didasari ketakwaan, mampu bersikap adil, mampu dalam kepemimpinan, maka dia tidak akan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan hukum syara', seperti korupsi, kolusi dan nepotisme sebagaimana terjadi dalam kepemimpinan sistem demokrasi saat ini.

Masa jabatannya pun tidak dibatasi periode waktu tertentu. Sewaktu-waktu bisa diberhentikan jika ada ketidak ridhaan masyarakat atas kepemimpinannya, atau jika Khalifah berpandangan perlu mengganti dengan orang yang lebih mampu. Dengan demikian dia akan bekerja maksimal untuk kemaslahatan umat, demi mengemban amanah kepemimpinan, yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT kelak di akhirat. Walhasil, dengan sistem Islam mampu diwujudkan kepemimpinan yang ideal.

Wallahu a'lam bishshawab.