-->

Pilkada Antara Terpaksa dan Dipaksa

Oleh : Azzah Sri Labibah SPd.
(Pengurus Majelis Taklim Remaja Paciran)

Penamabda.com - Di tengah kurva kasus corona yang semakin meningkat, Pemerintah bersikukuh tetap menyelenggarakan pilkada serentak

Mengacu pada Peraturan Perundang-undangan Nomor 2 Tahun 2020. Awalnya Pilkada 2020 akan diselenggarakan pada 23 September 2020 di 270 daerah dari btingkat provinsi maupun kabupaten/kota, namun ditunda hingga 9 Desember 2020. (suara.com, 9/6/2020)

Walau ditunda namun banyak yang mengkritisi keputusan pemerintah ini. Di antaranya kelompok Pegiat Pemilu yang menilai pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi Covid-19 dapat berakibat fatal seperti meninggalnya para petugas pemilu pada 2019.

Rektor Universitas Pendidikan Nasional, Dr. Ir. Nyoman Sri Subawa mengatakan pemerintah dan penyelenggara pemilu harusnya mendengarkan suara rakyat soal urgensi ditundanya pelaksanaan Pilkada 2020. Menurut dia, masalah Pilkada bukan semata-mata soal politik, melainkan lebih luas menyangkut aspek sosial dan ekonomi. (Republika.id, 30/06/2020)

Pemilu di tengah pandemi ini terpaksa dilakukan atau dipaksa harus dilakukan ? 

Sebagian pihak baik tokoh nasional maupun internasional menyebut momen pilkada di tengah pandemi diputuskan agar kroni penguasa tidak kehilangan kesempatan duduk di kursi kuasa. Hal ini terbukti dengan kabar mulai tertariknya keluarga pemimpin negeri jajal Pilkada 2020, di antaranya Gibran Rakabuming Raka, Bobby Nasution, hingga anak Wakil Presiden Ma'ruf Amin. (Warta kota.tribunnews.com, 16/12/2019)

Pemilu ditengah banyaknya nyawa melayang Karena wabah ini memang sengaja dipaksakan untuk memenuhi birahi kerakusan atas jabatan. 

Padahal jika dipaksakan adanya pemilu pasti banyak hal yang perlu diadaptasi dan disosialisasikan pemerintah melalui KPU kepada masyarakat, baik terkait teknis maupun nonteknis. Ini tentunya akan memakan waktu. 

Dan penyelenggaraan pilkada di era new normal pastinya akan menambah pengeluaran lantaran masing-masing TPS harus menjalankan protokol kesehatan. Mulai dari physical distancing, penyediaan masker, sarung tangan, dan hand sanitizer dan lain lain.

Demokrasi yang menjadi andalan negeri ini sebenarnya telah menipu kita semua, dengan mengatakan bahwa melalui pemilu rakyat berdaulat. Dengan kedaulatannya, rakyat memiliki kewenangan membuat hukum. Tapi mekanisme  pembuatan hukumnya di lakukan melalui DPR/parlemen. Parlemen inilah yang memutuskan dan mengesahkan suatu UU untuk diberlakukan di tengah masyarakat  yang diambil dari suara mayoritas.

Jargon demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah slogan kosong. Sebab pada faktanya dari korporasi, oleh korporasi dan untuk korporasi. Demokrasi juga telah berkali-kali membohongi kita dengan janji kesejahteraan, namun faktanya tidak sesuai dengan janjinya dan kebijakan yang mereka susun justru menyebabkan rakyat semakin menderita.

Demokrasi, sejak lahir sudah cacat,dan ramai kritikan. Demokrasi sejatinya adalah alat penjajahan. Hadir hanya untuk bagaimana hegemoninya tetap lanjut, melestarikan penjajahan dan mengeruk kekayaan alam negara.

Jauh berbeda dengan sistem pemerintahan Islam  yaitu khilafah. Kedaulatan sepenuhnya hanya ada di tangan Allah, membuat, menetapkan hukum dan menghalalkan dan mengharamkan segala sesuatu merupakan hak otoritas tunggal Allah SWT saja. Tentu saja produk hukum yang Allah keluarkan akan mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia.

Wallahu'alam bishowwab.